Selasa, 09 Februari 2016

KEWAJIBAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN BAGI PERSEROAN SERTA SANKSINYA



KEWAJIBAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN BAGI PERSEROAN SERTA SANKSINYA
Oleh :
Rosida Diani, SH,MH[1]

ABSTRAK
Setiap perusahaan, dalam menjalankan aktivitasnya, diharapkan tidak hanya bertujuan mencari profit semata, tetapi harus juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan dimana perseroan itu berdiri. Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diatur di dalam UU PT merupakan terjemahan dari CSR yang tujuannya agar suatu perseroan melaksanakan hal tersebut. Sebagai suatu kewajiban, maka tidak laksanakannya TJSL pasti akan dikenakan sanksi. Sanksi ini diatur di dalam UU PM yaitu berupa sanksi peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan data sekunder yang digunakan diperoleh bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dari hasil penelitian, didapat bahwa hanya dalam UU PM saja diatur mengenai sanksi bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya tetapi tidak melaksanakan kewajiban TJSL, meskipun secara tegas di dalam UU PT disebutkan bahwa pengaturan mengenai sanksi diatur di dalam peraturan sektoral. Sehingga kedepannya seharusnya di dalam Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai TJSL haruslah juga diatur secara tegas mengenai sanksinya.
Kata kunci : sanksi, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

A.      PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alam ini sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang diperuntukan bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Mewujudkan kemakmuran seluruh rakyat merupakan salah satu tujuan dari Negara, sebagaimana secara tegas tertuang dalam tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”[2]
Kekayaan sumber daya alam sebagai sumber kekayaan bagi kemakmuran rakyat ini haruslah dikelola dengan baik, agar kemanfaatannya tidak hanya dinikmati oleh segelintir kalangan tertentu saja, tetapi untuk seluruh masyarakat. Sebagaimana diketahui, untuk bisa diperoleh kemanfaatanya, kekayaan alam itu haruslah diolah dengan proses yang panjang, proses itu memerlukan biaya dan teknologi. Untuk melaksanakannya, dibutuhkan suatu lembaga tersendiri, yaitu suatu korporat atau perusahaan.
Bentuk perusahaan yang dapat melakukan pengolahan kekayaan alam yang berupa sumber daya alam, adalah suatu perseroan terbatas. Perseroan terbatas atau naamloze vennootschap (dalam bahasa Belanda), company limited by shares (dalam bahasa Inggris),[3] menurut Pasal 1 angka 1 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Suatu perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam, mempunyai kewajiban atas tanggung jawab sosial dan lingkungan agar kemanfaatan sumber daya alam itu tidak hanya dinikmati oleh perseoran itu sendiri, tetapi juga mempunyai kemanfaatan untuk masyarakat banyak. Sudah menjadi pengalaman selama ini bahwa suatu perseroan yang memanfaatkan sumber daya alam dalam aktifitas perusahaannya kerap menimbulkan kerusakan lingkungan, permasalahan kecemburuan sosial dimana perseroan itu berada.
