Selasa, 09 Februari 2016

KAJIAN SAAT TERJADINYA KESEPAKATAN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI INTERNET MENURUT TEORI SAAT TERJADINYA PERJANJIAN



KAJIAN SAAT TERJADINYA KESEPAKATAN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI INTERNET MENURUT TEORI SAAT TERJADINYA PERJANJIAN
Oleh :
 ROSIDA DIANI[1]

ABSTRAK
Dalam perjanjian jual beli melalui internet transaksi dilakukan tidaklah sama seperti perjanjian jual beli secara konvensional dimana penjual dan pembeli bertatap muka secara langsung. Sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai kapan saat terjadinya kesepakatan. Untuk menjawab hal tersebut dapat menggunakan Teori Penerimaan yang mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Kesepakatan antara penjual dan pembeli terjadi saat penjual menerima jawaban dari pembeli. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu melalui single click, "double click hingga three click. Pada dasarnya ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata tetaplah berlaku. Bahwa suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat salah satu pihak menyatakan sepakat (menyepakati) pokok perjanjian yang dinyatakan oleh pihak lainnya. Pernyataan tersebutlah yang dijadikan dasar kesepakatan (pernyataan kehendak) dari kedua belah pihak.
Kata kunci : perjanjian jual beli, internet, kesepakatan

A.      PENDAHULUAN
Transaksi bisnis semakin hari semakin pesat berkembang. Pada mulanya proses penawaran dan perdagangan terjadi secara konvensional. Penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli secara langsung face to face. Penjual menawarkan barang kepada pembeli dengan membawa langsung barang dagangannya atau pembeli yang mendatangi tempat berdagang si penjual.
Secara yuridis, hubungan antara penjual dengan pembeli ini diikat dalam suatu perjanjian yang disebut dengan perjajian jual beli. Hukum perjanjian menurut KUHPerdata bersifat obligatoir, artinya baru meletakkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak, belum memindahkan hak milik. Terhadap perjanjian jual beli yang dibuat, harus disertai dengan levering (penyerahan) barangnya, baru hak milik atas barang yang dijual berpindah dari si penjual kepada si pembeli.[2] Akan tetapi mengenai jual beli hak atas tanah, hak milik atas barang yang dijual sudah berpindah dari pihak penjual kepada pihak pembeli pada saat dibuatkan Akte Jual belinya, di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).[3]
Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut Djaja S. Meliala perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan.[4] Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut dinamakan perikatan.[5]
Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Menurut subekti, jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.[6]
Yang harus diserahkan oleh penjual kepada pembeli, adalah hak milik atas barangnya, bukan sekedar kekuasaan atas barang tadi. Yang harus dilakukan adalah “penyerahan” atau “levering” secara yuridis, bukannya penyerahan feitelijk.[7]
Perkataan jual beli menunjukan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual beli disebut hanya “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dari sudutnya si penjual), begitu juga berarti “penjualan” sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainnya perkataan “kauf” yang berarti “pembelian”.[8]
Sekarang ini dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, transaksi bisnis berupa perjanjian jual beli tidak hanya terjadi secara konvensional. Antara penjual dan pembeli tetap dapat melakukan transaksi jual beli meski tidak bertatap muka secara langsung. Penjual menawarkan produknya melalui media sosial seperti website, instagram, facebook, BBM, dan lain-lain. Kemudian pembeli yang tertarik dengan produk yang ditawarkan penjual itu memilih produknya hanya melalui gambar yang diunggah dan melakukan komunikasi dengan penjual melalui media sosial tersebut. Sehingga transaksi jual beli itu terjadi tanpa ada pertemuan secara langsung antara kedua belah pihak.
Penyerahan barang dari penjual kepada pembeli menggunakan jasa layanan pengiriman barang. Dengan biaya ongkos kirim ditanggung oleh pembeli. Adanya bentuk transaksi jual beli seperti ini dikenal dengan istilah perjanjian jual beli melalui internet. Transaksi jual beli melalui internet ini dapat dikategorikan sebagai kontrak elektronik sebagaimana diatur dalam Undang-UndangNomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut UU ITE).
Dalam Pasal 1 angka 17 kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Sedangkan sistem elektronik itu sendiri adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan atau menyebarkan informasi elektronik.
Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE. Ciri-ciri dari kontrak elektronik adalah:
1.      Dapat terjadi secara jarak jauh bahkan dapat melampaui batas-batas suatu negara melalui internet;
2.      Para pihak dalam kontrak elektronik tidak pernah bertatap muka (faceless nature), bahkan mungkin tidak akan pernah bertemu.[9]
Sebelum diberlakukannya UU ITE, masyarakat yang telah memanfaatkan jenis kontrak elektronik, berpedoman pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut KUHPdt) sebagai perlindungan hukumnya. Perjanjian jual beli melalui internet ini merupakan bagian electronic commerce (e-commerce).
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai kapan saat terjadinya kesepakatan antara penjual dan pembeli. Mengetahui saat terjadinya kesepakatan sangatlah penting karena berkaitan dengan keabsahan perjanjian. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian ada empat, yaitu kesepakatan, cakap, Kausal yang halal dan objek yang tertentu.
Keabsahan ini akan menjadi hal yang sangat penting manakala terjadi sengketa. Berdasarkan  hal tersebut, maka dalam tulisan ini akan diuraikan saat terjadinya kesepakatan dalam transaksi jual beli melalui internet dianalisis menurut teori-teori perjanjian serta pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU ITE.


B.       PEMBAHASAN
Sebelum diuraikan mengenai perjanjian jual beli melalui internet (ecommerce), akan diuraikan terlebih dahulu mengenai pengertian perjanjian dan syarat sah perjanjian. Pengertian perjanjian  secara yuridis terdapat dalam Pasal 1313 KUHPer yang menyatakan bahwa : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Dari rumusan tersebut menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Hal ini berarti bahwa dalam suatu perjanjian selalu akan ada dua pihak, dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak yang lainnya berhak atas prestasi (kreditur). Masing-masing pihak itu dapat terdiri dari satu orang atau lebih. Bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.[10]
Definisi dari perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPer adalah tidak jelas karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian.  Selain itu dalam pengertian tersebut tidak tampak adanya asas konsensualisme. Ketidakjelasan definisi tersebut disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.
Istilah perjanjian dalam bahasa Belanda disebut Overeenkomst, sedangkan hukum perjanjian disebut Overeenkomstrecht.[11] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian didefinisikan sebagai persetujuan (tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu.[12]
Definisi perjanjian menurut Sudikno adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.[13] Senada dengan pendapat Sudikno tersebut, menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[14] Dari peristiwa itu, maka akan timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut, yang berarti adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Subekti mengemukakan bahwa perjanjian itu merupakan bagian dari perikatan. Perikatan itu sendiri adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.[15]
Dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
a.       Adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
       Para pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat, setuju dan seia sekata dalam hal pokok daripada perjanjian yang akan diadakan tersebut. Kata sepakat tersebut dapat batal apabila terdapat unsur-unsur penipuan, paksaan dan kekhilafan. Dalam pasal 1321 KUHPer dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan/penipuan.[16]
b.      Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
Sebagai lawan dari cakap hukum (syarat kecakapan) adalah tidak cakap hukum, hal ini diatur dalam Pasal 1330 KUHPer. Dari Pasal 1330 KUHPer itu terdapat pengertian tidak cakap dalam 2 (dua)  hal, yaitu:[17]
1)      Orang di bawah umur adalah orang yang belum kawin dan belum berumur 21 tahun.
2)      Orang yang di bawah pengampuan (curatele) yaitu orang yang sudah dewasa atau telah berumur di atas 21 tahun tetapi tidak mampu karena pemabuk, gila dan pemboros.
c.       Suatu hal tertentu;
Suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskah oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.[18]
d.      suatu sebab yang halal.
Pasal 1320 KUHPer tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUHPer hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, Kesusilaan dan ketertiban umum.

Transaksi jual beli melalui internet yang banyak terjadi dewasa ini merupakan salah satu bagian dari apa yang dikenal dengan electronic commerce atau E-commerce. Ada juga yang menyebutnya dengan electronic Business atau E-Business.
Yang dimaksud dengan e-commerce adalah suatu proses berbisnis yang memakai tekhnologi elektronik yang menghubungkan antara perusahaan, konsumen dan masyarakat dalam bentuk transaksi elektronik, dan pertukaran atau penjualan barang, servis dan informasi secara elektronik. Dengan demikian, pada prinsipnya bisnis dengan e-commerce merupakan kegiatan bisnis tanpa warkat (paperless trading).[19]
Meskipun antara istilah e-commerce dengan e-business sering dipersamakan, sebenarnya terdapat perbedaan yang prinsip di antara kedua istilah tersebut. Istilah e-commerce dalam arti sempit diartikan sebagai suatu transaksi jual beli atas suatu produk barang, jasa atau informasi antarmitra bisnis dengan memakai jaringan computer yang berbasiskan pada internet. Sedangankan e-commerce dalam arti luas diartikan sama dengan istilah e-business, yakni mencakup tidak hanya transaksi online, tetapi juga termasuk layanan pelanggan, hubungan dagang dengan mitra, dan transaksi internal dalam sebuah organisasi.
Suatu kegiatan e-commerce dilakukan dengan orientasi-orientasi sebagai berikut:
a.       Pembelian on line (on-line transaction)
b.      Komunikasi digital (digital communication), yaitu suatu komunikasi secara elektronik
c.       Penyediaan jasa (service), yang menyediakan informasi tentang kualitas produk dan informasi instan terkini.
d.      Proses bisnis, yang merupakan sistem dengan sasaran untuk meningkatkan otomatisasi proses bisnis.
e.       Market of one, yang memungkinkan proses customization produk dan jasa untuk diadaptasikan pada kebutuhan bisnis.[20]
Jual beli melalui internet termasuk dalam orientasi pembelian on line (online transaction) sebagaimana diuraikan di atas. Perjanjian jual beli secara online ini tunduk pada aturan-aturan yang terdapat di dalam KUHPerdata tentang perikatan, UU Perlindungan Konsumen serta UU ITE.
Istilah perjanjian jual beli itu sendiri berasal dari terjemahan kata contract of sale.[21] Ada juga yang menggunakan istilah  Sale and Purchase sebagai istilah lain dari perjanjian. Dalam bahasa Belanda istilah perjanjian jual beli disebut dengan Koop en Verkoop. Di dalam Hukum Inggris perjanjian jual beli dibagi menjadi dua macam, yaitu:[22]
(1)    Sale
Adalah jual beli di mana hak milik atas barang seketika berpindah kepada pembeli, misalnya dalam jual beli tunai di toko;
(2)    Agreement of sell
Adalah jual beli barang di mana pihak-pihak setuju bahwa hak milik atas barang akan berpindah kepada pembeli pada suatu waktu yang akan datang.
Dalam KUHPerdata Pasal 1457 dinyatakan bahwa Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Menurut Munir Fuady, jual beli adalah suatu kontrak di mana 1 (satu) pihak, yakni yang disebut dengan pihak penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak lainnya, yang disebut dengan pihak pembeli, mengikatkan dirinnya untuk membayar harga dari benda tersebut sebesar yang telah disepakati bersama.[23]
Jika barang-barang tidak dijual menurut tumpukan, tetapi menurut berat, jumlah atau ukuran, maka barang-barang itu tetap atas tanggungan si penjual hingga barang-barang ditimbang, dihitung atau diukur. Jika sebaliknya barang-barang dijual menurut tumpukan, maka barang-barang itu adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur (Pasal 1462 KUHPer).
Jual beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengenai barang-barang yang biasanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan syarat tangguh. Jika pembelian dibuat dengan memberi uang panjar tak dapatlah salah satu pihak meniadakan pemberian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjar itu.
Pada setiap jual beli sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) pihak, yaitu pihak penjual yang berkewajiban menyerahkan barang objek jual beli, dan pihak pembeli yang berkewajiban membayar harga pembelian.
Dalam suatu jual beli disamping kewajiban pihak penjual untuk menyerahkan barang, kepada pihak penjual tersebut oleh hukum juga dibebankan kewajiban untuk “menanggung”. Kewajiban penjual tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
a.       Menyerahkan barang
        Penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli. Biaya penyerahan dipikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh pembeli, jika tidak telah diperjanjikan sebaliknya (Pasal 1475 dan Pasal 1476 KUHPer). Penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan penjual tidak memperjanjikan untuk penundaan pembayaran barang tersebut. Jika penyerahan barang jual beli tidak dapat dilaksanakan karena kelalaian penjual, maka pembeli dapat menuntut pembatalan pembelian, menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUHPer. Kewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik, jika ada.
b.       Menanggung barang tersebut
Penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap pembeli adalah untuk menjamin dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tentram, kedua terhadap adanya cacat-cacat tersembunyi atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembelian. Hal ini diatur dalam Pasal 1491 – Pasal 1512 KUHPer.
Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian, pada waktu di tempat sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian (Pasal 1513 KUHPer). Kewajiban untuk membayar itu dapat ditangguhkan jika :
ú  Saat dalam penguasaannya pembeli diganggu oleh suatu tuntutan hukum yang berdasarkan hipotik atau
ú  suatu tuntutan untuk meminta kembali barangnya, atau
ú  jika pembeli mempunyai suatu alasan yang patut untuk berkhawatir bahwa ia akan diganggu dalam penguasaannya,
hingga si penjual telah menghentikan gangguan tersebut, kecuali jika si penjual memilih memberikan jaminan atau jika telah diperjanjikan bahwa pembeli diwajibkan membayar biarpun masih terdapat segala gangguan tersebut. Jika pembeli tidak membayar harga pembelian, penjual dapat menuntut pembatalan pembelian, menurut ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUHPer (Pasal 1517 KUHPer).
Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPer, untuk “adanya” perjanjian harus dipenuhi empat syarat, salah satunya adalah “persetujuan atau kesepakatan” dari mereka yang mengikatkan diri. Persetujuan ini dapat dikatakan secara tegas tetapi juga dapat dengan tidak secara tegas dikatakan. Selain itu perjanjian juga sering kali dilakukan tidak secara langsung bertatap muka, tetapi melalui sarana-sarana lain, seperti surat tertulis, faximillie, telepon atau via internet. Sehingga kemudian menimbulkan pertanyaan kapan dan dimanakah persisnya terjadinya perjanjian itu. Karena sebagaimana diatur di dalam pasal 1458 KUHPer bahwa Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang yang melakukan perjanjian itu mencapai kesepakatan mengenai kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616 KUHPer (Pasal1459 KUHPer).
Saat terjadi transaksi jual beli melalui internet perjanjian ini tidak terjadi dengan bertatap muka secara langsung, sehingga menimbulkan suatu pertanyaan kapankah terjadinya kesepakatan dari perjanjian jual beli melalui internet itu? Penentuan waktu terjadinya kesepakatan ini penting karena berkaitan dengan sah atau tidaknya perjanjian jual beli itu. Selain itu dalam pasal 1458 KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian jual beli itu sudah sah begitu adanya kesepakatan mengenai kebendaan dan harga meskipun belum dibayar dan barang belum diserahkaan.
Untuk menjawab hal ini, maka kita akan melihat beberapa teori tentang saat terjadinya kesepakatan. Ada lima teori yang mengemukakan mengenai saat terjadinya kesepakatan, yaitu[24]:
1.        Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
2.        Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal itu bisa diketahui? Bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.
3.        Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
4.        Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. [25]
Berdasarkan dari teori saat terjadinya kesepakatan tersebut di atas, maka dapatlah digunakan teori Penerimaan, bahwa terjadinya kesepakatan saat penjual yang mempunyai toko online menerima langsung jawaban dari konsumen atau pembeli. Bentuk pernyataan sepakat dalam jual beli melalui internet ini dapat dilakukan dalam beberapa pola. Metode atau pola yang digunakan adalah, melalui single click, "double click hingga three click. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Pada prinsipnya, pernyataan sepakat dari salah pihak atas pernyataan dari pihak lainnya telah terwakili melalui tiga pola tersebut.
Sehingga meskipun perjanjian jual beli secara online ini tidak dilakukan secara konvensional dengan bertatap muka secara langsung antara penjual dan pembeli, dapatlah dikatakan ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata tetaplah berlaku. Bahwa suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat salah satu pihak menyatakan sepakat (menyepakati) pokok perjanjian yang dinyatakan oleh pihak lainnya. Pernyataan tersebutlah yang dijadikan dasar kesepakatan (pernyataan kehendak) dari kedua belah pihak.

