KEWAJIBAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN
LINGKUNGAN BAGI PERSEROAN SERTA SANKSINYA
Oleh :
Rosida
Diani, SH,MH[1]
ABSTRAK
Setiap perusahaan,
dalam menjalankan aktivitasnya, diharapkan tidak hanya bertujuan mencari profit
semata, tetapi harus juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan dimana
perseroan itu berdiri. Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diatur di
dalam UU PT merupakan terjemahan dari CSR yang tujuannya agar suatu perseroan
melaksanakan hal tersebut. Sebagai suatu kewajiban, maka tidak laksanakannya
TJSL pasti akan dikenakan sanksi. Sanksi ini diatur di dalam UU PM yaitu berupa
sanksi peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha
dan/atau fasilitas penanaman modal; atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau
fasilitas penanaman modal. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis
normatif, dengan data sekunder yang digunakan diperoleh bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Dari hasil penelitian, didapat bahwa hanya dalam UU PM
saja diatur mengenai sanksi bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya tetapi tidak melaksanakan kewajiban
TJSL, meskipun secara tegas di dalam UU PT disebutkan bahwa pengaturan mengenai
sanksi diatur di dalam peraturan sektoral. Sehingga kedepannya seharusnya di
dalam Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai TJSL haruslah juga
diatur secara tegas mengenai sanksinya.
Kata kunci : sanksi, Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan
A.
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alam ini sebagaimana
diamanatkan oleh undang-undang diperuntukan bagi kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia. Mewujudkan kemakmuran seluruh rakyat merupakan salah satu tujuan
dari Negara, sebagaimana secara tegas tertuang dalam tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945
alinea keempat yaitu “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”[2]
Kekayaan sumber
daya alam sebagai sumber kekayaan bagi kemakmuran rakyat ini haruslah dikelola
dengan baik, agar kemanfaatannya tidak hanya dinikmati oleh segelintir kalangan
tertentu saja, tetapi untuk seluruh masyarakat. Sebagaimana diketahui, untuk
bisa diperoleh kemanfaatanya, kekayaan alam itu haruslah diolah dengan proses
yang panjang, proses itu memerlukan biaya dan teknologi. Untuk melaksanakannya,
dibutuhkan suatu lembaga tersendiri, yaitu suatu korporat atau perusahaan.
Bentuk
perusahaan yang dapat melakukan pengolahan kekayaan alam yang berupa sumber
daya alam, adalah suatu perseroan terbatas. Perseroan terbatas atau naamloze vennootschap (dalam bahasa
Belanda), company limited by shares
(dalam bahasa Inggris),[3] menurut
Pasal 1 angka 1 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya
disebut UU PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Suatu perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan atau berkaitan dengan sumber daya
alam, mempunyai kewajiban atas tanggung jawab sosial dan lingkungan agar
kemanfaatan sumber daya alam itu tidak hanya dinikmati oleh perseoran itu
sendiri, tetapi juga mempunyai kemanfaatan untuk masyarakat banyak. Sudah
menjadi pengalaman selama ini bahwa suatu perseroan yang memanfaatkan sumber
daya alam dalam aktifitas perusahaannya kerap menimbulkan kerusakan lingkungan,
permasalahan kecemburuan sosial dimana perseroan itu berada.
Sebagai suatu
komuniti, korporat pada dasarnya juga berupa sebuah sistem yang terdiri dari
elemen-elemen yang menunjang keberlanjutan sistem korporat tersebut dalam
lingkup sistem intern. Korporat sebagai suatu sistem dalam keberlanjutan dan
keseimbangannya, ia tidak bisa berdiri sendiri, hal ini berkaitan dengan
kedudukannya dalam sebuah masyarakat. Korporat membutuhkan kemitraan yang
saling timbal balik (re-ciprocal) dengan institusi lain. Korporat selain
mengejar keuntungan ekonomi untuk kesejahteraan dirinya, ia juga memerlukan
alam untuk sumber daya olahannya dan stakeholder lainnya untuk mencapai
tujuannya. Dalam pola hubungan ini, stakeholders hendaknya mendapatkan keuntungan
dan tanggung jawab bersama.[4]
Konsep
pemikiran, bahwa suatu perseroan itu haruslah juga mempunyai tanggung jawab
sosial dan lingkungan ini dikenal dengan konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Di dalam UU PT, konsep CSR
ini disebut dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Konsep CSR
pertama kali ada pada awal dekade 1930-an dengan munculnya pemikiran mengenai
korporasi yang beradab.Tahun 1933, A. Berle dan G. Means meluncurkan sebuah
buku the Modern Corporations and Private
Property. Buku ini menyatakan bahwa seharusnya korporasi modern
mentransformasi diri menjadi institusi sosial dari pada institusi ekonomi yang
semata-mata hanya bertujuan untuk memaksimalkan laba. Pemikiran ini dipertajam
oleh Peter F. Druker pada tahun 1946 melalui buku yang ditulisnya “ the Concept of Corporations, yang
menyatakan secara tegas, bahwa manajemen harus memiliki tanggung jawab terhadap
profesinya, perusahaan dan karyawan serta tanggung jawab terhadap ekonomi dan
masyarakatnya. Pada tahun 1962 seorang ibu rumah tangga bernama Rachel Carson
mengagetkan dunia dengan buku legendaris berjudul Silent Spring. Buku ini menunjukan bahwa betapa mematikannya
pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Buku ini menyadarkan bahwa tingkah