Sebagai suatu komuniti, korporat pada dasarnya juga berupa sebuah sistem yang terdiri dari elemen-elemen yang menunjang keberlanjutan sistem korporat tersebut dalam lingkup sistem intern. Korporat sebagai suatu sistem dalam keberlanjutan dan keseimbangannya, ia tidak bisa berdiri sendiri, hal ini berkaitan dengan kedudukannya dalam sebuah masyarakat. Korporat membutuhkan kemitraan yang saling timbal balik (re-ciprocal) dengan institusi lain. Korporat selain mengejar keuntungan ekonomi untuk kesejahteraan dirinya, ia juga memerlukan alam untuk sumber daya olahannya dan stakeholder lainnya untuk mencapai tujuannya. Dalam pola hubungan ini, stakeholders hendaknya mendapatkan keuntungan dan tanggung jawab bersama.[4]
Konsep pemikiran, bahwa suatu perseroan itu haruslah juga mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan ini dikenal dengan konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Di dalam UU PT, konsep CSR ini disebut dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Konsep CSR pertama kali ada pada awal dekade 1930-an dengan munculnya pemikiran mengenai korporasi yang beradab.Tahun 1933, A. Berle dan G. Means meluncurkan sebuah buku the Modern Corporations and Private Property. Buku ini menyatakan bahwa seharusnya korporasi modern mentransformasi diri menjadi institusi sosial dari pada institusi ekonomi yang semata-mata hanya bertujuan untuk memaksimalkan laba. Pemikiran ini dipertajam oleh Peter F. Druker pada tahun 1946 melalui buku yang ditulisnya “ the Concept of Corporations, yang menyatakan secara tegas, bahwa manajemen harus memiliki tanggung jawab terhadap profesinya, perusahaan dan karyawan serta tanggung jawab terhadap ekonomi dan masyarakatnya. Pada tahun 1962 seorang ibu rumah tangga bernama Rachel Carson mengagetkan dunia dengan buku legendaris berjudul Silent Spring. Buku ini menunjukan bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Buku ini menyadarkan bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum semuanya mengalami kehancuran.[5]
Tekanan dari organisasi-organisasi pada tingkat global agar kelestarian lingkungan, pemberantasan kemiskinan, serta upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dunia dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang mendorong berbagai elemen untuk ikut berperan serta, termasuk sektor swasta dalam hal ini adalah pelaku bisnis. Hal tersebut dapat kita lihat pada komitmen dari beberapa kali Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang membahas tentang lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan dan perubahan iklim. Semua pembahasan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan latar “tanggung jawab sosial” suatu perusahaan. Konferensi lingkungan hidup di Stockholm, Swedia pada tahun 1972 yang membentuk badan khusus PBB untuk masalah lingkungan yaitu United Nations Environmental Programme (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya. PBB juga membentuk World Commission on Environmental and Development (WCED) atas kesadaran akan kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pelaksanaan pembangunan  selama ini. Pada tahun 1987 komisi ini menerbitkan laporannya “Our Common Future” dengan tema pembangunan berkelanjutan. Dalam laporan tersebut pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu upaya yang mendorong  tercapainya kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang  untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan aspek lingkungan dan sosial.[6]
Di Indonesia konsep CSR mulai diatur dalam regulasi sejak diatur di dalam UU No. Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut UU PM), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT), dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (selanjutnya disebut PP TJSL), UU No.19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (Selanjutnya disebut UU BUMN) jo Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Namun, istilah yang dipergunakan dalam peraturan perudang-undangan tersebut berbeda-beda. Di dalam UU PT dan PP TJSL, konsep CSR dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), di dalam UU PMA disebut dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, dalam UU BUMN dan Permen BUMN konsep CSR Disebut dengan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan.
Pengertian CSR menurut Edi Suharto, adalah “kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional”.[7]
Di dalam UU PT Pasal 1 angka 3 dijelaskan definisi bahwa TJSL adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.[8]
Tujuan penerapan tanggung jawab sosial dan lingkungan oleh Perseroan Terbatas ini adalah mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya maupun. Perseroan itu sendiri dalam rangka terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.[9]
Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kegiatan dalam memenuhi kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Setiap perusahaan yang melakukan aktivitas usaha di Indonesia harus mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat. Upaya tersebut diatas harus terlihat dari penerapan prinsip demokrasi ekonomi, efisiensi, keberlanjutan (sustainebility), dan berwawasan lingkungan. Bila konsep ini dikaitkan dengan pengertian TJSL, sebenarnya tidak ada alasan bagi pengusaha Indonesia atau perusahaan untuk tidak menerapkan TJSL dalam aktivitas usahanya, karena TJSL ini telah menjadi amanat konstitusi.
Tantangan dan perubahan lingkungan menciptakan peluang baru dan memaksa bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan apa yang disebut dengan tanggungjawab sosial perusahaan (TJSL). Nampaknya perusahaan tidak bisa lagi hanya menerapkan prinsip “the business of bussines is bussines” tetapi, perusahaan hendaknya bertanggungjawab terhadap masalah-masalah sosial disekitarnya termasuk soal pengangguran, kemiskinan, perempuan termarginalkan, gelandangan, pengemis, anak jalanan, gizi buruk, kelaparan, pendidikan untuk semua, kerusakan lingkungan, bencana alam dll.[10]
Sejalan dengan prinsip, pengaturan dan implementasi, maka TJSL hendaknya dapat dijadikan sebagai ajang strategi bisnis bagi perusahaan melalui program dan kegiatan TJSL untuk menggaet simpati masyarakat sekitar demi keberlangsungan usaha. Sudah semestinya TJSL dilaksanakan atas dasar kesukarelaan (voluntary), bukan didasarkan atas kewajiban yang bersifat mandatary dalam makna liability.
Implementasi TJSL yang sesungguhnya berkaitan erat dengan United Millennium Declaration yang berupa Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh 189 negara anggota PBB. Bagaimana caranya TJSL yang menjadi kewajiban bagi perusahaan didorong untuk mengupayakan terhadap penghapusan tingkat kemiskinan dan kelaparan, pencapaian pendidikan dasar secara universal, dapat mengembangkan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu melakukan perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya yang akhirnya mampu menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan serta dapat mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.[11]
Pengaturan mengenai TJSL, terdapat dalam Pasal 74. Pasal 74 UUPT pada dasarnya mengatur mengenai hal-hal berikut ini:
1)      Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2)      Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3)      Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pengaturan TJSL dalam pasal 74 UU PT, merupakan perwujudan komitmen perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan di Indonesia. Sehingga ketika perseroan tidak melaksanakan TJSL, wajib dikenakan sanksi yang telah ditentukan dalam UU PT dan diperjelas dalam PP TJSL.
Secara tegas di dalam Pasal 74 UU PT ini disebutkan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan TJSL akan dikenakan sanksi. Dikaitkan dengan ajaran dari aliran hukum positif, bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang memiliki empat unsur, yaitu 1) perintah (command), 2) sanksi (sanction), 3) kewajiban (duty), 4) kedaulatan (souverignity).[12]
Namun sayangnya, meski secara tegas dinyatakan bahwa apabila perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tidak melaksanakan TJSL akan dikenakan sanksi oleh peraturan terkait, beberapa peraturan yang secara eksplisit maupun insplisit mengenai pelaksanaan TJSL akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak mengatur mengenai pemberian sanksi.
Hal ini tentu saja dapat menyebabkan perseroan tidak melaksanakan TJSL secara maksimal bahkan bisa saja tidak sama sekali melaksanakan TJSL.
Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai pemberian sanksi terhadap Perseroan yang yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tetapi tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia.

B.       PEMBAHASAN
Dewasa ini, suatu perusahaan tidak lagi hanya dihadapkan pada tujuan perusahaan untuk mencari profit semata-semata yang direfleksikan dalam kondisi keuangan perusahaan, namun juga harus memperhatikan aspek sosial serta lingkungannya. Semata-mata mencari profit tanpa memperhatikan aspek sosial serta lingkungan akan berpengaruh pada keberlangsungan perusahaan. Suka atau tidak, aktivitas suatu perusahaan akan berjalan dengan lancar apabila perusahaan juga memperhatikan sosial lingkungannya.
Sebagai contoh dikemukakan bagaimana aspek sosial dan lingkungan yang tidak diperhatikan akan melahirkan masalah yang mengganggu aktivitas perusahaan, yaitu kasus PT.Freeport dengan masyarakat Papua dimana lokasi perusahaan itu berada. PT.Freeport sebagai perusahaan pertambangan emas, tembaga dan perak, tidak  memberikan keuntungan yang sesuai bagi kemakmuran  masyarakat disekitarnya. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Pada tahun 1992, KTT Bumi di Rio de Janeiro Brazilia menegaskan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainibility development) sebagai hal yang wajib diperhatikan, tak hanya oleh negara, tetapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Salah satu hasil konferensi KTT tersebut antara lain, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pada tahun 2002, para Pemimpin Dunia di Yohannesburg telah mengajukan dan melahirkan konsep social responsibility untuk menggenapi dua paradigma pembangunan sebelumnya yaitu economic growth dan environment sustainability. Ketiganya menjadi dasar bagi perusahaan untuk menerapkan CSR/TJSL di dalam menjalankan korporasinya. Pada pertemuan UN Global Compact di Jenewa, Swiss tahun 2007, perusahaan diminta untuk menunjukkan penerapan dan pelaksanaan tanggung jawab dan prilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan CSR;
Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan yang berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.[13]
Ada 3 (tiga) hal pokok yang menjadi faktor utama perkembangan CSR pada periode berikutnya, yaitu:
1.      Sifat voluntairly atau sukarela menjadi dasar penting di dalam perkembangan pelaksanaan prinsip CSR/TJSL;
2.      Dirumuskannya suatu panduan dan standarisasi untuk menerapkan CSR/TJSL. Pada konteks ini, ISO (International Organization for Standardization) di bulan September, tahun 2004 membentuk working group yang pada akhirnya menghasilkan ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility. ISO;
3.      Standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial tersebut mencakup semua sektor, badan yang bersifat publik ataupun privat, baik di negara berkembang maupun negara maju;
Pemikiran terhadap pentingnya perusahaan memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya, melahirkan suatu konsep yang disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR).  Defenisi CSR menurut Ismail Solihin, adalah “salah satu dari bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap pemangku kepentingan (stakeholders)”.[14] Reza Rahman memberikan 3 (tiga) defenisi CSR sebagai berikut:[15]
1.      Melakukan tindakan sosial (termasuk kepedulian terhadap lingkungan hidup, lebih dari batas-batas yang dituntut dalam peraturan perundang-undangan;
2.      Komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat yang lebih luas; dan
3.      Komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas setempat (local) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup;
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab organisasi akan dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan hidup, melalui prilaku yang transparan dan etis, untuk konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Adapun prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam membuat keputusan dan kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000, meliputi antara lain: menghormati stakeholders dan kepentingannya, melaksanakan transparansi dan akuntabilitas, perilaku beretika, melakukan tindakan pencegahan, dan menghormati hak asasi manusia;[16]
Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi:[17]
1. Kepatuhan kepada hukum
2. Menghormati kepada instrument/ badan-badan internasional
3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya
4. Akuntabilitas
5. Transparansi
6. Perilaku yang beretika
7. Melakukan tindakan pencegahan
8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
Dalam pelaksanaan CSR sedikitnya ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu:
a.       Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.
b.      Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan yang didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola Company, Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan), Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, GE Fund.
c.       Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah (NGO/LSM), instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial/Ornop yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi pemerintah (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos); universitas (UI, ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar).
d.      Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama.[18]

Dalam regulasi di Indonesia, konsep CSR dituangkan dalam beberapa perundang-undangan. Konsep CSR ini diterjemahkan dengan beberapa definisi, yaitu seperti Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di dalam UU PT, Tanggung jawab sosial Perusahaan di dalam UU PMA, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan di dalam UU BUMN. Meski berbeda-beda istilah yang dipersamakan dengan konsep CSR, namun inti tujuan utamanya adalah mengenai kegiatan suatu perseroan yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan lingkungannya.
Di dalam UUPT dalam Pasal 1 angka 3 UUPT, dijelaskan mengenai definisi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yaitu komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.[19]
Pengertian perseroan itu sendiri terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 UUPT, yang menjelaskan bahwa yang disebut Perseroan (Perseroan Terbatas) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Mengenai TJSL, diatur dalam Pasal 74 UUPT dan penjelasannya. Pengaturan ini berlaku untuk perseroan. Berdasarkan Pasal 74 UUPT pada dasarnya mengatur mengenai hal-hal berikut ini:
a.       TJSL ini wajib untuk perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.
Sedangkan yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
b.      TJSL ini merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
c.       Mengenai sanksi, dikatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.
Oleh karena ketentuan pasal 74 ini membutuhkan aturan pelaksana, maka kemudian pada tahun 2012 disahkanlah Peraturan pelaksana dari kewajiban TJSL, yaitu PP No.47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Dalam Pasal 4 PP TJSL, dikatakan bahwa TJSL dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) sesuai dengan anggaran dasar perseroan. Rencana kerja tahunan perseroan tersebut memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan TJSL. Pelaksanaan TJSL tersebut dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS (Pasal 6 PP TJSL).
Mengenai adanya kewajiban TJSL bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam ada beberapa permasalahan yaitu mengenai penerapan sanksi apabila tidak dilaksanakan yang berarti konsep CSR yang pada mulanya bersifat etis, moral dan sukarela (voluntary), dalam UU PT menjadi suatu kewajiban dan dapat dikualifikasikan sebagai pemungutan ganda yang harus ditanggung perusahaan di samping pajak, dan TJSL secara implisit telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sektoral dengan sanksi yang cukup ketat.
Selain itu juga mengenai adanya diskriminasi mengenai kewajiban TJSL bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Sedangkan di dalam masyarakat ada juga perseroan yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Bagaimana dengan perseroan yang disebutkan terakhir ini, apakah perseroan seperti ini tidak dibebani kewajiban TJSL ?
Pasal 74 ini kemudian dimintakan uji materilnya oleh beberapa pihak, salah satu diantaranya adalah Suleiman Hidayat Ketua Umum KADIN. Para Pemohon mengajukan permohonan Pengujian Materiil terhadap Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
-          Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
-          Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (bersifat diskriminatif),
-          Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (prinsip efisiensi berkeadilan),
 Mengenai hal ini kemudian terjawab dari keputusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945. Tanggal 15 April 2009.” Pendapat Mahkamah tentang Pertimbangan konstitusionalitas norma pengujian Pasal 74 UUPT.
Mengenai TJSL merupakan suatu kewajiban, MK dalam pertimbangan hukumnya mengatakan bahwa : [20]
Bahwa penormaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) menjadi kewajiban hukum merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang untuk mengatur dan menerapkan TJSL dengan suatu sanksi. Hal demikian dilandasi dari adanya kondisi sosial dan lingkungan yang rusak pada masa lalu dimana praktek perusahaan yang mengabaikan aspek sosial dan lingkungan, sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakat sekitar pada khususnya dan lingkungan pada umumnya;
Bahwa CSR pada mulanya lahir di Inggris dan Eropa yang bersifat voluntary,namun setelah di Indonesia, yaitu khususnya UU 40/2007, sifat sukarela dariCSR ditingkatkan menjadi bersifat mandatory. Indonesia merupakan negara yang berdaulat yang berhak untuk mengatur hukumnya sendiri yang tidak tergantung pada hukum dan budaya yang berlaku di negara lain. Tentu ada alasan tersendiri mengapa CSR yang berlaku di Indonesia tidak disamakan dengan CSR yang berlaku di negara-negara lain, misalnya di Inggris, Australia, Belanda, Kanada, Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat.
Bahwa pengaturan TJSL dengan kewajiban hukum (legal obligation) lebih mempunyai kepastian hukum jika dibandingkan dengan CSR yang bersifat sukarela (voluntary). Penormaan TJSL akan dapat menghindarkan penafsiran yang beragam dari perusahaan, hal demikian dimaksudkan agar memiliki daya atur, daya ikat, dan daya dorong bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL, sebaliknya pengaturan TJSL dengan voluntary tidak cukup kuat untuk dapat memaksa perusahaan melaksanakan TJSL, sehingga dengan meningkatkan CSR dari voluntary menjadi TJSL yang mandatory diharapkan adanya kontribusi dari perusahaan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

            Mengenai pengajuan para pemohon uji  materil yang mengatakan bahwa kewajibanTJSL hanya untuk perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam saja, sehingga ini dapat dikatakan telah terjadi diskriminasi, maka MK dalam pertimbangannya menyatakan:

Permasalahan hukum yang perlu mendapat perhatian Mahkamah adalah adanya anggapan dari para Pemohon mengenai perlakuan yang tidak sama terhadap kewajiban TJSL yang hanya diterapkan kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, sedangkan terhadap perseroan lain yang tidak berkaitan dengan sumber daya alam tidak dikenakan kewajiban TJSL. Pembedaan demikian disebabkan karena menurut Mahkamah terhadap PT yang mengelola sumber daya alam berkaitan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sehingga negara berhak untuk mengatur secara berbeda.
Adapun terhadap badan usaha lain selain perseroan terbatas, seperti Koperasi, CV, Firma, dan Usaha Dagang, dikenai juga kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang lebih dulu diundangkan dari pada UU 40/2007, yang berbunyi, “Setiap penanam modal berkewajiban: menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berpendapat penerapan kewajiban TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), UU 40/2007 beserta Penjelasannya tidak dapat dianggap sebagai perlakuan yang diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

Peraturan pelaksana dari Pasal 74 UU No.40 tahun 2007 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.  Dalam pasal 2 disebutkan bahwa “Setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Hal ini berarti bahwa setiap perseroan yang telah berbadan hukum yang sah oleh undang undang mempunyai tanggung jawab social dan lingkungan. Namun tidak semua perseroan wajib mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan, hanya perseroan yang memenuhi ketentuan Pasal 3 PP TJSL saja yang mempunyai kewajibanitu, yaitu  Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang”.
Dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa dalam melaksanakan TJSL, Direksi melaksanakannya harus berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan yang telah mendapat persetujuan Dewan Komisari atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali ditentukan lain dalam perundang-undangan. Dalam rencana kerja tersebut dijelaskan mengenai rencana kegiatan TJSL serta anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaannya.
Penyusunan anggaran dalam pelaksanaan TJSL haruslah memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Realisasi anggaran untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan haruslah diperhitungkan sebagai biaya Perseroan. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dimuat dalam laporan tahunan Perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS.
Pengaturan CSR dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terdapat juga dalam UU BUMN. Namun CSR diterjemahkan dengan istilah  “Program Kemitraan dan Bina Lingkungan” yang tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 88 UU BUMN. Di dalam Pasal 2 disebutkan bahwa:
1.      Persero dan Perum wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini;
2.      Persero Terbuka dapat melaksanakan Program kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan berpedoman pada Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Dalam Pasal 88 UU BUMN dinyatakan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan bina usaha kecil/ koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan keputusan Menteri.
Ketentuan pelaksana dari Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dalam UU BUMN ini adalah Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007. Yang dimaksud dengan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.[21]
Di dalam Permen kemitraan dan Bina Lingkungan ini diatur secara terperinci syarat-syarat usaha kecil untuk dapat  menjadi mitra binaan, kewajiban BUMN pembina, sumber dana dan lain-lain.
Konsep CSR dalam Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007 dilihat dari perspektif kemitraan dan bina lingkungan yang diaplikasikan melalui peningkatan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri serta melakukan pemberdayaan kondisi sosial masyarakat.[22]
Selain di dalam UU BUMN pengaturan CSR juga terdapat UU PM. Dalam Pasal 15 UUPM menyebutkan bahwa
Setiap penanam modal berkewajiban:
a.       menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b.      melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c.       membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d.      menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasikegiatan usaha penanaman modal; dan
e.       mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan.
Melalui penjelasan Pasal 15 huruf b tersebut mendefinisikan CSR sebagai “tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.”
Dalam Pasal 16 UU Penanaman Modal dicantumkan pula kewajiban-kewajiban yang dipenuhi bagi penanam modal tersebut, yaitu:
1.      Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
2.      Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
3.      Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
4.      Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan
5.      Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di dalam UU PT dan PP TJSL, disebutkan secara tegas bahwa pengaturan sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakanTJSL diatur lebih lanjut dalam undang-undang sektoral. Namun sayangnya, dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewajiban CSR tidak diatur secara tegas mengenai sanksi apabila perseroan tidak melaksanakannya. Padahal UU PT sebagai peraturan yang berlaku pada semua perseroan, apapun bentuknya, apakah perseroan swasta ataupun perseroan yang berupa BUMN. 
Di dalam UU BUMN dan PERMEN BUMN tidak dijelaskan mengenai sanksi bagi BUMN yang tidak melaksanakan Progam Kemitraan dan Bina Lingkungan. Ketiadaan sanksi ini seakan-akan Progam Kemitraan dan Bina Lingkungan ini merupakan suatu kesukarelaan saja bagi BUMN bukan suatu kewajiban. Meski BUMN merupakan suatu perseroan milik pemerintah, bukan berarti BUMN ini tidak terkena aturan yang diamanatkan oleh UU PT tentang kewajiban melaksanakan TJSL atau CSR.
Pengaturan mengenai sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL terdapat di dalam UU PM. Seperti diuraikan sebelumnya, Istilah TJSL tidak dikenal dalam UU PM. Pengimplementasian CSR dalam UU PM menggunakan istilah TJSP. Ketentuan TJSP dalam UU PM menjelaskan bahwa TJSP merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh penanam modal. ketika penanam modal tidak melaksanakan kewajiban maka penanam modal akan mendapatkan sanksi yang telah diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU PM.
Dalam Pasal 34 dijelaskan bahwa :
(1)  Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a.         peringatan tertulis;
b.        pembatasan kegiatan usaha;
c.         pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d.        pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
(2)  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3)  Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari ketentuan ini jelas dinyatakan bahwa perseroan yang merupakan bentuk dari perusahaan swasta, atau penanaman modal maka wajib melaksanakan CSR yang diterjemahkan dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP).
Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan apakah sanksi yang ditetapkan bagi perusahaan penanaman modal ini dapat juga diterapkan terhadap BUMN yang tidak melaksanakan CSR yang dalam UU BUMN dan PERMEN BUMN diterjemahkan dengan Program kemitraan dan Bina Lingkungan.
Untuk itu akan kita lihat terlebih dahulu definisi dari BUMN itu sendiri. Di dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN, disebutkan bahwa Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa yang disebut sebagai BUMN adalah suatu perusahaan yang modalnya bukan hanya milik negara secara keseluruhan. Namun, sebagian dapat dimiliki oleh pihak lain atau pihak swasta. Berapa persentase modal yang harus dimiliki oleh Negara, diatur di dalam Pasal 1 angka 2 yang menyebutkan bahwa “Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.”
Sementara di dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa, “Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.”
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 3 dijelaskan “Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang pasar modal.”
Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, dapatlah kita ambil benang merahnya bahwa, yang BUMN bentuk ada dua macam yaitu:
1.      Perseroan
2.      Perusahaan umum (Perum)
Perseroan ini modalnya sebagian milik Negara, sedangkan sebagian lagi milik swasta. Pada saat perseroan itu merupakan perseroan terbuka, maka sahamnya dapat ditawarkan di  Pasar Modal sehingga setiap subjek hukum dapat memiliki saham tersebut. Hal ini berarti, pada saat suatu BUMN telah menjadi perseroan terbuka (tbk) maka diantara sahamnya dimiliki oleh swasta. Berarti UU Penanaman Modal juga dapat diberlakukan bagi BUMN yang tidak melaksanakan CSR yang dalam UU BUMN disebut sebagai Program Kemitraan dan Bina Lingkungan.
Dalam hal perum, pengertianya adalah  BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.[23] Untuk BUMN yang berbentuk perum, tidak kenai kewajiban TJSL karena bukan merupakan perseroan, sehingga UU PT tidak dapat diberlakukan padanya.
Mengenai penerapan sanksi yang diatur di dalam UU Penanaman Modal bagi BUMN yang berbentuk perseroan ini masih membutuhkan penafsiran. Sehingga akan lebih baik, seharusnya di dalam UU BUMN dan PERMEN BUMN tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan diatur secara tegas mengenai sanksi bagi BUMN yang tidak melaksanakan kewajiban CSR.
C.      PENUTUP
Konsep awal Corporate Social Responsibility (CSR) bersifat etis, dan kesukarelaan. Di dalam UU PT, konsep CSR ini diterjemahkan dengan  Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), dan bersifat wajib bagi perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Sehigga apabila suatu perseroan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, tidak melaksanakan TJSL maka akan dikenanakan sanksi. Didalam UU PT dan PP TJSL disebutkan bahwa sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL akan diatur dapat peraturan sektoral. Dari beberapa peraturan yang mengatur mengenai TJSL, hanya dalam UU Penanaman Modal disebutkan mengenai sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL. Sanksinya yaitu peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan ; Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2011
Arif Budimanta, Corporate Social Responsibility, ICSD, Jakarta, 2008
Arif  Budiman, Adi Prasetjo, Bambang Rudito, CSR Alternatif bagi Pembangunan Indonesia, ICSD, Jakarta, 2008
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri, Memperkuat CSR, CV. Alfabeta, Bandung, 2009
Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility ; Prinsip, Pengaturan dan Implementasinya, Inspire Indonesia, Malang, 2008
Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility From Charity to Sustainability, PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Jakarta, 2008
Martiningsih, Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat, Tunas Gemilang, Palembang, 2014
Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum Mencari Hakikat Hukum, Unsri, 2008
Reza Rahman, Corporate Social Responsibility Antara Teori dan Kenyataan, Media Pressindo, Yogyakarta 2009
Saidi Zaim dan Hamid Abidin., Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia, Piramida, Jakarta, 2004
Yusuf Wibisono, Membedah konsep CSR; Seri Menejemen Berkelanjutan, CV. Ashkaf Media Grafika, Surabaya. 2007
UUD 1945
UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
UU No.19 Tahun2003 tentang BUMN
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
PP No.47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007
Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945
ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility.
























[1] Dosen PNS Dpk Kopertis Wilayah II, Dpk Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
[2] Pembukaan UUD 1945
[3] Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan ; Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2011, hal.105
[4] Arif Budimanta, Corporate Social Responsibility, ICSD, Jakarta, 2008, hal.83
[5] Yusuf Wibisono, Membedah konsep CSR; Seri Menejemen Berkelanjutan, CV. Ashkaf Media Grafika, Surabaya. 2007, Hal 24-26
[6] ibid
[7] Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri, Memperkuat CSR, CV. Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 105
[8] Pasal 1 angka 3 UU No.40 tahun 2007
[9] Penjelasan PP No.47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
[10] Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility ; Prinsip, Pengaturan dan Implementasinya, Inspire Indonesia, Malang, 2008
[11] ibid
[12] Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum Mencari Hakikat Hukum, Unsri, 2008, hal.28
[13] Arif  Budiman, Adi Prasetjo, Bambang Rudito, CSR Alternatif bagi Pembangunan Indonesia, ICSD, Jakarta, 2008, Hal.90
[14] Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility From Charity to Sustainability, (Jakarta: PT. Riau Andalan Pulp and Paper, 2008), hal. 2.
[15] Reza Rahman, Corporate Social Responsibility Antara Teori dan Kenyataan, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2009), hal. 10.
[16] ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility.
[17] ibid
[18] Saidi Zaim dan Hamid Abidin., Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia, (Jakarta: Piramida, 2004), hal. 32.
[19] UU No.40 Tahun 2007
[20] Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945
[21] Pasal 1 angka 6 dan 7 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007
[22] Martiningsih, Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat, Tunas Gemilang, Palembang, 2014, hal.141
[23] Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri BUMN tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar