Senin, 07 September 2015

AKIBAT HUKUM PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE DALAM SURAT PERJANJIAN



AKIBAT HUKUM PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE DALAM SURAT PERJANJIAN
Oleh :
RIKA DESTINI SINAGA
Abstrak
Manusia membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karena itu manusia yang satu dengan manusia yang lain akan bekerjasama dan dalam kerjasama tersebut dapat terjadi perjanjian baik secara lisan maupun tulisan. Untuk memberikan kepastian hukum sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis. Para pihak bebas untuk menentukan  klausula-klausula  dalam perjanjian  tetapi  dalam menentukan klausula-klausula tersebut, para pihak tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan  kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal terjadi perselisihan atau sengketa para pihak, maka para pihak akan mempunyai dasar atau landasan bagaimana penyelesaian perselisihan tersebut. para pihak dapat memilih beberapa alternatif penyelesaian sengketa atau perselisihan, khususnya mengenai arbitrase, para pihak harus mencantumkan klausula arbitrase dalam surat perjanjian. Pencantuman kalusul arbitrase pada surat perjanjian akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan perjanjian. Oleh karena itu permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian. Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian bagi para pihak yaitu para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan tidak berwenangnya pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Kata kunci : akibat hukum, arbitrase

A.      PENDAHULUAN
Setiap orang tidak dapat hidup sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat,[1] sehingga dalam hidupnya membutuhkan orang lain   misalnya  para petani yang menanam padi membutuhkan orang lain untuk menjualkan padinya  dan penjual membutuhkan orang lain lagi untuk membeli padinya.
Berdasarkan contoh tersebut, secara tidak langsung telah terjadi suatu perjanjian jual beli yang terjadi antara penjual dan pembeli . Adapun yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu.[2]
Perjanjian yang dilakukan oleh para pihak dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan namun untuk memberikan kepastian hukum sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis baik dibuat dihadapan pejabat negara yaitu notaris atau dibawah tangan, sehingga dengan adanya perjanjian yang dibuat  ke dalam surat perjanjian akan memberikan kepastian hukum kepada para pihak.
Surat  perjanjian  yang dibuat  secara tertulis  dapat menjadi bukti tertulis bagi para pihak yang membuat perjanjian karena surat perjanjian dapat dijadikan bukti tertulis bagi para pihak jika terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan perjanjian.
Dalam perjanjian, Para pihak bebas untuk menentukan  klausula-klausula  dalam perjanjian  tetapi  dalam menentukan klausula-klausula tersebut, para pihak tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan  kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam hal terjadi perselisihan atau sengketa para pihak, maka para pihak akan mempunyai dasar atau landasan bagaimana penyelesaian perselisihan tersebut.
Dalam surat perjanjian para pihak dapat  memilih penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi maupun jalur non-litigasi.
Menurut Bambang Sutiyoso mekanisme penyelesaian sengketa bisnis dapat pula dibedakan menjadi dua, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi.
1.         Jalur litigasi (ordinary court) merupakan mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan dengan menggunakan pendekatan hukum (law approach) melalui aparat atau lembaga penegak hukum yang berwenang  sesuai dengan aturan perundang-undangan. Pada dasarnya jalur litigasi merupakan the last resort atau ultimum remidium, yaitu sebagai upaya terakhir manakala penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau perdamaian di luar pengadilan ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan keluar.
2.          Jalur non litigasi (extra ordinary court)
       Jalur nonlitigasi adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi menggunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat yang bentuk dan macamnya sangat bervariasi, seperti cara musyawarah, perdamaian,, kekeluargaan, penyelesaian adat dll. Salah satu cara yang sekarang sedang berkembang dan diminati oleh para pelaku bisnis adalah melalui ADR (Alternative Dispute Resolution) [3]

Menurut Priyatna Abdurrasyid,  Alternatif penyelesaian sengketa dapat dikedepankan yang menonjol secara tradisional dan alternatif adalah negoisasi, mediasi dan konsolidasi.[4]
Selanjutnya menurut Bambang Sutiyono, bentuk-bentuk ADR, baik yang telah disebutkan dalam UU No. 30 Tahun 1999 maupun beberapa varian ADR lainnya. Beberapa bentuk ADR tersebut meliputi : (1) Konsultasi ; (2) Negoisasi: (3) Mediasi;(4) Konsiliasi; (5) Arbitrase;(6) Good offices:; (7) Mini-Trial; (8) Summary Jury Trial; (9) Rent a Judge; dan (10) Med-Arb.[5]
Berdasarkan uraian diatas para pihak dapat memilih beberapa alternatif penyelesaian sengketa atau perselisihan, khususnya mengenai arbitrase, para pihak harus mencantumkan klausula arbitrase dalam surat perjanjian.
Pencantuman kalusul arbitrase pada surat perjanjian akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan perjanjian. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk meneliti tentang Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian, dengan pokok permasalahan, Bagaimanakah akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian ?

B.       PEMBAHASAN
Para pihak dalam membuat perjanjian mempunyai kebebasan untuk menentukan klausul-klausul yang tercantum dalam perjanjian namun tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kebebasan para pihak untuk menentukan klausul dalam perjanjian karena hukum perjanjian menganut asas terbuka. Gunawan Widjaja memberi pengertian tentang asas terbuka yaitu  :
“ Setiap orang bebas untuk membuat perjanjian atau bersepakat tentang segala hal, dalam bentuk apapun juga, dengan siapa saja, mengenai suatu benda tertentu; selama dan sepanjang;
1.         Perjanjian atau kesepakatan tersebut berada dalam lapangan bidang hukum dimana mereka dimungkinkan untuk berjanji atau bersepakat; dan
2.         Tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, yang berlaku dalam masyarakat di mana kesepakatan atau perjanjian tersebut dibuat  dan/atau dilaksanakan.”[6]
Para pihak dapat menentukan klausul perjanjian yang dapat dicantumkan oleh para pihak dalam memilih untuk penyelesaian sengketa yaitu penyelesaian secara litigasi atau non-litigasi.
Untuk non-litigasi, para pihak dapat memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang lain, khususnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Para pihak yang menyelesaikan sengketa melalui arbitrase harus mencantumkan klausul arbitrase dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak
Perjanjian yang memuat klausul arbitrase disebut dengan Perjanjian arbitrase. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentangg Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan :
“Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa , atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Klausul arbitrase merupakan klausul yang penting sebagai dasar bagi para pihak menyelesaikan sengketa atau perselisihan di lembaga arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan :
“ Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.”
Dan juga diatur dalam Peraturan prosedur BANI pada Pasal 1 tentang kesepakatan Arbitrase yaitu :
     “Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul diantara mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke arbitrase dihadapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( “BANI”) , atau menggunakan Peraturan Prosedur BANI, maka sengketa tersebut diselesaikan di bawah penyelenggaraan BANI berdasarkan peraturan tersebut, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan BANI. Penyelesaian sengketa secara damai melalui Arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandasan tata cara kooperatif dan non konfrontatif.”

Selanjutnya  Priyatna Abdurrasyid mengemukakan  yaitu :
            “Agar suatu sengketa dapat diserahkan pemeriksaannya dan pemutusannya kepada BANI, maka didalam surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak , harus dimuat suatu pasal berisikan klausula arbitrase sebagai berikut :
“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”
            Apabila mereka tidak memuat di dalam surat perjanjian pasal yang mencantumkan klausula arbitrase, maka kalau mereka hendak menyerahkan penyelesaian sengketa kepada BANI, kedua belah pihak membuat pernyataan yang isinya bertujuan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada BAN, menurut contoh klausula arbitrase diatas.”

Dengan pencantuman klausula arbitrase dalam surat perjanjian menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yaitu para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan tidak berwenangnya pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pasal 3 menyatakan bahwa :
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”
Pasal 11 menyatakan bahwa :
Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
Dengan diaturnya 2 Pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menegaskan bahwa adanya klausul arbitrase menimbulkan akibat hukum Pengadilan Negeri tidak mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa dan mengadili perjanjian yang didasarkan pada klausula arbitrase.
Menurut Komar Kantaatmadja dalam Makalah yang berjudul Beberapa Permasalahan Arbitrase Internasional ; Makalah Seminar Arbitrase 16 November 1988 yang dikutip oleh Eman Suparman mengemukakan tentang perbedaan antara arbitrase dan pengadilan negeri yaitu :
“Perbedaan arbitrase dengan proses di pengadilan diantaranya : Pertama, arbitrase bukan berlandaskan yuridis formal tetapi kebenaran dan kepatutan (ex aequo et bono). Kedua, keahlian dan integritas yang dimiliki arbiter yang harus merujuk pada kualitas yang patut dibanggakan, sehingga arbiter sebagi pihak yang bebas dan tidak memihak.” [7]

Para pihak yang telah memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat memilih lembaga yang menyelesaikan sengketa melalui arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) didirikan untuk tujuan:
a.         Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi di berbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang korporasi, asuransi, lembaga keuangan, fabrikasi, hak kekayaan intelektual, lisensi, franchise, konstruksi, pelayaran/maritim, lingkungan hidup, penginderaan jarak jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
b.        Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya seperti negoisasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI ataupun peraturan prosedur lainnya yang disepakati  oleh para pihak yang berkepentingan.
c.         Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
d.        Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Para pihak yang  bersengketa memilih Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) harus tunduk pada peraturan dan prosedur yang telah diatur dalam Peraturan Prosedur BANI.
C.      KESIMPULAN
Akibat hukum pencantuman klausul arbitrase dalam surat perjanjian bagi para pihak yaitu para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan tidak berwenangnya pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Bambang Sutiyoso,  Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit Citra Media : Yogyakarta, 2006
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil, Penerbit Balai Pustaka : Jakarta, 1999
Eman Suparman, Arbitrase & dilema Penegakan Keadilan, Penerbit PT. Fikahati Aneska : Jakarta, 2012
Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Rajagarfindo Persada : Jakarta, 2006
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Penerbit : Fikahati Aneska : 2011
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Penerbit CV. Pustaka Setia : Bandung, 2011

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
          Penyelesaian Sengketa
Peraturan Prosedur BANI





[1] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil, Penerbit Balai Pustaka : Jakarta, 1999,   hlm 3
[2] Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Penerbit CV. Pustaka Setia : Bandung, 2011
[3] Bambang Sutiyoso,  Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit Citra Media : Yogyakarta, 2006, hlm. 9
[4] Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Penerbit : Fikahati Aneska : 2011. Hlm. 15.
[5] Bambang Sutiyoso, Op.cit. Hlm 35.
[6] Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Rajagarfindo Persada : Jakarta, 2006.hlm. 300-301.
[7] Eman Suparman, Arbitrase & dilema Penegakan Keadilan, Penerbit PT. Fikahati Aneska : Jakarta, 2012.

1 komentar:

  1. Lucky Club Casino Site Review - Lucky Club Casino UK
    Lucky Club Casino is the perfect fit for everyone that loves to play on and off luckyclub the field. With a lot of games to choose from and tons of promotions available,  Rating: 3.5 · ‎Review by LuckyClub.live

    BalasHapus