laku korporasi harus diluruskan sebelum semuanya mengalami kehancuran.[5]
Tekanan dari
organisasi-organisasi pada tingkat global agar kelestarian lingkungan,
pemberantasan kemiskinan, serta upaya untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat dunia dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang
mendorong berbagai elemen untuk ikut berperan serta, termasuk sektor swasta
dalam hal ini adalah pelaku bisnis. Hal tersebut dapat kita lihat pada komitmen
dari beberapa kali Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang membahas tentang
lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan dan perubahan iklim. Semua
pembahasan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan latar
“tanggung jawab sosial” suatu perusahaan. Konferensi lingkungan hidup di
Stockholm, Swedia pada tahun 1972 yang membentuk badan khusus PBB untuk masalah
lingkungan yaitu United Nations
Environmental Programme (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya. PBB juga
membentuk World Commission on
Environmental and Development (WCED) atas kesadaran akan kerusakan
lingkungan sebagai dampak dari pelaksanaan pembangunan selama ini. Pada tahun 1987 komisi ini
menerbitkan laporannya “Our Common Future”
dengan tema pembangunan berkelanjutan. Dalam laporan tersebut pembangunan
berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya
pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan aspek lingkungan dan sosial.[6]
Di Indonesia konsep
CSR mulai diatur dalam regulasi sejak diatur di dalam UU No. Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (selanjutnya disebut UU PM), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT), dan Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
(selanjutnya disebut PP TJSL), UU No.19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara
(Selanjutnya disebut UU BUMN) jo Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara Nomor
Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha
Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Namun, istilah yang dipergunakan
dalam peraturan perudang-undangan tersebut berbeda-beda. Di dalam UU PT dan PP
TJSL, konsep CSR dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), di
dalam UU PMA disebut dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,
dalam UU BUMN dan Permen BUMN konsep CSR Disebut dengan Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan.
Pengertian CSR
menurut Edi Suharto, adalah “kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian
keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people)
dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure)
yang tepat dan profesional”.[7]
Di dalam UU PT Pasal
1 angka 3 dijelaskan definisi bahwa TJSL adalah komitmen Perseroan untuk
berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.[8]
Tujuan penerapan tanggung jawab
sosial dan lingkungan oleh Perseroan Terbatas ini adalah mewujudkan pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya maupun.
Perseroan itu sendiri dalam rangka terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat
setempat.[9]
Perseroan yang kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kegiatan dalam memenuhi kewajiban
tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut harus dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran.
Setiap
perusahaan yang melakukan aktivitas usaha di Indonesia harus mampu memberikan
dampak positif terhadap masyarakat. Upaya tersebut diatas harus terlihat dari
penerapan prinsip demokrasi ekonomi, efisiensi, keberlanjutan (sustainebility), dan berwawasan
lingkungan. Bila konsep ini dikaitkan dengan pengertian TJSL, sebenarnya tidak
ada alasan bagi pengusaha Indonesia atau perusahaan untuk tidak menerapkan TJSL
dalam aktivitas usahanya, karena TJSL ini telah menjadi amanat konstitusi.
Tantangan dan perubahan lingkungan menciptakan peluang baru dan memaksa bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan apa yang disebut dengan tanggungjawab sosial perusahaan (TJSL). Nampaknya perusahaan tidak bisa lagi hanya menerapkan prinsip “the business of bussines is bussines” tetapi, perusahaan hendaknya bertanggungjawab terhadap masalah-masalah sosial disekitarnya termasuk soal pengangguran, kemiskinan, perempuan termarginalkan, gelandangan, pengemis, anak jalanan, gizi buruk, kelaparan, pendidikan untuk semua, kerusakan lingkungan, bencana alam dll.[10]
Tantangan dan perubahan lingkungan menciptakan peluang baru dan memaksa bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan apa yang disebut dengan tanggungjawab sosial perusahaan (TJSL). Nampaknya perusahaan tidak bisa lagi hanya menerapkan prinsip “the business of bussines is bussines” tetapi, perusahaan hendaknya bertanggungjawab terhadap masalah-masalah sosial disekitarnya termasuk soal pengangguran, kemiskinan, perempuan termarginalkan, gelandangan, pengemis, anak jalanan, gizi buruk, kelaparan, pendidikan untuk semua, kerusakan lingkungan, bencana alam dll.[10]
Sejalan dengan
prinsip, pengaturan dan implementasi, maka TJSL hendaknya dapat dijadikan
sebagai ajang strategi bisnis bagi perusahaan melalui program dan kegiatan TJSL
untuk menggaet simpati masyarakat sekitar demi keberlangsungan usaha. Sudah
semestinya TJSL dilaksanakan atas dasar kesukarelaan (voluntary), bukan
didasarkan atas kewajiban yang bersifat mandatary dalam makna liability.
Implementasi TJSL yang sesungguhnya berkaitan erat dengan United Millennium Declaration yang berupa Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh 189 negara anggota PBB. Bagaimana caranya TJSL yang menjadi kewajiban bagi perusahaan didorong untuk mengupayakan terhadap penghapusan tingkat kemiskinan dan kelaparan, pencapaian pendidikan dasar secara universal, dapat mengembangkan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu melakukan perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya yang akhirnya mampu menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan serta dapat mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.[11]
Implementasi TJSL yang sesungguhnya berkaitan erat dengan United Millennium Declaration yang berupa Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh 189 negara anggota PBB. Bagaimana caranya TJSL yang menjadi kewajiban bagi perusahaan didorong untuk mengupayakan terhadap penghapusan tingkat kemiskinan dan kelaparan, pencapaian pendidikan dasar secara universal, dapat mengembangkan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu melakukan perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya yang akhirnya mampu menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan serta dapat mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.[11]
Pengaturan
mengenai TJSL, terdapat dalam Pasal 74. Pasal 74 UUPT pada dasarnya mengatur
mengenai hal-hal berikut ini:
1)
Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2)
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3)
Perseroan yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengaturan TJSL dalam pasal 74 UU
PT, merupakan perwujudan komitmen perseroan yang kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, untuk mewujudkan pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan di Indonesia. Sehingga ketika perseroan tidak melaksanakan TJSL,
wajib dikenakan sanksi yang telah ditentukan dalam UU PT dan diperjelas dalam
PP TJSL.
Secara tegas di dalam Pasal 74 UU PT
ini disebutkan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan TJSL akan dikenakan
sanksi. Dikaitkan dengan ajaran dari aliran hukum positif, bahwa hukum yang
sebenarnya adalah hukum yang memiliki empat unsur, yaitu 1) perintah (command), 2) sanksi (sanction), 3) kewajiban (duty), 4) kedaulatan (souverignity).[12]
Namun sayangnya, meski secara tegas
dinyatakan bahwa apabila perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam tidak melaksanakan TJSL akan dikenakan sanksi
oleh peraturan terkait, beberapa peraturan yang secara eksplisit maupun insplisit
mengenai pelaksanaan TJSL akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan
tersebut tidak mengatur mengenai pemberian sanksi.
Hal ini tentu saja dapat menyebabkan
perseroan tidak melaksanakan TJSL secara maksimal bahkan bisa saja tidak sama
sekali melaksanakan TJSL.
Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai
pemberian sanksi terhadap Perseroan yang yang kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tetapi tidak melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan di Indonesia.
B.
PEMBAHASAN
Dewasa
ini, suatu perusahaan tidak lagi hanya dihadapkan pada tujuan perusahaan untuk
mencari profit semata-semata yang direfleksikan dalam kondisi keuangan
perusahaan, namun juga harus memperhatikan aspek sosial serta lingkungannya.
Semata-mata mencari profit tanpa memperhatikan aspek sosial serta lingkungan
akan berpengaruh pada keberlangsungan perusahaan. Suka atau tidak, aktivitas
suatu perusahaan akan berjalan dengan lancar apabila perusahaan juga
memperhatikan sosial lingkungannya.
Sebagai
contoh dikemukakan bagaimana aspek sosial dan lingkungan yang tidak
diperhatikan akan melahirkan masalah yang mengganggu aktivitas perusahaan,
yaitu kasus PT.Freeport dengan masyarakat Papua dimana lokasi perusahaan itu
berada. PT.Freeport sebagai perusahaan pertambangan emas, tembaga dan perak, tidak memberikan keuntungan yang sesuai bagi
kemakmuran masyarakat disekitarnya.
Belum lagi masalah kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Pada
tahun 1992, KTT Bumi di Rio de Janeiro Brazilia menegaskan konsep pembangunan
yang berkelanjutan (sustainibility development) sebagai hal yang wajib
diperhatikan, tak hanya oleh negara, tetapi terlebih oleh kalangan korporasi
yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Salah satu hasil konferensi KTT
tersebut antara lain, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari
pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development). Pada tahun 2002, para Pemimpin
Dunia di Yohannesburg telah mengajukan dan melahirkan konsep social
responsibility untuk menggenapi dua paradigma pembangunan sebelumnya yaitu economic
growth dan environment sustainability. Ketiganya menjadi
dasar bagi perusahaan untuk menerapkan CSR/TJSL di dalam menjalankan
korporasinya. Pada pertemuan UN Global Compact di Jenewa, Swiss
tahun 2007, perusahaan diminta untuk menunjukkan penerapan dan pelaksanaan
tanggung jawab dan prilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan CSR;
Tanggung
jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan yang berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat
maupun masyarakat pada umumnya.[13]
Ada
3 (tiga) hal pokok yang menjadi faktor utama perkembangan CSR pada periode
berikutnya, yaitu:
1. Sifat
voluntairly atau sukarela menjadi dasar penting di dalam perkembangan
pelaksanaan prinsip CSR/TJSL;
2. Dirumuskannya
suatu panduan dan standarisasi untuk menerapkan CSR/TJSL. Pada konteks ini, ISO
(International Organization for Standardization) di bulan
September, tahun 2004 membentuk working group yang pada akhirnya
menghasilkan ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility.
ISO;
3. Standar
pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial tersebut mencakup
semua sektor, badan yang bersifat publik ataupun privat, baik di negara
berkembang maupun negara maju;
Pemikiran
terhadap pentingnya perusahaan memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya,
melahirkan suatu konsep yang disebut dengan Corporate
Social Responsibility (CSR).
Defenisi CSR menurut Ismail Solihin, adalah “salah satu dari bentuk
tanggung jawab perusahaan terhadap pemangku kepentingan (stakeholders)”.[14] Reza
Rahman memberikan 3 (tiga) defenisi CSR sebagai berikut:[15]
1. Melakukan
tindakan sosial (termasuk kepedulian terhadap lingkungan hidup, lebih dari
batas-batas yang dituntut dalam peraturan perundang-undangan;
2. Komitmen
usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi
untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup karyawan
dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat yang lebih luas; dan
3. Komitmen
bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja
dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas
setempat (local) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup;
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial
sebagai tanggung jawab organisasi akan dampak dari keputusan dan aktivitasnya
terhadap masyarakat dan lingkungan hidup, melalui prilaku yang transparan dan
etis, untuk konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan
masyarakat. Adapun prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi
dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam membuat
keputusan dan kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000, meliputi antara
lain: menghormati stakeholders dan kepentingannya, melaksanakan
transparansi dan akuntabilitas, perilaku beretika, melakukan tindakan pencegahan,
dan menghormati hak asasi manusia;[16]
Prinsip-prinsip
dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai
atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab
sosial menurut ISO 26000 meliputi:[17]
1. Kepatuhan kepada hukum
2. Menghormati kepada instrument/ badan-badan internasional
3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya
4. Akuntabilitas
5. Transparansi
6. Perilaku yang beretika
7. Melakukan tindakan pencegahan
8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
Dalam
pelaksanaan CSR sedikitnya ada empat model atau pola CSR yang umumnya
diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu:
a. Keterlibatan
langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke
masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan
biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate
secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas
pejabat public relation.
b. Melalui
yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan mendirikan yayasan
sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari
model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya,
perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat
digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan yang didirikan
perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola Company, Yayasan Rio Tinto
(perusahaan pertambangan), Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua,
GE Fund.
c. Bermitra
dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan
lembaga sosial/organisasi non-pemerintah (NGO/LSM), instansi pemerintah, universitas
atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan
sosialnya. Beberapa lembaga sosial/Ornop yang bekerjasama dengan perusahaan
dalam menjalankan CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi pemerintah
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos);
universitas (UI, ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar).
d. Mendukung
atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi
anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial
tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada
pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium
atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang
mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga
operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama.[18]
Dalam regulasi
di Indonesia, konsep CSR dituangkan dalam beberapa perundang-undangan. Konsep
CSR ini diterjemahkan dengan beberapa definisi, yaitu seperti Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan di dalam UU PT, Tanggung jawab sosial Perusahaan di dalam
UU PMA, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan di dalam UU BUMN. Meski
berbeda-beda istilah yang dipersamakan dengan konsep CSR, namun inti tujuan
utamanya adalah mengenai kegiatan suatu perseroan yang berkaitan dengan
kehidupan sosial dan lingkungannya.
Di dalam UUPT
dalam Pasal 1 angka 3 UUPT, dijelaskan mengenai definisi Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan yaitu komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat
pada umumnya.[19]
Pengertian perseroan itu sendiri
terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 UUPT,
yang menjelaskan bahwa yang disebut Perseroan (Perseroan Terbatas) adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham
dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
Mengenai TJSL, diatur dalam Pasal 74 UUPT dan penjelasannya.
Pengaturan ini berlaku untuk perseroan. Berdasarkan Pasal 74 UUPT pada dasarnya
mengatur mengenai hal-hal berikut ini:
a.
TJSL ini wajib untuk perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Yang
dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber
daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan
sumber daya alam.
Sedangkan
yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang
berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan
tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi kemampuan sumber daya alam.
b.
TJSL ini merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan
dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
c.
Mengenai sanksi, dikatakan bahwa perseroan yang tidak
melaksanakan kewajiban TJSL akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang terkait.
Oleh karena ketentuan pasal 74 ini
membutuhkan aturan pelaksana, maka kemudian pada tahun 2012 disahkanlah
Peraturan pelaksana dari kewajiban TJSL, yaitu PP No.47 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan. Dalam Pasal 4
PP TJSL, dikatakan bahwa TJSL dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan
rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris
atau Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) sesuai dengan anggaran dasar perseroan.
Rencana kerja tahunan perseroan tersebut memuat rencana kegiatan dan anggaran
yang dibutuhkan untuk pelaksanaan TJSL. Pelaksanaan TJSL tersebut dimuat dalam
laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS (Pasal 6 PP TJSL).
Mengenai adanya kewajiban
TJSL bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam ada beberapa permasalahan yaitu mengenai
penerapan sanksi apabila tidak dilaksanakan yang berarti konsep CSR yang pada
mulanya bersifat etis, moral dan sukarela (voluntary),
dalam UU PT menjadi suatu kewajiban dan dapat
dikualifikasikan sebagai pemungutan ganda yang harus ditanggung perusahaan di
samping pajak, dan TJSL secara implisit telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan sektoral dengan sanksi yang cukup ketat.
Selain itu juga
mengenai adanya diskriminasi mengenai kewajiban TJSL bagi perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam. Sedangkan di dalam masyarakat ada juga perseroan yang tidak menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Bagaimana
dengan perseroan yang disebutkan terakhir ini, apakah perseroan seperti ini
tidak dibebani kewajiban TJSL ?
Pasal 74 ini
kemudian dimintakan uji materilnya oleh beberapa pihak, salah satu diantaranya
adalah Suleiman Hidayat Ketua Umum KADIN. Para Pemohon mengajukan permohonan
Pengujian Materiil terhadap Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, karena bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
-
Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945
-
Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 (bersifat diskriminatif),
-
Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar
1945 (prinsip efisiensi berkeadilan),
Mengenai hal ini kemudian terjawab dari
keputusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, Perkara
Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, terhadap UUD 1945. Tanggal 15 April 2009.” Pendapat Mahkamah
tentang Pertimbangan konstitusionalitas norma pengujian Pasal 74 UUPT.
Mengenai
TJSL merupakan suatu kewajiban, MK dalam pertimbangan hukumnya mengatakan bahwa
: [20]
Bahwa
penormaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) menjadi kewajiban hukum merupakan
kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang untuk mengatur
dan menerapkan TJSL dengan suatu sanksi. Hal demikian dilandasi dari adanya
kondisi sosial dan lingkungan yang rusak pada masa lalu dimana praktek
perusahaan yang mengabaikan aspek sosial dan lingkungan, sehingga mengakibatkan
kerugian bagi masyarakat sekitar pada khususnya dan lingkungan pada umumnya;
Bahwa
CSR pada mulanya lahir di Inggris dan Eropa yang bersifat voluntary,namun
setelah di Indonesia, yaitu khususnya UU 40/2007, sifat sukarela dariCSR
ditingkatkan menjadi bersifat mandatory. Indonesia merupakan negara yang
berdaulat yang berhak untuk mengatur hukumnya sendiri yang tidak tergantung
pada hukum dan budaya yang berlaku di negara lain. Tentu ada alasan tersendiri
mengapa CSR yang berlaku di Indonesia tidak disamakan dengan CSR yang berlaku
di negara-negara lain, misalnya di Inggris, Australia, Belanda, Kanada,
Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat.
Bahwa
pengaturan TJSL dengan kewajiban hukum (legal obligation) lebih
mempunyai kepastian hukum jika dibandingkan dengan CSR yang bersifat sukarela (voluntary).
Penormaan TJSL akan dapat menghindarkan penafsiran yang beragam dari
perusahaan, hal demikian dimaksudkan agar memiliki daya atur, daya ikat, dan
daya dorong bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL, sebaliknya pengaturan TJSL
dengan voluntary tidak cukup kuat untuk dapat memaksa perusahaan
melaksanakan TJSL, sehingga dengan meningkatkan CSR dari voluntary menjadi
TJSL yang mandatory diharapkan adanya kontribusi dari perusahaan untuk
ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
Mengenai
pengajuan para pemohon uji materil yang
mengatakan bahwa kewajibanTJSL hanya untuk perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam saja,
sehingga ini dapat dikatakan telah terjadi diskriminasi, maka MK dalam
pertimbangannya menyatakan:
Permasalahan
hukum yang perlu mendapat perhatian Mahkamah adalah adanya anggapan dari para
Pemohon mengenai perlakuan yang tidak sama terhadap kewajiban TJSL yang hanya
diterapkan kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang atau
berkaitan dengan sumber daya alam, sedangkan terhadap perseroan lain yang tidak
berkaitan dengan sumber daya alam tidak dikenakan kewajiban TJSL. Pembedaan demikian
disebabkan karena menurut Mahkamah terhadap PT yang mengelola sumber daya alam
berkaitan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sehingga negara berhak untuk
mengatur secara berbeda.
Adapun
terhadap badan usaha lain selain perseroan terbatas, seperti Koperasi, CV,
Firma, dan Usaha Dagang, dikenai juga kewajiban tanggung jawab sosial
perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal yang lebih dulu diundangkan dari pada UU 40/2007, yang
berbunyi, “Setiap penanam modal berkewajiban: menerapkan prinsip tata
kelola perusahaan yang baik; melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan; membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya
kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; menghormati tradisi budaya
masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan mematuhi
semua ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan
pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berpendapat penerapan
kewajiban TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam sebagaimana diatur dalam Pasal 74
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), UU 40/2007 beserta Penjelasannya tidak dapat
dianggap sebagai perlakuan yang diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945;
Peraturan
pelaksana dari Pasal 74 UU No.40 tahun 2007 adalah Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa “Setiap
Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan”.
Hal ini berarti bahwa setiap perseroan yang telah berbadan hukum yang sah oleh
undang undang mempunyai tanggung jawab social dan lingkungan. Namun tidak semua
perseroan wajib mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan, hanya perseroan
yang memenuhi ketentuan Pasal 3 PP TJSL saja yang mempunyai kewajibanitu, yaitu
Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan
Undang-Undang”.
Dalam
Pasal 4 dijelaskan bahwa dalam melaksanakan TJSL, Direksi melaksanakannya harus
berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan yang telah mendapat persetujuan
Dewan Komisari atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali
ditentukan lain dalam perundang-undangan. Dalam rencana kerja tersebut
dijelaskan mengenai rencana kegiatan TJSL serta anggaran yang dibutuhkan dalam
pelaksanaannya.
Penyusunan anggaran dalam pelaksanaan TJSL
haruslah memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Realisasi anggaran untuk
pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan haruslah diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan
dimuat dalam laporan tahunan Perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS.
Pengaturan
CSR dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terdapat juga dalam UU
BUMN. Namun CSR diterjemahkan dengan istilah
“Program Kemitraan dan Bina Lingkungan” yang tertuang dalam Pasal 2 dan
Pasal 88 UU BUMN. Di dalam Pasal 2 disebutkan bahwa:
1. Persero
dan Perum wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan
dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini;
2. Persero
Terbuka dapat melaksanakan Program kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan
berpedoman pada Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS).
Dalam
Pasal 88 UU BUMN dinyatakan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba
bersihnya untuk keperluan bina usaha kecil/ koperasi serta pembinaan masyarakat
sekitar BUMN. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan keputusan Menteri.
Ketentuan
pelaksana dari Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dalam UU BUMN ini adalah
Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007.
Yang dimaksud dengan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang
selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan
kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana
dari bagian laba BUMN. Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut
Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN
melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.[21]
Di
dalam Permen kemitraan dan Bina Lingkungan ini diatur secara terperinci
syarat-syarat usaha kecil untuk dapat
menjadi mitra binaan, kewajiban BUMN pembina, sumber dana dan lain-lain.
Konsep
CSR dalam Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007 dilihat dari
perspektif kemitraan dan bina lingkungan yang diaplikasikan melalui peningkatan
kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri serta melakukan
pemberdayaan kondisi sosial masyarakat.[22]
Selain
di dalam UU BUMN pengaturan CSR juga terdapat UU PM. Dalam Pasal 15 UUPM
menyebutkan bahwa
Setiap
penanam modal berkewajiban:
a.
menerapkan
prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b.
melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan;
c.
membuat
laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan
Koordinasi Penanaman Modal;
d.
menghormati
tradisi budaya masyarakat sekitar lokasikegiatan usaha penanaman modal; dan
e. mematuhi
semua ketentuan peraturan perundangundangan.
Melalui
penjelasan Pasal 15 huruf b tersebut mendefinisikan CSR sebagai “tanggung jawab
yang melekat pada setiap perusahaan untuk tetap menciptakan hubungan yang
serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempat.”
Dalam
Pasal 16 UU Penanaman Modal dicantumkan pula kewajiban-kewajiban yang dipenuhi
bagi penanam modal tersebut, yaitu:
1. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
2. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
3. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan
menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
4. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi
kegiatan usaha penanaman modal; dan
5. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di dalam UU PT dan PP
TJSL, disebutkan secara tegas bahwa pengaturan sanksi bagi perseroan yang tidak
melaksanakanTJSL diatur lebih lanjut dalam undang-undang sektoral. Namun
sayangnya, dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kewajiban CSR tidak diatur secara tegas mengenai sanksi apabila perseroan tidak
melaksanakannya. Padahal UU PT sebagai peraturan yang berlaku pada semua
perseroan, apapun bentuknya, apakah perseroan swasta ataupun perseroan yang
berupa BUMN.
Di dalam UU BUMN dan
PERMEN BUMN tidak dijelaskan mengenai sanksi bagi BUMN yang tidak melaksanakan
Progam Kemitraan
dan Bina Lingkungan. Ketiadaan sanksi ini seakan-akan Progam Kemitraan dan Bina Lingkungan ini merupakan suatu
kesukarelaan saja bagi BUMN bukan suatu kewajiban. Meski BUMN merupakan suatu
perseroan milik pemerintah, bukan berarti BUMN ini tidak terkena aturan yang
diamanatkan oleh UU PT tentang kewajiban melaksanakan TJSL atau CSR.
Pengaturan mengenai sanksi bagi perseroan yang tidak
melaksanakan TJSL terdapat di dalam UU PM. Seperti diuraikan sebelumnya, Istilah
TJSL tidak dikenal dalam UU PM. Pengimplementasian CSR dalam UU PM menggunakan
istilah TJSP. Ketentuan TJSP dalam UU PM menjelaskan bahwa TJSP merupakan suatu
kewajiban yang harus dilakukan oleh penanam modal. ketika penanam modal tidak melaksanakan
kewajiban maka penanam modal akan mendapatkan sanksi yang telah diatur dalam
Pasal 34 ayat (1) UU PM.
Dalam Pasal 34 dijelaskan bahwa :
(1) Badan usaha atau
usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
a.
peringatan
tertulis;
b.
pembatasan
kegiatan usaha;
c.
pembekuan
kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d.
pencabutan
kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
(2) Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau
lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Selain dikenai
sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan ini jelas dinyatakan
bahwa perseroan yang merupakan bentuk dari perusahaan swasta, atau penanaman
modal maka wajib melaksanakan CSR yang diterjemahkan dengan Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan (TJSP).
Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan
apakah sanksi yang ditetapkan bagi perusahaan penanaman modal ini dapat juga
diterapkan terhadap BUMN yang tidak melaksanakan CSR yang dalam UU BUMN dan
PERMEN BUMN diterjemahkan dengan Program kemitraan dan Bina Lingkungan.
Untuk itu akan kita lihat terlebih
dahulu definisi dari BUMN itu sendiri. Di dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN,
disebutkan bahwa Badan Usaha Milik Negara, yang
selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa yang
disebut sebagai BUMN adalah suatu perusahaan yang modalnya bukan hanya milik
negara secara keseluruhan. Namun, sebagian dapat dimiliki oleh pihak lain atau
pihak swasta. Berapa persentase modal yang harus dimiliki oleh Negara, diatur
di dalam Pasal 1 angka 2 yang menyebutkan bahwa “Perusahaan Perseroan, yang
selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh
satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan.”
Sementara di dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa,
“Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh
modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.”
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 3 dijelaskan
“Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, adalah
Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau
Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundangundangan
di bidang pasar modal.”
Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, dapatlah kita
ambil benang merahnya bahwa, yang BUMN bentuk ada dua macam yaitu:
1. Perseroan
2. Perusahaan
umum (Perum)
Perseroan ini modalnya sebagian milik Negara,
sedangkan sebagian lagi milik swasta. Pada saat perseroan itu merupakan
perseroan terbuka, maka sahamnya dapat ditawarkan di Pasar Modal sehingga setiap subjek hukum dapat
memiliki saham tersebut. Hal ini berarti, pada saat suatu BUMN telah menjadi
perseroan terbuka (tbk) maka diantara sahamnya dimiliki oleh swasta. Berarti UU
Penanaman Modal juga dapat diberlakukan bagi BUMN yang tidak melaksanakan CSR
yang dalam UU BUMN disebut sebagai Program Kemitraan dan Bina Lingkungan.
Dalam hal perum, pengertianya adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara
dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.[23]
Untuk BUMN yang berbentuk perum, tidak kenai kewajiban TJSL karena bukan
merupakan perseroan, sehingga UU PT tidak dapat diberlakukan padanya.
Mengenai penerapan sanksi yang diatur di dalam UU
Penanaman Modal bagi BUMN yang berbentuk perseroan ini masih membutuhkan
penafsiran. Sehingga akan lebih baik, seharusnya di dalam UU BUMN dan PERMEN
BUMN tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan diatur secara tegas mengenai
sanksi bagi BUMN yang tidak melaksanakan kewajiban CSR.
C.
PENUTUP
Konsep awal Corporate
Social Responsibility (CSR) bersifat etis, dan kesukarelaan. Di dalam UU
PT, konsep CSR ini diterjemahkan dengan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), dan bersifat wajib bagi perseroan yang
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Sehigga
apabila suatu perseroan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam, tidak melaksanakan TJSL maka akan dikenanakan sanksi. Didalam
UU PT dan PP TJSL disebutkan bahwa sanksi bagi perseroan yang tidak
melaksanakan TJSL akan diatur dapat peraturan sektoral. Dari beberapa peraturan
yang mengatur mengenai TJSL, hanya dalam UU Penanaman Modal disebutkan mengenai
sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL. Sanksinya yaitu peringatan
tertulis; pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha dan/atau
fasilitas penanaman modal; atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul R.Saliman,
Hukum Bisnis untuk Perusahaan ; Teori dan
Contoh Kasus, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2011
Arif Budimanta, Corporate Social Responsibility, ICSD,
Jakarta, 2008
Arif Budiman, Adi Prasetjo, Bambang Rudito, CSR Alternatif bagi Pembangunan Indonesia,
ICSD, Jakarta, 2008
Edi Suharto, Pekerjaan
Sosial di Dunia Industri, Memperkuat CSR, CV. Alfabeta, Bandung, 2009
Isa Wahyudi dan Busyra
Azheri, Corporate Social Responsibility ;
Prinsip, Pengaturan dan Implementasinya, Inspire Indonesia, Malang, 2008
Ismail Solihin, Corporate
Social Responsibility From Charity to Sustainability, PT. Riau Andalan Pulp
and Paper, Jakarta, 2008
Martiningsih, Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(CSR) dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat, Tunas Gemilang,
Palembang, 2014
Muhammad Erwin dan
Amrullah Arpan, Filsafat Hukum Mencari
Hakikat Hukum, Unsri, 2008
Reza Rahman, Corporate
Social Responsibility Antara Teori dan Kenyataan, Media Pressindo,
Yogyakarta 2009
Saidi Zaim dan Hamid
Abidin., Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di
Indonesia, Piramida, Jakarta, 2004
Yusuf Wibisono, Membedah konsep CSR; Seri Menejemen
Berkelanjutan, CV. Ashkaf Media Grafika, Surabaya. 2007
UUD 1945
UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
UU No.19 Tahun2003 tentang BUMN
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
PP No.47 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007
tanggal 27 April 2007
Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008,
Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945
ISO 26000 Guidance Standard on Social
Responsibility.
[1] Dosen PNS Dpk Kopertis Wilayah
II, Dpk Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
[2] Pembukaan UUD 1945
[3] Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan ; Teori dan
Contoh Kasus, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2011, hal.105
[4] Arif Budimanta, Corporate Social Responsibility, ICSD,
Jakarta, 2008, hal.83
[5] Yusuf Wibisono, Membedah konsep CSR; Seri Menejemen
Berkelanjutan, CV. Ashkaf Media Grafika, Surabaya. 2007, Hal 24-26
[6] ibid
[7] Edi Suharto, Pekerjaan Sosial
di Dunia Industri, Memperkuat CSR, CV. Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 105
[8] Pasal 1 angka 3 UU No.40 tahun
2007
[10] Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility ; Prinsip,
Pengaturan dan Implementasinya, Inspire Indonesia, Malang, 2008
[11] ibid
[12] Muhammad Erwin dan Amrullah
Arpan, Filsafat Hukum Mencari Hakikat
Hukum, Unsri, 2008, hal.28
[13] Arif Budiman, Adi Prasetjo, Bambang Rudito, CSR Alternatif bagi Pembangunan Indonesia,
ICSD, Jakarta, 2008, Hal.90
[14] Ismail Solihin, Corporate
Social Responsibility From Charity to Sustainability, (Jakarta: PT. Riau
Andalan Pulp and Paper, 2008), hal. 2.
[15] Reza Rahman, Corporate Social
Responsibility Antara Teori dan Kenyataan, (Yogyakarta: Media Pressindo,
2009), hal. 10.
[16] ISO 26000 Guidance Standard
on Social Responsibility.
[17] ibid
[18] Saidi Zaim dan Hamid Abidin., Menjadi
Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia,
(Jakarta: Piramida, 2004), hal. 32.
[19] UU No.40 Tahun 2007
[20] Mahkamah Konstitusi Putusan
Nomor 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945
[21] Pasal 1 angka 6 dan 7 Peraturan
Menteri Negara BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007
[22] Martiningsih, Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(CSR) dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat, Tunas Gemilang,
Palembang, 2014, hal.141
[23]
Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri BUMN tentang Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar