AKIBAT HUKUM PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE
DALAM SURAT PERJANJIAN
Oleh :
RIKA DESTINI SINAGA
Abstrak
Manusia
membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karena itu
manusia yang satu dengan manusia yang lain akan bekerjasama dan dalam kerjasama
tersebut dapat terjadi perjanjian baik secara lisan maupun tulisan. Untuk
memberikan kepastian hukum sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis. Para
pihak bebas untuk menentukan
klausula-klausula dalam
perjanjian tetapi dalam menentukan klausula-klausula tersebut,
para pihak tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum
dan kesusilaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal terjadi perselisihan
atau sengketa para pihak, maka para pihak akan mempunyai dasar atau landasan
bagaimana penyelesaian perselisihan tersebut. para pihak dapat memilih beberapa
alternatif penyelesaian sengketa atau perselisihan, khususnya mengenai
arbitrase, para pihak harus mencantumkan klausula arbitrase dalam surat
perjanjian. Pencantuman kalusul arbitrase pada surat perjanjian akan
menimbulkan akibat hukum bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau
perselisihan perjanjian. Oleh karena itu permasalahan dalam tulisan ini adalah
bagaimanakah Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian.
Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian bagi para
pihak yaitu para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan tidak
berwenangnya pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Kata kunci : akibat
hukum, arbitrase
A.
PENDAHULUAN
Setiap
orang tidak dapat hidup sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles bahwa manusia
itu adalah Zoon Politicon artinya
bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam
berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat,[1] sehingga
dalam hidupnya membutuhkan orang lain
misalnya para petani yang menanam
padi membutuhkan orang lain untuk menjualkan padinya dan penjual membutuhkan orang lain lagi untuk
membeli padinya.
Berdasarkan
contoh tersebut, secara tidak langsung telah terjadi suatu perjanjian jual beli
yang terjadi antara penjual dan pembeli . Adapun yang dimaksud dengan
perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para pihak saling
berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu.[2]
Perjanjian
yang dilakukan oleh para pihak dapat dilakukan secara tertulis maupun secara
lisan namun untuk memberikan kepastian hukum sebaiknya perjanjian dibuat secara
tertulis baik dibuat dihadapan pejabat negara yaitu notaris atau dibawah
tangan, sehingga dengan adanya perjanjian yang dibuat ke dalam surat perjanjian akan memberikan
kepastian hukum kepada para pihak.
Surat perjanjian
yang dibuat secara tertulis dapat menjadi bukti tertulis bagi para pihak
yang membuat perjanjian karena surat perjanjian dapat dijadikan bukti tertulis
bagi para pihak jika terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan
perjanjian.
Dalam
perjanjian, Para pihak bebas untuk menentukan
klausula-klausula dalam
perjanjian tetapi dalam menentukan klausula-klausula tersebut,
para pihak tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum
dan kesusilaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam
hal terjadi perselisihan atau sengketa para pihak, maka para pihak akan
mempunyai dasar atau landasan bagaimana penyelesaian perselisihan tersebut.
Dalam
surat perjanjian para pihak dapat
memilih penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi maupun jalur
non-litigasi.
Menurut
Bambang Sutiyoso mekanisme penyelesaian sengketa bisnis dapat pula dibedakan
menjadi dua, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi.
1.
Jalur
litigasi (ordinary court) merupakan
mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan dengan
menggunakan pendekatan hukum (law approach) melalui aparat atau lembaga penegak
hukum yang berwenang sesuai dengan
aturan perundang-undangan. Pada dasarnya jalur litigasi merupakan the last
resort atau ultimum remidium, yaitu sebagai upaya terakhir manakala
penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau perdamaian di luar pengadilan
ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan keluar.
2.
Jalur non litigasi (extra ordinary court)
Jalur nonlitigasi adalah mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi menggunakan mekanisme yang
hidup dalam masyarakat yang bentuk dan macamnya sangat bervariasi, seperti cara
musyawarah, perdamaian,, kekeluargaan, penyelesaian adat dll. Salah satu cara
yang sekarang sedang berkembang dan diminati oleh para pelaku bisnis adalah
melalui ADR (Alternative Dispute
Resolution) [3]
Menurut
Priyatna Abdurrasyid, Alternatif
penyelesaian sengketa dapat dikedepankan yang menonjol secara tradisional dan
alternatif adalah negoisasi, mediasi dan konsolidasi.[4]
Selanjutnya
menurut Bambang Sutiyono, bentuk-bentuk ADR, baik yang telah disebutkan dalam
UU No. 30 Tahun 1999 maupun beberapa varian ADR lainnya. Beberapa bentuk ADR
tersebut meliputi : (1) Konsultasi ; (2) Negoisasi: (3) Mediasi;(4) Konsiliasi;
(5) Arbitrase;(6) Good offices:; (7) Mini-Trial; (8) Summary Jury Trial; (9)
Rent a Judge; dan (10) Med-Arb.[5]
Berdasarkan
uraian diatas para pihak dapat memilih beberapa alternatif penyelesaian
sengketa atau perselisihan, khususnya mengenai arbitrase, para pihak harus
mencantumkan klausula arbitrase dalam surat perjanjian.
Pencantuman
kalusul arbitrase pada surat perjanjian akan menimbulkan akibat hukum bagi para
pihak untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan perjanjian. Oleh karena
itu, Penulis tertarik untuk meneliti tentang Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase
dalam surat perjanjian, dengan pokok permasalahan, Bagaimanakah akibat hukum pencantuman klausul
arbitrase dalam surat perjanjian ?
B.
PEMBAHASAN
Para
pihak dalam membuat perjanjian mempunyai kebebasan untuk menentukan
klausul-klausul yang tercantum dalam perjanjian namun tidak melanggar peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kebebasan
para pihak untuk menentukan klausul dalam perjanjian karena hukum perjanjian
menganut asas terbuka. Gunawan Widjaja memberi pengertian tentang asas terbuka
yaitu :
“
Setiap orang bebas untuk membuat perjanjian atau bersepakat tentang segala hal,
dalam bentuk apapun juga, dengan siapa saja, mengenai suatu benda tertentu;
selama dan sepanjang;
1.
Perjanjian
atau kesepakatan tersebut berada dalam lapangan bidang hukum dimana mereka
dimungkinkan untuk berjanji atau bersepakat; dan
2.
Tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, yang
berlaku dalam masyarakat di mana kesepakatan atau perjanjian tersebut
dibuat dan/atau dilaksanakan.”[6]
Para
pihak dapat menentukan klausul perjanjian yang dapat dicantumkan oleh para
pihak dalam memilih untuk penyelesaian sengketa yaitu penyelesaian secara
litigasi atau non-litigasi.
Untuk
non-litigasi, para pihak dapat memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang lain, khususnya
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Menurut
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Para
pihak yang menyelesaikan sengketa melalui arbitrase harus mencantumkan klausul
arbitrase dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak
Perjanjian
yang memuat klausul arbitrase disebut dengan Perjanjian arbitrase. Menurut
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentangg Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan :
“Perjanjian
Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa
, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.
Klausul
arbitrase merupakan klausul yang penting sebagai dasar bagi para pihak
menyelesaikan sengketa atau perselisihan di lembaga arbitrase sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan :
“ Dalam hal para pihak memilih
penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan
mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak.”
Dan
juga diatur dalam Peraturan prosedur BANI pada Pasal 1 tentang kesepakatan
Arbitrase yaitu :
“Apabila para pihak dalam suatu perjanjian
atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul diantara
mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke
arbitrase dihadapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( “BANI”) , atau
menggunakan Peraturan Prosedur BANI, maka sengketa tersebut diselesaikan di
bawah penyelenggaraan BANI berdasarkan peraturan tersebut, dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak,
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat
memaksa dan kebijaksanaan BANI. Penyelesaian sengketa secara damai melalui
Arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandasan tata cara
kooperatif dan non konfrontatif.”
Selanjutnya Priyatna Abdurrasyid mengemukakan yaitu :
“Agar suatu sengketa dapat
diserahkan pemeriksaannya dan pemutusannya kepada BANI, maka didalam surat
perjanjian yang dibuat oleh para pihak , harus dimuat suatu pasal berisikan
klausula arbitrase sebagai berikut :
“Semua sengketa
yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,
yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai
keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”
Apabila mereka tidak memuat di dalam
surat perjanjian pasal yang mencantumkan klausula arbitrase, maka kalau mereka
hendak menyerahkan penyelesaian sengketa kepada BANI, kedua belah pihak membuat
pernyataan yang isinya bertujuan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada BAN,
menurut contoh klausula arbitrase diatas.”
Dengan
pencantuman klausula arbitrase dalam surat perjanjian menimbulkan akibat hukum
bagi para pihak yaitu para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
dan tidak berwenangnya pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadilinya
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pasal
3 menyatakan bahwa :
“Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase.”
Pasal
11 menyatakan bahwa :
Adanya
suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
Pengadilan Negeri.
Dengan
diaturnya 2 Pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menegaskan bahwa adanya klausul arbitrase
menimbulkan akibat hukum Pengadilan Negeri tidak mempunyai kompetensi absolut
untuk memeriksa dan mengadili perjanjian yang didasarkan pada klausula
arbitrase.
Menurut
Komar Kantaatmadja dalam Makalah yang berjudul Beberapa Permasalahan Arbitrase
Internasional ; Makalah Seminar Arbitrase 16 November 1988 yang dikutip oleh
Eman Suparman mengemukakan tentang perbedaan antara arbitrase dan pengadilan
negeri yaitu :
“Perbedaan
arbitrase dengan proses di pengadilan diantaranya : Pertama, arbitrase bukan
berlandaskan yuridis formal tetapi kebenaran dan kepatutan (ex aequo et bono). Kedua, keahlian dan
integritas yang dimiliki arbiter yang harus merujuk pada kualitas yang patut
dibanggakan, sehingga arbiter sebagi pihak yang bebas dan tidak memihak.” [7]
Para
pihak yang telah memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat memilih
lembaga yang menyelesaikan sengketa melalui arbitrase seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI).
Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) didirikan untuk tujuan:
a.
Dalam rangka turut serta dalam upaya
penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat yang terjadi di berbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan,
melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya
antara lain di bidang-bidang korporasi, asuransi, lembaga keuangan, fabrikasi,
hak kekayaan intelektual, lisensi, franchise, konstruksi, pelayaran/maritim,
lingkungan hidup, penginderaan jarak jauh, dan lain-lain dalam lingkup
peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
b.
Menyediakan jasa-jasa bagi
penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk
alternatif penyelesaian sengketa lainnya seperti negoisasi, mediasi, konsiliasi
dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI
ataupun peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan.
c.
Bertindak secara otonom dan independen
dalam penegakan hukum dan keadilan.
d.
Menyelenggarakan pengkajian dan riset
serta program-program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa.
Para
pihak yang bersengketa memilih Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) harus tunduk pada peraturan dan prosedur
yang telah diatur dalam Peraturan Prosedur BANI.
C.
KESIMPULAN
Akibat
hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian bagi para pihak
yaitu para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan tidak
berwenangnya pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku
Bambang Sutiyoso,
Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit Citra Media : Yogyakarta,
2006
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil, Penerbit Balai Pustaka :
Jakarta, 1999
Eman Suparman, Arbitrase & dilema Penegakan Keadilan, Penerbit PT. Fikahati
Aneska : Jakarta, 2012
Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip
Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Rajagarfindo Persada :
Jakarta, 2006
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS), Penerbit : Fikahati Aneska : 2011
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan dilengkapi Hukum Perikatan
dalam Islam, Penerbit CV. Pustaka Setia : Bandung, 2011
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian
Sengketa
Peraturan Prosedur BANI
[1]
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum
Semester Ganjil, Penerbit Balai Pustaka : Jakarta, 1999, hlm 3
[2]
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan
dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Penerbit CV. Pustaka Setia :
Bandung, 2011
[3]
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit
Citra Media : Yogyakarta, 2006, hlm. 9
[4]
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Penerbit : Fikahati Aneska : 2011.
Hlm. 15.
[5]
Bambang Sutiyoso, Op.cit. Hlm 35.
[6]
Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis
Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata,
Rajagarfindo Persada : Jakarta, 2006.hlm. 300-301.
[7]
Eman Suparman, Arbitrase & dilema
Penegakan Keadilan, Penerbit PT. Fikahati Aneska : Jakarta, 2012.
Lucky Club Casino Site Review - Lucky Club Casino UK
BalasHapusLucky Club Casino is the perfect fit for everyone that loves to play on and off luckyclub the field. With a lot of games to choose from and tons of promotions available, Rating: 3.5 · Review by LuckyClub.live