KEPAILITAN
BANK OLEH BANK INDONESIA; SUBSTANSI DAN RELEVANSINYA
Oleh :
Rosida Diani, SH, MH
Abstrak
Dalam
roda perekonomian suatu bangsa, bank merupakan agent of development (terutama
bagi bank-bank milik negara) dan financial intermediary. Sehatnya dunia
perbankan di suatu negara akan sangat berpengaruh terhadap sehatnya
perekonomian negara tersebut. Bank sebagai badan usaha, juga melakukan beberapa
transaksi bisnis yang memposisikan bank bukan hanya sebagai kreditur tetapi
juga debitur. Dalam kaitannya dengan kedudukan bank sebagai debitur, saat tidak
mampu untuk melunasi utangnya, dan itu telah jatuh tempo, maka dapatlah
diajukan permohonan pailit. Namun di dalam UU Kepailitan dan PKPU, yang dapat
mengajukan permohonan pailit ini hanyalah Bank Indonesia. Ada beberapa
pertimbangan dari aturan ini, diantaranya karena berkaitan dengan kestabilan
perekonomian, banyaknya biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk
menyehatkan bank, serta memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah yang
menitipkan dananya di bank. Meskipun aturan ini juga memberikan sisi ketidak
adilan bagi kreditur yang mempunyai piutang kepada bank. Seakan-akan bank
kemudian berlindung dibalik aturan ini.
Kata
kunci: bank, kepailitan, bank Indonesia
A.
PENDAHULUAN
Bank
merupakan institusi yang mempunyai peran besar terhadap perekonomian suatu negara.
Sehatnya perekonomian suatu negara, akan sangat bergantung dengan sehatnya
perbankannya. Dalam roda perekonomian suatu bangsa, fungsi dan tujuan bank
adalah sebagai agent of development (terutama bagi bank-bank milik negara) dan
sebagai financial intermediary.
Mengenai
fungsi perbankan Indonesia, secara umum diatur dalam Pasal 3 UU No. 7 Tahun
1992, yaitu: sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Adapun fungsi
perbankan Indonesia secara luas adalah: Bank sebagai lembaga yang menghimpun
dana dari masyarakat atau penerima kredit, Bank sebagai penyalur dana kepada
masyarakat atau sebagai lembaga pemberi kredit, dan Bank sebagai lembaga yang
melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran.
Bank
sebagai institusi yang menghimpun dana dari masyarakat, menerima dana yang
disimpan oleh masyarakat dalam bentuk tabungan atau deposito. Ada beberapa
alasan masyarakat menyimpan dana atau uang di bank, diantaranya karena alasan
keamanan dan keuntungan dari memperoleh bunga. Menyimpan uang di bank, lebih
memberikan keamanan dibandingkan dengan menyimpan uang di bank, dan lebih
praktis juga saat dibawa bepergian. Dengan menyimpan uang di bank, maka saat
akan bepergian, masyarakat cukup menggunakan kartu debit untuk melakukan
pembayaran di pusat perbelanjaan, tanpa harus membawa uang cash dalam jumlah
banyak. Selain alasan keamanan dan praktis, menyimpan dana di bank juga karena
alasan ingin mendapatkan keuntungan dari bunga yang diberikan oleh bank.
Bank
sebagai institusi keuangan yang terkadang juga mengalami masa-masa sulit
sehingga kemudian mengalami kebangkrutan. Bangkrut atau pailit adalah suatu
keadaan dimana seseorang yang oleh pengadilan dikatakan bankrupt, dan yang
aktivanya atau warisannya telah diperuntukan untuk membayar hutang-hutangnya.[1] Namun
demikian, umumnya orang sering menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bangkrut
itu adalah sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian
antara debitur dan para kreditur agar harta dapat dibagi-bagi secara adil
diantara para kreditur.
Dari
ketentuan Pasal 2 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan
pailit adalah sebagai berikut:
a.
Adanya
hutang;
b.
Minimal
satu dari hutang sudah jatuh tempo;
c.
Minimal
satu dari hutang dapat ditagih;
d.
Adanya
debitur;
e.
Adanya
kreditur;
f.
Kreditur
lebih dari satu;
g.
Pernyataan
pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan Niaga
h.
Permohonan
pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu:
1)
Pihak
debitur;
2)
Satu
atau lebih kreditur;
3)
Jaksa
untuk kepentingan umum;
4)
Bank
Indonesia jika debitunya bank;
5)
Bapepam,
jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan penjaminan,
dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian;
6)
Menteri
keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan
BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik.
i.
Dan
syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-Undang Kepailitan.
j.
Apabila
syarat-syarat terpenuhi, hakim “menyatakan pailit” bukan “dapat menyatakan
pailit”. Sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk
memberikan “judgment” yang luas seperti pada kasus-kasus lainnya, sungguhhpun limited defence masih dibenarkan,
mengingat yang berlaku adalah prosedur pembuktian yang sumir (Pasal 8 ayat (4)
UU Kepailitan)
Pada
point ‘h’ disebutkan bahwa yang berhak mengajukan pailit bagi bank adalah Bank
Indonesia. Di dalam UU Kepailitan dan PKPU dalam hubungannya dengan kepailitan,
tidak ada suatu definisi batasan mengenai bank. Di dalam undang-undang tersebut
hanya disebutkan bahwa bank adalah bank sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sehingga definisi ini dikembalikan lagi kepada
undang-undang perbankan. Di dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa Bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dalam
UU kepailitan dan PKPU, dijelaskan dalam Pasal 2 diatas, bahwa nasabah atau
pihak ketiga yang mempunyai tagihan dan telah jatuh tempo, tidak dapat
mengajukan pailit kepada bank. Hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan
permohonan pailit terhadap badan usaha yang berbentuk bank, meskipun pihak lain
itu merupakan kreditur atau mempunyai piutang kepada bank, dan piutang itu
telah jatuh tempo. Hal inilah kemudian yang akan diuraikan lebih lanjut dalam
tulisan ini, mengenai substansi dari kepailitan bagi bank, alasan dan latar
belakang hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pailit atas suatu
bank.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
bank
Apabila kita
menelusuri sejarah dari terminologi bank, maka akan kita temukan bahwa kata
‘bank’ berasal dari kata ‘bance’ yang berarti bangku tempat duduk. Sebab pada
zaman pertengahan pihak bankir italia yang memberikan pinjaman-pinjaman dan
melakukan hal tersebut dengan duduk di bangku di halaman pasar.[2]
Menurut R.Tjipto
Adinugroho, bank adalah lembaga atau badan yang mempunyai pekerjaan memberikan
kredit, menerima kredit berupa simpanan (deposito) di samping mengenai kiriman
uang dan sebagainya.[3] A.
Abdurrachman dalam bukunya Ensikopedia Ekonomi keuangan dan Perdagangan,
menyatakan : Bank adalah suatu badan yang melaksanakan berbagai macam jasa
seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan, terhadap mata
uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai
usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain.
Sementara di
dalam UU No.10 Tahun 1998tentang Perbankan, mendefinisikan bank adalah sebagai
badan hukum yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dari beberapa
pendapat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa bank adalah:
a. Lembaga
yang menghimpun dana dari masyarakt
b. Menyalurkan
dana dalam bentuk kredit
c. Menjadi
perantara dalam transaksi dagang di dalam negeri maupun luar negeri.
Ada
beberapa asas dalam perbankan yaitu:[4]
a. Asas
demokrasi ekonomi
b. Asas
kepercayaan (Fiduciary Principle)
c. Asas
kerahasiaan (confidential Principle)
d. Asas
kehati-hatian (Prudential Principle)
Bank
mempunyai fungsi sebagai agent of
development (terutama bagi bank-bank milik negara) dan sebagai financial intermediary. Bank sebagai agen
pembangunan yaitu sebagai lembaga yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan
pembangunan nasioonal dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah
pembangunan taraf hidup rakyat banyak.
Fungsi
agent of development ini dilakukan
oleh bank-bank pemerintah terutama untuk pemeliharaan kestabilan moneter di
Indonesia. Wujud dari fungsi bank tersebut terllibat dalam program kredit
pemerataan, yaitu Kredit Investasi Kecil (KIK), dan kredit modal Kerja permanen
(KMKP).
Dengan
demikian bank bisa ditugaskan untuk melaksanaan program pemerintah guna
mengembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu, atau memberikan perhatian
yang lebih besar pada koperasi dan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha
kecil dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Fungsi
bank sebagai financial intermediary
adalah sebagai perantara penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat serta
memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Dua fungsi tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bank juga bertindak
sebagai perantara atau penghubung antara nasabah yang satu dengan lainnya jika
keduanya melakukan transaksi. [5]
2.
Pengertian
kepailitan
Dasar hukum
berlakunya Hukum Kepailitan di Indonesia terdapat di dalam UU No.37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang biasanya UU
Kepailitan dan PKPU.
Salah satu pihak
yang sangat terkait dalam kepailitan adalah kreditor, yaitu orang yang
mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di
muka pengadilan. Sedangkan debitor adalah orang yang mempunyai uatang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan.
Menurut
Levintal, tujuan hukum kepailitan adalah:
a. Menjamin
pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditornya.
b. Mencegah
agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan
kepentingan para kreditor;
c. Memberikan
perlindungan kepada debitor yang beritikad dari para kreditornya, dengan cara
memperoleh pembebasan utang.[6]
Dalam penjelasan
UU Kepailitan dan PKPU, mengemukakan beberapa faktor perlunya pengaturan
mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai berikut:
a. Untuk
menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa
kreditor yang menagih piutangnya pada debitor.
b. Untuk
menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan ang menuntut haknya
dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan
debitor atau para kreditor lainnya.
c. Untuk
menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang
kreditor atau debitor sendiri. Misalnya debitor berusaha untuk memberi
keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor
lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan
semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawab terhadap
kreditor.
Didalam
UU Kepailitan dan PKPU, mengandung beberapa asas dari kepailitan, yaitu:
a. Asas
keseimbangan
Dalam UU Kepailitan dan
PKPU, diatur mengenai keseimbangan kepentingand kedua belah pihak. Ada aturan
yang ditentukan untuk mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitian
oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, teradapat ketentuan yang dapat
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor
yang tidak beritikad baik.
b. Asas
kelangsungan usaha
Ada kemungkinan untuk
perusahaan yang prospektif untuk tetap dilangsungkan.
c. Asas
keadilan
Dalam UU Kepailitan dan
PKPU, mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi
rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan
pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak
memperdulikan kreditor lainnya.
d. Asas
integrasi
Mengandung pengertian
bahwa sistem hkum formil dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh
dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Pihak-pihak yang berhak
untuk mengajukan permohonan pailit, yaitu:
a.
Kreditor atau beberapa kreditor
Kreditor dalam
pengertian ini meliputi kreditor konkuren, kreditor separatis, maupun kreditor
separatis.
b.
Debitor sendiri
Seorang debitor dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya sendiri (voluntary
petition) apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Debitor
mempunyai dua atau lebih kreditor
2) Debitor
sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
c.
Kejaksaan untuk kepentingan umum
Kejaksaan dapat
mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, syarat untuk
pengajuan permohonan pailit telah dipenuhi. Yang dimaksud dengan kepentingan
umum yaitu:
1) Debitor
melarikan diri
2) Debitor
menggelapkan bagian dari harta kekayaannya;
3) Debitor
mempunyai hutang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari
masyarakat.
4) Debitor
tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang
piutang yang telah jatuh waktu, dan
5) Dalam
hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umuum.
d.
Bank Indonesia
Dalam hal debitor
adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya
merupakan kewenangan bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian
kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu
tidak perlu dipertanggung jawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan
permohonan pailit ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait
dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum,
dan likuidasi bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e.
Badan Pengawas Pasar Modal
f.
Dalamhal debitor adalah perusahaan efek,
bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan
penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah
pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal yang mempunyai kewenangan penuh dalam hal
pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instasi-instasi yang berada
dibawah pengawasannya.
g.
Menteri Keuangan
Dalam debitor adalah
perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau BUMN yang
bergerak di bidang kepentingan publi, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan.[7]
3.
Permohonan
Kepailitan Bank oleh Bank Indonesia
Dalam Pasal 2
ayat (3) UU No.37 tahun 2004, bahwa yang dapat mengajukan permohonan pailit
atas suatu bank adalah Bank Indonesia. Pihak lain, selain Bank Indonesia, tidak
dapat mengajukan permohonan pailit bagi suatu bank, meskipun syarat-syarat
untuk pengajuan pailit telah terpenuhi.
Syarat-syarat
pengajuan permohonan pailit sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 2 ayat (1) UU
No.37 tahun 2004 yaitu “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih,...”
Di dalam UU
Kepailitan dan PKPU, disebutkan bahwa debitor dan kreditor dapat mengajukan
permohonan pailit. Definisi kreditor dapat kita temukan dalam UU Kepailitan dan PKPU pasal 1 ayat (2) yang
menyatakan bahwa kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian
atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan.
Di dalam
KUHPerdata, ditentukan bahwa kreditor ini dapat dibagi menjadi kreditor
separatis , kreditor yang diistimewakan dan kreditor biasa (kreditor konkuren). Kreditor
separatis adalah kreditor yang memegang hak jaminan kebendaan. Kreditor tersebut
dapat menjual barang yang dijaminkan kepadanya dan mengambil pembaayaran dari
piutangnya dari hasil penjualan barang tersebut. Jika penjualan barang tersebut
tidak mencukupi untuk pembayaran piutangnya maka, kreditur separatis mempunyai
kedudukan yang sama dengan kreditur konkuren untuk sisa pelunasan piutangnya
itu.
Kreditur dengan
hak istimewa adalah kreditur yang karena sifat piutangnya mempunyai kedudukan
istimewa dan berhak untuk memperoleh pelunasan lebih dulu dari penjualan harta
pailit. Sebagai mana diatur di dalam pasal 1139 dan pasal 1149 KUHPerdata. Kedudukan
kreditur ini setelah kreditur separatis. Kreditur konkuren adalah kreditur yang
memperoleh pelunasan piutangnya secara bersama-sama dan dihitung berdasarkan
besarnya piutang masing-masing dibandingkan dengan piutang mereka secara
bersama-sama.
Definisi debitur
dalam UU Kepailitan dan PKPU adalah orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka
pengadilan.
Undang-undang
kepailitan telah memberikan hak khusus bagai Bank Indonesia sebagai pihak yang
memiliki otoritas pengajuan kepailitan bank. Hal ini karena suatu alasan yang
jelas. Bank merupakan lembaga perantara yang mengerahkan dana masyarakat dan
menyalurkannya kembali, apabila telah memiliki izin usaha, bukan lagi milik
pemegang saham, akan tetapi juga milik masyarakat.
Berdasarkan UU
Perbankan, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Pada umumnya bank selalu bertidak sebagai kreditor,
namun demikian, bank juga dapat menjadi debitor.
Untuk dapat
menjadi bank dan melakukan kegiatan usaha sebagai bank, maka ada
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Pasal 21 Undang-undang Perbankan
membatasi bentuk hukum dari badan usaha yang dapat menjadi bank, yaitu
Perseroann Terbatas, Koperasi atau Perusahaan Daerah. Sebagaimana juga diatur
di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum. Sebelum
melakukan usahanyaa sebagai bank, badan usaha tersebut harus memperoleh izin dari bank
Indonesia, sebagaimana diatur di dalam
Pasal 16 undang-undang perbankan.
Hal ini juga
ditegaskan di dalam pasal 2 dan Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009
bahwa bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin dari
Gubernur Bank Indonesia dimana izin tersebut dilakukan dalam dua tahap, yaitu
persetujuan prinsip yang merupakan persetujuan untuk melakukan persiapan
pendirian bank, dan tahap izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha bank
setelah persiapan pada persetujuan prinsip selesai dilakukan.
Izin usaha
sangat penting dalam melakukan kegiatan usaha. Menurut Pasal 9 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009, walaupun sudah mendapat persetujuan prinsip,
jika belum mendapatkan izin usaha, maka badan usaha tersebut masih dilarang
untuk melakukan kegiatan usaha perbankan.
Bank sebagai
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam jumlah besar, haruslah
diatur sedemikian rupa agar memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
bagi para nasabah yang telah menitipkan dananya. Ada banyak aturan yang
diperuntukan untuk itu, salah satunya mengenai kesehatan bank. Bank Indonesia
menetapkan aturan mengenai kesehatan bank, dengan memperhatikan aspek
permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas,
berhubungan dengan usaha bank.[8]
Dalam hukum
perbankan, perlindungan terhadap nasabah bank, dapat dilakukan dalam dua cara,
yaitu perlindungan eksplisit dan perlindungan implisit. Perlindungan secara
implisit pada dasarnya merupakan pengawasan dan pembinaan yang dapat
menghindarkan terjadinya kerugian bank yang diawasi.[9] Pengawasan
eksplisit adalah perlindungan yang diberikan dengan membentuk lembaga penjamin
simpanan sehingga apabila bank mengalami kegagalan, maka lembaga tersebut akan
mengganti dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang gagal tersebut.[10]
Dalam hal
kepailitan kegiatan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat, membuat bank berbeda dari debitur-debitur
lainnya. Faktor-faktor seperti kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan
dan perlindungan dana masyarakat yang disimpan dalam bank dimaksud akan menjadi
pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas
perbankan dan moneter.[11]
Kepercayaan
masyarakat terhadap bank akan pudar apabila mengetahui mengetahui bahwa bank
dapat dimohonkan pailit oleh setiap kreditor. Mereka akan khawatir untuk
menempatkan dananya di bank. Terlebih-lebih setelah dinyatakan pailit bank
tidak lagi diurus oleh direksinya, melainkan akan diurus oleh kurator yang
notabene bukan seorang bankir. Dalam kapasitasnya sebagai debitur, berdasarkan
Pasal 1 ayat (3) UU Kepailitan, terhadap bank dapat dimohonkan pernyataan
pailit melalui Pengadilan Niaga, tapi harus melalui Bank Indonesia. Bank
Indonesia, akan mengajukan permohonan ini, setelah melakukan pertimbangan yang
matang mengenai dampak-dampak yang akan ditimbulkan.
Mengenai
pengajuan permohonan pailit atas suatu bank yang diajukan oleh kreditor lain,
bukan oleh Bank Indonesia, pernah terjadi yaitu oleh PT.Bank IFI terhadap PT.
Bank Danamon. Namun permohonan itu juga ditolak oleh Pengadilan Niaga, karena
undang-undang telah menentukan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pailit
atas debitor yang merupakan Bank, hanyalah Bank Indonesia. Meskipun dalam
syarat pengajuan permohonan itu telah terpenuhi, yaitu adanya Debitur,
mempunyai dua kreditur atau lebih dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih. PT.Bank IFI tidak berkapasitas untuk mengajukan permohonan
pailit atas PT.Bank Danamon, yang berkapasitas untuk itu hanyalah Bank
Indonesia.
Dalam kasus
antara PT.Bank IFI dengan PT.Bank Danamon ini berawal ketika pada tanggal 18
Desember 1996, dihadapan Notaris Achmad Abdi, SH, pengganti Notaris Sutjipto,
SH, telah dibuat dan ditanda tangani Perjanjian Pinjaman Sindikasi No.47 yang
disebut Secured Transferable Loan Facilities Agreement, antara PT.Riau Prima
Energi dengan Peserta Sindikasi yaitu PT.Bank Danamon Indonesia, PT.Bank Bira,
PT.Bank Lippo, PT.Bank Niaga, PT.Bank Niaga, PT.Bank Nusa Nasional, PT.Pan
Indonesia Bank, PT.Bank Tiara Asia, PT.Bank Duta, PT.Bank PD FCI, PT.Bank
Jayabank Internasional, PT.Bank Dharmala, PT.Bank Rama, PT. Bank Rama, PT.Bank
Tata, PT.Bank Piko, dan PT.Bank Dagang dan Industri.
Guna memenuhi
kewajiban kepada PT.Bank Riau Prima energi sebesar US $16,781,250 pada tanggal
18 Desember 1996, berdasarkan Secured Transferable Loan Facilities Agreeement,
PT.Bank Nusa Nasional selanjutnya mengadakan perjanjian Sub-Participation
dengan Bank IBI senilai US$5,000.000.[12]
Disini PT.Bank
IFI telah mengalami kebuntuan untuk memperoleh kembali haknya. PT.Bank IFI
telah mengajukan permohonan ke Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan
pailit bagi PT.Bank Danamon, namun hal itu juga tidak membuahkan hasil. Dalam
hal seperti ini, keberadaan aturan bahwa yang berkapasitas sebagai kreditor
yang dapat mengajukan permohonan pailit atas suatu bank hanyalah bank
Indonesia, seakan-akan menjadi tempat berlindung bagi bank yang bermasalah dari
kewajibannya.
Karena dalam
praktiknya, meski ada aturan yang menyatakan bank dapat diajukan permohonan
pailit, oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia belum pernah mengajukan permohonan
pailit bagi bank. Upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk bank yang
bermasalah atau tidak sehat, lebih ke Likuidasi dari pada Kepailitan. Ada
banyak pertimbangan proses kepailitan bagi bank, sampai saat ini belum pernah
dilakukan oleh Bank Indonesia, salah satunya adalah sosial cost yang harus
dibayar oleh Pemerintah Indonesia. Anggaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Indonesia untuk menyehatkan perbankan nasional sudah cukup besar, tidak mungkin
dikorbankan begitu saja, hanya karena permohonan satu atau dua kreditor.
Untuk itu dalam
hal penyelesaian persoalan utang piutang melalui mekanisme kepailitan dalam
suatu perkara utang piutang dimana debiturnya adalah bank, sulit untuk dicapai
dan dilaksanakan. Mekanisme kepailitan bukanlah cara yang terbaik dan efektif
untuk menyelesaikannya.
Merujuk pada
putusan Pengadilan Niaga diatas, dan pasal 1 ayat 3 UU kepailitan dan PKPU,
terkesan bahwa kepentingan kreditor dalam perkara kepailitan di mana debiturnya
adalah bank, tidak terlindungi dengan baik. Berbicara mengenai kreditor, sistem
hukum Indonesia telah memiliki mekanisme yang cukup lengkap untuk menyelesaikan
perkara utang piutang dan memberikan perlindungan yang cukup terhadap kreditor.
Perkara utang piutang dapat diselesaikan melalui mekanisme gugatan perdata
biasa. Selain itu, kreditor dapat pula mengupayakannya secara non litigasi
atau out of court settlement melalui
lembaga arbitrase maupun melalui mekanisme alternative Dispute Resolution
dengan menggunakan metode mediasi perbankan.[13]
C.
PENUTUP
1. Permohonan
kepailitan yang debitornya bank, hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
2. Hingga
saat ini, belum pernah terjadi dimohonkanya pailit bagi bank, oleh Bank
Indonesia, karena berbagai pertimbangan yang berkaitan dengan kestabilitan
ekonomi. Selain itu juga berkaitan dengan sudah banyaknya sosial cost yang
dikelurkan oleh pemerintah dalam usaha menyehatkan bank dan juga perlindungan
hukum terhadap nasabah penyimpan dana di bank.
3. Kepentingan
kreditor dalam hal debitornya bank, pada perkara utang piutang, tidak
terlindungi dengan baik apabila menggunakan mekanisme kepailitan. Penyelesaian
sengekata utang piutang dapat diselesaikan melalui mekanisme gugatan perdata
biasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Adrian
Sutedi, Hukum Perbankan : Suatu Tinjauan
Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitian, Sinar Grafika, Jakarta,
2010
Arus
Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek
Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010
C.S.T.Ka
nsil dan Christine Kansil, Modul Hukum Pedata : Termasuk Asas-asas Hukum
Perdata, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2004
Djaja
S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012.
Lukman
Santosa, Hak dan Kewajiban; Hukum nasabah
Bank, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2011
Munir Fuady, Hukum
Pailit dalam Teori dan Praktik, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Munir
Fuady, Hukum Perbankan Modern, Buku 1, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
Muyassarotussolichah,
Aspek Hukum Likuidasi Bank di Indonesia
Pra Lembaga Penjamin Mutu Simpanan, LinkSAS, Yogyakarta, 2005
R.Tjipto
Adinugroho, Perbankan dan Masalah Permodalan Dana Potensial, Pradnya Paramitha,
Jakarta, 1985
Sutan
Remy Sahdeini, Hukum Kepailitan, memahami
Undang-Undang No.37 Tahun 2004, tentang
Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2009, hal.28.
[1]
Abdurrachman, dalam Munir Fuady, Hukum
Pailit dalam Teori dan Praktik, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.8
[2]
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Buku 1, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, hal.13
[3]
R.Tjipto Adinugroho, Perbankan dan Masalah Permodalan Dana Potensial, Pradnya
Paramitha, Jakarta, 1985, hal.5
[4]
Usman, dalam Lukman Santosa, Hak dan
Kewajiban; Hukum nasabah Bank, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2011, hal.36-38
[5]
Ibid, hal.40
[6]
Levintal, dalam Sutan Remy Sahdeini, Hukum
Kepailitan, memahami Undang-Undang No.37
Tahun 2004, tentang Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2009, hal.28.
[7]Arus
Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek
Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010,
hal.133-135
[8]
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan : Suatu
Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitian, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, hal.158
[9]
Muyassarotussolichah, Aspek Hukum
Likuidasi Bank di Indonesia Pra Lembaga Penjamin Mutu Simpanan, LinkSAS, Yogyakarta,
2005, hal.124
[10]
Ibid, hal.
[11]
Adrian Sutedi,op.cit, hal.253
[12]
Ibid, hal.250
[13]
Adrian sutedi, ibid, hal.254