Senin, 07 September 2015

AKIBAT HUKUM PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE DALAM SURAT PERJANJIAN



AKIBAT HUKUM PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE DALAM SURAT PERJANJIAN
Oleh :
RIKA DESTINI SINAGA
Abstrak
Manusia membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karena itu manusia yang satu dengan manusia yang lain akan bekerjasama dan dalam kerjasama tersebut dapat terjadi perjanjian baik secara lisan maupun tulisan. Untuk memberikan kepastian hukum sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis. Para pihak bebas untuk menentukan  klausula-klausula  dalam perjanjian  tetapi  dalam menentukan klausula-klausula tersebut, para pihak tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan  kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal terjadi perselisihan atau sengketa para pihak, maka para pihak akan mempunyai dasar atau landasan bagaimana penyelesaian perselisihan tersebut. para pihak dapat memilih beberapa alternatif penyelesaian sengketa atau perselisihan, khususnya mengenai arbitrase, para pihak harus mencantumkan klausula arbitrase dalam surat perjanjian. Pencantuman kalusul arbitrase pada surat perjanjian akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan perjanjian. Oleh karena itu permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian. Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian bagi para pihak yaitu para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan tidak berwenangnya pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Kata kunci : akibat hukum, arbitrase

A.      PENDAHULUAN
Setiap orang tidak dapat hidup sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat,[1] sehingga dalam hidupnya membutuhkan orang lain   misalnya  para petani yang menanam padi membutuhkan orang lain untuk menjualkan padinya  dan penjual membutuhkan orang lain lagi untuk membeli padinya.
Berdasarkan contoh tersebut, secara tidak langsung telah terjadi suatu perjanjian jual beli yang terjadi antara penjual dan pembeli . Adapun yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu.[2]
Perjanjian yang dilakukan oleh para pihak dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan namun untuk memberikan kepastian hukum sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis baik dibuat dihadapan pejabat negara yaitu notaris atau dibawah tangan, sehingga dengan adanya perjanjian yang dibuat  ke dalam surat perjanjian akan memberikan kepastian hukum kepada para pihak.
Surat  perjanjian  yang dibuat  secara tertulis  dapat menjadi bukti tertulis bagi para pihak yang membuat perjanjian karena surat perjanjian dapat dijadikan bukti tertulis bagi para pihak jika terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan perjanjian.
Dalam perjanjian, Para pihak bebas untuk menentukan  klausula-klausula  dalam perjanjian  tetapi  dalam menentukan klausula-klausula tersebut, para pihak tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan  kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam hal terjadi perselisihan atau sengketa para pihak, maka para pihak akan mempunyai dasar atau landasan bagaimana penyelesaian perselisihan tersebut.
Dalam surat perjanjian para pihak dapat  memilih penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi maupun jalur non-litigasi.
Menurut Bambang Sutiyoso mekanisme penyelesaian sengketa bisnis dapat pula dibedakan menjadi dua, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi.
1.         Jalur litigasi (ordinary court) merupakan mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan dengan menggunakan pendekatan hukum (law approach) melalui aparat atau lembaga penegak hukum yang berwenang  sesuai dengan aturan perundang-undangan. Pada dasarnya jalur litigasi merupakan the last resort atau ultimum remidium, yaitu sebagai upaya terakhir manakala penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau perdamaian di luar pengadilan ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan keluar.
2.          Jalur non litigasi (extra ordinary court)
       Jalur nonlitigasi adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi menggunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat yang bentuk dan macamnya sangat bervariasi, seperti cara musyawarah, perdamaian,, kekeluargaan, penyelesaian adat dll. Salah satu cara yang sekarang sedang berkembang dan diminati oleh para pelaku bisnis adalah melalui ADR (Alternative Dispute Resolution) [3]

Menurut Priyatna Abdurrasyid,  Alternatif penyelesaian sengketa dapat dikedepankan yang menonjol secara tradisional dan alternatif adalah negoisasi, mediasi dan konsolidasi.[4]
Selanjutnya menurut Bambang Sutiyono, bentuk-bentuk ADR, baik yang telah disebutkan dalam UU No. 30 Tahun 1999 maupun beberapa varian ADR lainnya. Beberapa bentuk ADR tersebut meliputi : (1) Konsultasi ; (2) Negoisasi: (3) Mediasi;(4) Konsiliasi; (5) Arbitrase;(6) Good offices:; (7) Mini-Trial; (8) Summary Jury Trial; (9) Rent a Judge; dan (10) Med-Arb.[5]
Berdasarkan uraian diatas para pihak dapat memilih beberapa alternatif penyelesaian sengketa atau perselisihan, khususnya mengenai arbitrase, para pihak harus mencantumkan klausula arbitrase dalam surat perjanjian.
Pencantuman kalusul arbitrase pada surat perjanjian akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan perjanjian. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk meneliti tentang Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian, dengan pokok permasalahan, Bagaimanakah akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian ?

B.       PEMBAHASAN
Para pihak dalam membuat perjanjian mempunyai kebebasan untuk menentukan klausul-klausul yang tercantum dalam perjanjian namun tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kebebasan para pihak untuk menentukan klausul dalam perjanjian karena hukum perjanjian menganut asas terbuka. Gunawan Widjaja memberi pengertian tentang asas terbuka yaitu  :
“ Setiap orang bebas untuk membuat perjanjian atau bersepakat tentang segala hal, dalam bentuk apapun juga, dengan siapa saja, mengenai suatu benda tertentu; selama dan sepanjang;
1.         Perjanjian atau kesepakatan tersebut berada dalam lapangan bidang hukum dimana mereka dimungkinkan untuk berjanji atau bersepakat; dan
2.         Tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, yang berlaku dalam masyarakat di mana kesepakatan atau perjanjian tersebut dibuat  dan/atau dilaksanakan.”[6]
Para pihak dapat menentukan klausul perjanjian yang dapat dicantumkan oleh para pihak dalam memilih untuk penyelesaian sengketa yaitu penyelesaian secara litigasi atau non-litigasi.
Untuk non-litigasi, para pihak dapat memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang lain, khususnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Para pihak yang menyelesaikan sengketa melalui arbitrase harus mencantumkan klausul arbitrase dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak
Perjanjian yang memuat klausul arbitrase disebut dengan Perjanjian arbitrase. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentangg Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan :
“Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa , atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Klausul arbitrase merupakan klausul yang penting sebagai dasar bagi para pihak menyelesaikan sengketa atau perselisihan di lembaga arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan :
“ Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.”
Dan juga diatur dalam Peraturan prosedur BANI pada Pasal 1 tentang kesepakatan Arbitrase yaitu :
     “Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul diantara mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke arbitrase dihadapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( “BANI”) , atau menggunakan Peraturan Prosedur BANI, maka sengketa tersebut diselesaikan di bawah penyelenggaraan BANI berdasarkan peraturan tersebut, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan BANI. Penyelesaian sengketa secara damai melalui Arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandasan tata cara kooperatif dan non konfrontatif.”

Selanjutnya  Priyatna Abdurrasyid mengemukakan  yaitu :
            “Agar suatu sengketa dapat diserahkan pemeriksaannya dan pemutusannya kepada BANI, maka didalam surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak , harus dimuat suatu pasal berisikan klausula arbitrase sebagai berikut :
“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”
            Apabila mereka tidak memuat di dalam surat perjanjian pasal yang mencantumkan klausula arbitrase, maka kalau mereka hendak menyerahkan penyelesaian sengketa kepada BANI, kedua belah pihak membuat pernyataan yang isinya bertujuan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada BAN, menurut contoh klausula arbitrase diatas.”

Dengan pencantuman klausula arbitrase dalam surat perjanjian menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yaitu para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan tidak berwenangnya pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pasal 3 menyatakan bahwa :
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”
Pasal 11 menyatakan bahwa :
Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
Dengan diaturnya 2 Pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menegaskan bahwa adanya klausul arbitrase menimbulkan akibat hukum Pengadilan Negeri tidak mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa dan mengadili perjanjian yang didasarkan pada klausula arbitrase.
Menurut Komar Kantaatmadja dalam Makalah yang berjudul Beberapa Permasalahan Arbitrase Internasional ; Makalah Seminar Arbitrase 16 November 1988 yang dikutip oleh Eman Suparman mengemukakan tentang perbedaan antara arbitrase dan pengadilan negeri yaitu :
“Perbedaan arbitrase dengan proses di pengadilan diantaranya : Pertama, arbitrase bukan berlandaskan yuridis formal tetapi kebenaran dan kepatutan (ex aequo et bono). Kedua, keahlian dan integritas yang dimiliki arbiter yang harus merujuk pada kualitas yang patut dibanggakan, sehingga arbiter sebagi pihak yang bebas dan tidak memihak.” [7]

Para pihak yang telah memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat memilih lembaga yang menyelesaikan sengketa melalui arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) didirikan untuk tujuan:
a.         Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi di berbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang korporasi, asuransi, lembaga keuangan, fabrikasi, hak kekayaan intelektual, lisensi, franchise, konstruksi, pelayaran/maritim, lingkungan hidup, penginderaan jarak jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
b.        Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya seperti negoisasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI ataupun peraturan prosedur lainnya yang disepakati  oleh para pihak yang berkepentingan.
c.         Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
d.        Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Para pihak yang  bersengketa memilih Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) harus tunduk pada peraturan dan prosedur yang telah diatur dalam Peraturan Prosedur BANI.
C.      KESIMPULAN
Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian bagi para pihak yaitu para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan tidak berwenangnya pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Bambang Sutiyoso,  Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit Citra Media : Yogyakarta, 2006
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil, Penerbit Balai Pustaka : Jakarta, 1999
Eman Suparman, Arbitrase & dilema Penegakan Keadilan, Penerbit PT. Fikahati Aneska : Jakarta, 2012
Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Rajagarfindo Persada : Jakarta, 2006
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Penerbit : Fikahati Aneska : 2011
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Penerbit CV. Pustaka Setia : Bandung, 2011

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
          Penyelesaian Sengketa
Peraturan Prosedur BANI





[1] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil, Penerbit Balai Pustaka : Jakarta, 1999,   hlm 3
[2] Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Penerbit CV. Pustaka Setia : Bandung, 2011
[3] Bambang Sutiyoso,  Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit Citra Media : Yogyakarta, 2006, hlm. 9
[4] Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Penerbit : Fikahati Aneska : 2011. Hlm. 15.
[5] Bambang Sutiyoso, Op.cit. Hlm 35.
[6] Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Rajagarfindo Persada : Jakarta, 2006.hlm. 300-301.
[7] Eman Suparman, Arbitrase & dilema Penegakan Keadilan, Penerbit PT. Fikahati Aneska : Jakarta, 2012.

Rabu, 02 September 2015

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN



PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN
Oleh :
Mustika Mega Wijaya

Abstrak
Bank bukanlah suatu hal yang asing bagi masyarakat di negara maju. Bank dianggap sebagai suatu lembaga keuangan yang aman dalam  melakukan berbagai macam aktivitas keuangan. Dalam kegiatan  usahanya dibidang  jasa keuangan, seperti pemberian kredit, mekanisme pembayaran, transfer dana, penyimpanan, penyertaan modal, investasi dalam surat-surat berharga, program asuransi, program pensiun. Setiap  bank diwajibkan untuk memelihara kesehatannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan wajib melakukan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Kata Kunci : kredit, kehati-hatian

A.      PENDAHULUAN
Besarnya peran yang diemban oleh sektor perbankan, bukan berarti membuka kran sebebas bebasnya bagi siapa saja untuk mendirikan, mengelola ataupun menjalankan bisnis banknya tanpa didukung atau diback-up dengan aturan perbankan yang baik dan sehat. Pemerintah melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang menetapkan aturan dan tanggung jawab melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha dan aktivitas perbankan. Oleh karenanya, kebijakan pemerintah disektor perbankan harus diarahkan pada upaya mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan kokoh. Hal ini penting dalam pengembangan infrastruktur keuangan dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan investasi tetapi juga berperan penting dalam memelihara kstabilan ekonomi makro dan mikro melalui keterkaitannya dengan efektivitas kebijakan moneter.
Kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sangat beraneka ragam, dan selalu meningkat. Pada sisi lain setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi  kebutuhannya, sedangkan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya itu terbatas. Hal ini menyebabkan manusia memerlukan bantuan untuk memenuhi hasrat dan cita-citanya. Dalam hal ia berusaha, untuk meningkatkan usahanya atau untuk meningkatkan daya guna sesuatu barang, ia memerlukan bantuan dalam bentuk permodalan. Bantuan dari bank dalam bentuk pinjaman modal inilah yang sering disebut dengan kredit.
Yang dimaksud dengan Bank menurut Undang-undang No.10 Tahun 1998, tentang Perbankan; Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[1]
Bank termasuk salah satu dari  Lembaga Keuangan. Lembaga Keuangan adalah, badan usaha yang mempunyai kekayaan dalam bentuk aset keuangan atau tagihan berupa saham, obligasi, dan surat-surat berharga lainnya. Istilah lembaga keuangan meliputi :[2]
a.    Badan usaha yang mempunyai kekayaan dalam bentuk aset keuangan yang disediakan untuk menjalankan usaha di bidang jasa keuangan termasuk juga pembiayaan.
b.   Badan usaha yang hanya menjalankan usaha di bidang jasa pembiayaan, menyediakan dana atau barang modal tanpa menarik dana secara langsung dari masyarakat.
Dasar hukum dari suatu kredit, yaitu:[3]
  1. Adanya kesepakatan antara debitur dengan kreditur yang disebut perjanjian kredit;
  2. Adanya pihak yaitu kreditur dan debitur;
  3. Adanya kesanggupan atau janji untuk membayar hutang;
  4. Adanya pinjaman berupa pemberian sejumlah uang;
  5. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit dengan pembayaran kredit.

Unsur - unsur dari pemberian kredit, yaitu :[4]
  1. Kepercayaan
  2. Waktu suatu masa
  3. Prestasi (objek kredit)
  4. Kehati-hatian
Untuk mendapatkan dana tentu para pembisnis mencari sumber dana yang menarik untuk perkembangan bisnis mereka. Pihak yang mereka kenal adalah Bank, walaupun banyak lembaga keuangan lainnya.Bank bagi mereka adlah tempat yang terbaik untuk mendapatkan pinjaman tersebut guna membiayai bisnisnya.
Pihak bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit, terlebih dahulu harus diperoleh data bahwa, kredit yang diberikan mampu dikembalikan oleh debitur sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Upaya yang dilakukan oleh bank untuk memperoleh data tersebut antara lain dengan cara melakukan analisis terhadap debitur. Analisis ini sangat perlu dilakukan karena hal ini merupakan suatu bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan pemberian kredit.
Pemberian kredit yang tidak memperhatikan kebijaksanaan dan prosedur yang ada akan mengundang timbulnya penyimpangan-penyimpangan yang lain, semakin jauh pemberian kredit dari pedoman yang telah disusun maka akan semakin besar persentase kredit macet. Salah satu hal yang paling penting dalam pemberian kredit yaitu dengan melakukan deteksi dini (evaluasi kembali) atas kredit yang diduga akan bermasalah, sehingga kredit tersebut dapat diselamatkan dan terhindar dari kemacetan.
Dapat dikatakan yang dimaksud dengan kredit macet; adalah suatu keadaan dimana seseorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank beserta bunganya dan tidak tepat waktu apa yang telah diperjanjikan.
Semakin besar tingkat atau proporsi penjualan kredit dari keseluruhan penjualan, maka semakin besar pula jumlah investasi kredit yang dimiliki perusahaan. Dengan besarnya volume penjualan kredit setiap tahunnya, berarti perusahaan tersebut harus menyediakan investasi yang lebih besar lagi. Dengan adanya penjualan kredit yang dilakukan, maka akan timbul kemungkinan risiko yang dihadapi seperti munculnya berbagai biaya seperti, menambah pegawai yang mengurus dan mengawasi administrasi kredit. Saat semua masalah ini bermunculan, maka secara otomatis akan menghambat kelancaran operasional perusahaan yang harus di capai. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemberian kredit perusahaan harus memperhatikan unsur “ 5 C ” ( the five cof credit ) yaitu character, capacity, capital, collateral, dan condition.   
Hal ini dilakukan agar dalam perjanjian kredit ini tidak terjadi masalah (kredit macet). Sehingga perbankan harus hati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Dapat dikatakan yang dimaksud dengan kredit macet; adalah suatu keadaan dimana seseorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank beserta bunganya dan tidak tepat waktu apa yang telah diperjanjikan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh pejabat-pejabat kredit, tugas dan pekerjaan bagian, biro atau divisi perkreditan, pengarahan dan supervisi direksi dalam perkreditan adalah ditujukan agar kredit-kredit yang diberikan dapat kembali dengan baik dan membawa keuntungan yang diharapkan. Dengan perkataan lain, kredit berjalan baik dan lancar.[5] Akan tetapi dalam perkembangannya, tidak semua kredit yang diberikan berjalan lancar. Sebagian akan tidak lancar dan sebagian menuju kearah kemacetan.
Secara fakta, kredit bermasalah tidak muncul secara tiba-tiba, selalu ada tanda-tanda atau indikasi awal. Satu-satunya alasan debitur tidak mau membayar adalah karena ia tidak punya itikad baik, inilah alasan bank harus sangat berhati-hati memberikan kredit karena waktu yang tersedia untuk mengenal karakter (kemauan untuk membayar), bukan masalah bisnis (kemampuan untuk membayar). Yang sering terjadi adalah manajemen perusahaan tidak peka terhadap berbagai indikasi awal kredit bermasalah yang sering terjadi di perusahaannya, atau, biasa jadi enggan untuk mengakuinya. Meski demikian, biasa juga karena indikasi munculnya kredit bermasalah dapat muncul dari mana saja.[6]
B.       PEMBAHASAN
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani "Credere" artinya "kepercayaan" atau dalam bahasa latin "Creditum" berarti kepercayaan akan kebenaran. Oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan.[7]
Pemilik uang atau barang memberi kepercayaan kepada pihak peminjam (debitur) untuk menggunakan uang atau barangnya selama waktu tertentu. Peminjaman ini disertai pula kepercayaan bahwa sang debitur dapat mengembalikan uang atau barang yang dipinjamkan. Dengan demikian kredit adalah pemberian pemakaian suatu uang atau barang kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu dengan bunga jaminan atau tanpa bunga jaminan dengan pemberian jasa bunga dan atau tanpa bunga.
Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan. [8]
Maksudnya percaya kepada si penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si Penerima kredit merupakan si penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu. 
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah : Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[9]
 Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrech.
 Hukum perjanjian diatur dalam buku III BW ( KUHPerdata). Pada pasal 1313 KUHPerdata, dikemukakan tentang defenisi daripada perjanjian. Menurut ketentuan pasal ini,perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[10]
Dalam pemberian kredit, prinsip kehati-hatian adalah melakukan analisis yang mendalam untuk memperoleh keyakinan terhadap itikad baik, kemampuan dan kesanggupan calon debitor untuk membayar utangnya kembali.
Unsur kepercayaan tidak terbatas pada penerima kredit, tetapi terjaganya kepercayaan akan kejujuran dan kemampuan dalam mengembalikan pinjaman itu tepat pada waktunya. dalam memberikan kredit kepada debitur harus mempunyai kredibilitas atau kelayakan untuk memperoleh kredit.
Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur Bank  yang melahirkan hubungan  hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak. Dengan demikian hubungan kredit bank berlaku ketentuan dalam Buku III KUH Perdata tentang perikatan.
Sebelum menyetujui permohonan yang diajukan calon debitur untuk mendapatkan fasilitas kredit, maka bank akan melakukan analisis secara yuridis dan ekonomis terhadap calon debitur untuk menentukan kemampuan dan kemauan calon debitur tersebut untuk membayar kembali fasilitas kredit yang akan dinikmatinya sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Aspek yuridis dari suatu perjanjian kredit, yaitu adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Oleh karena itu analisis secara yuridis yang akan dilakukan oleh bank terhadap calon debitur meliputi analisis terhadap terpenuhinya syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan di antara kedua pihak yaitu pihak bank dengan pihak calon debitur, cakap untuk membuat perjanjian, mengenai suatu hal tertentu dan adanya suatu sebab yang halal.
Aspek ekonomi Bank terhadap calon debitur yaitu dengan menggunakan prinsip yang telah dikenal dalam dunia perbankan sebagai “The Five C’S of credit analisis” terdiri dari character, capital, capacity, collateral dan condition of economic.
Harus diakui bahwa produk kredit yang ditawarkan perbankan merupakan sumber pendapatan terbesar bagi bank. Oleh karenanya, pemberian kredit tersebut pasti secara terus menerus dilakukan oleh bank dalam kesinambungan operasionalnya. Namun disisi lain terdapat resiko tidak kembalinya dana atau kredit yang disalurkan tersebut. Melalui analisis yang mendalam yaitu dengan menerapkan prisip kehati-hatian terhadap setiap permohonan kredit yang diterimanya dan harus melakukan review terhadap setiap pemberian kredit yang disalurkannya.
Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan.
Kegiatan perbankan tidak bisa seluruhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, karena kenyataannya pasar tidak selalu mampu membetulkan dirinya sendiri bila terjadi sesuatu diluar dugaan.[11] Oleh sebab itu, kontrol dari Bank Indonesia terhadap pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan menjadi salah satu solusi terbaik dalam menjaga dan mempertahankan eksisitensi perbankan, yang pada akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat terhadap dunia perbankan itu sendiri.
Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998.
  1. Prinsip Kerahasiaan ( secrecy principle)
Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A UU No 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan Lelang / Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar informasi antar bank.
2.       Prinsip Mengenal Nasabah ( know how costumer principle )
            Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah nasabah diatur dalam PBI (Peraturan Bank Indonesia)  No.5/23/PBI/2003 tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles).  tentang Penerapan Prinsip Mengenal nasabah. Tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah adalah meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan.
Dalam proses pemberian kredit perlu diperhatikan prinsip-prinsip perkreditan yang dikenal dengan 5 (lima) C, atau “The Five C Of Credit Analysis” (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition) :[12]
a.       Character (watak)
Kredit :Atas dasar kepercayaan
Kepercayaan: Keyakinan terhadap moral watak dan sifat pribadi yang positif. Character merupakan faktor dominan.
Penilaian character : tingkat kejujuran, integritas dan itikad baik.
Character : tingkat kemauan mengembalikan kredit.
Cara mengetahui:
-       Daftar riwayat hidup
-       Past performance
b.    Capacity (kapasitas)
Penilaian kemampuan pembayaran. Dimana hasil usaha baik yang diperoleh akan mampu membayar kredit. Pengukuran capacity dengan pendekatan :
·         Past performance : track record usaha
·         Financial : rata-rata neraca dan R/L
c.    Capital (modal)
Modal sendiri yang dimiliki (Self Financing). Semakin besar modal sendiri, semakin besar pula tanggung jawab dan kesungguhannya atau sebaliknya. Besar kecilnya capital: neraca perusahaan (owner equity, laba ditahan dll).
d.   Collateral (jaminan)
Barang-barang jaminan yang diserahkan debitur sebagai alat pengamanan apabila usaha gagal. Sifatnya sebagai pelangkap kelayakan usaha.
 Bentuk jaminan :
· Jaminan kebendaan (fisik)
· Jaminan tidak berwujud (non fisik)
 Nilai jaminan harus lebih besar dari nilai kredit dan aman dari aspek yuridis.
e. Condition of Economic
Analisis terhadap situasi dan kondisi perekonomian yang mempengaruhi terhadap kelancaran usaha. Pengaruh kebijakan-kabijakan  pemerintah terhadap perekonomian atau usaha-usaha tertentu.penilaian dilakukan secara makro dan mikro.bagaimana usaha yang bersangkutan saat ini dan nanti secara prospective dan potensinya.

C.      KESIMPULAN
Prinsip kehati-hatian yang dikenal dengan 5C atau The Five C Of Credit Analysis. Merupakan salah satu asas penting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Prinsip kehati-hatian  mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Bank harus meningkatkan kualitas pegawai dengan selalu mengadakan pelatihan tentang peraturan hukum yang terkait dengan pemberian kredit.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004
Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, Jakarta, 2012
Heru supraptomo,  Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan” Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, volume 1, 1997
Mariam Darus Badrulzaman,Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo,Faturrahman, Taryana Soenandar., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, P.T. Citra Aditya Bakti, Cetakan I, 2001
Muchdarsyah Sinungan, Dasar-Dasar dan Teknik Managemen Kredit, Jakarta, Bumi Aksara, 1991.
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Bandung, 1987

Thamrin Abdullah, Bank dan Lembaga Keuangan, Jakarta, PT. Raja Grafindo    Persada, 2012.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Bandung, Citra Umbara, 2007
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.



[1] Thamrin Abdullah, Bank dan Lembaga Keuangan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2012,  hal. 26
[2] Abdulkadir Muhammad, Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hal.8
[3]Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, Jakarta, hal. 28
[4] Ibid, hal. 29
[5] Muchdarsyah Sinungan, Dasar-Dasar dan Teknik Managemen Kredit, Jakarta, Bumi Aksara, 1991, hal.159
[6] Jopie Jusuf, Kiat Jitu Memperoleh Kredit Bank, Jakata, PT. Gramedia, 2003, hal.215
[7]Op Cit. Thamrin Abdullah, Francis Tantri, hal.162
                [8] Mariam Darus Badrulzaman,Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman, Taryana Soenandar., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, P.T. Citra Aditya Bakti, Cetakan I, 2001, hal. 74
[9] R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Bandung, 1987, hlm.9 
[10]Faisal Santigo, Op Cit, hal. 19
[11] Heru supraptomo,  Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan” Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, volume 1, 1997, hlm.63
[12] Abdulkadir Muhammad, Rilda Murniati, Op cit, hal.61