C.      KESIMPULAN
1.      Perjanjian jual beli melalui internet berkembang karena adanya perkembangan teknologi informasi
2.      Dalam perjanjian jual beli melalui internet penjual dan pembeli tidaklah bertatap muka secara langsung
3.      Untuk menentukan saat terjadinya kesepakatan dalam perjanjian jual beli melalui internet dilakukan dengan menggunakan Teori Penerimaan yang mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
4.      Aturan-aturan mengenai perjanjian jual beli yang teradapat dalam KUHPerdata tetap dapat diberlakukan dalam perjanjian jual beli melalui internet.

DAFTAR PUSTAKA
C.S.T.Kansil dan Christine S.T.Kansil, , Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramitha, Jakarta. 2000
Djaja S. Meliala, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus; Jual-Beli, Sewa-Menyewa, Pinjam-Meminjam, Nuansa Aulia, Bandung, 2012
Djaja S.Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012,
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanungsong, Hukum dalam Ekonomi, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aavullendrecht) dalam Hukum Perdata, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2006
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT.Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2002
R.Subekti, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995
R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 2010
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1997
Tim penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 1996



[1] Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
[2] Djaja S. Meliala, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus; Jual-Beli, Sewa-Menyewa, Pinjam-Meminjam, Nuansa Aulia, Bandung, 2012, hlm.iii
[3] ibid
[4] Djaja S.Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012, hlm.160
[5] R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 2010, hlm.1
[6] R.Subekti, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.1
[7] R.Subekti, 2010, hlm. 79
[8] R.Subekti, 1995, hlm.2
[9]Asfandi, “Skripsi E-commerse,”http://.indoskripsi.com/tugas-makalah-judul-skripsi/mata-kuliah/hukum-pidana.
[10]Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aavullendrecht) dalam Hukum Perdata, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2006, hlm.249
[11] Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanungsong, Hukum dalam Ekonomi, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.26
[12] Tim penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 1996, hlm.401
[13] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm.96
[14] Subekti, 2010, hlm.1
[15] Ibid, hlm.2
[16] Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanungsong, op.cit., hlm.28
[17] C.S.T.Kansil dan Christine S.T.Kansil, , Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramitha, Jakarta. 2000 hlm.225
[18] Subekti, 1996, hlm.141
[19] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT.Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2002, hlm.407
[20] Ibid, hlm.408
[21] Salim HS, 2005, op.cit., hlm.48
[22] Abdulkadir Muhammad, op.cit., hlm. 243
[23] Munir Fuady, 2007, op.cit., hlm. 25
[24] Sri Soedewi Masjchden Sofwan, op.cit., hlm.19-20
[25] Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm.30-31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar