Minggu, 21 Agustus 2016

KEPALITIAN BANK-SIMBUR CAHAYA JAN 17



KEPAILITAN BANK OLEH BANK INDONESIA; SUBSTANSI DAN RELEVANSINYA

Oleh :
Rosida Diani, SH, MH

Abstrak
Dalam roda perekonomian suatu bangsa, bank merupakan agent of development (terutama bagi bank-bank milik negara) dan financial intermediary. Sehatnya dunia perbankan di suatu negara akan sangat berpengaruh terhadap sehatnya perekonomian negara tersebut. Bank sebagai badan usaha, juga melakukan beberapa transaksi bisnis yang memposisikan bank bukan hanya sebagai kreditur tetapi juga debitur. Dalam kaitannya dengan kedudukan bank sebagai debitur, saat tidak mampu untuk melunasi utangnya, dan itu telah jatuh tempo, maka dapatlah diajukan permohonan pailit. Namun di dalam UU Kepailitan dan PKPU, yang dapat mengajukan permohonan pailit ini hanyalah Bank Indonesia. Ada beberapa pertimbangan dari aturan ini, diantaranya karena berkaitan dengan kestabilan perekonomian, banyaknya biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan bank, serta memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah yang menitipkan dananya di bank. Meskipun aturan ini juga memberikan sisi ketidak adilan bagi kreditur yang mempunyai piutang kepada bank. Seakan-akan bank kemudian berlindung dibalik aturan ini.
Kata kunci: bank, kepailitan, bank Indonesia


A.      PENDAHULUAN
Bank merupakan institusi yang mempunyai peran besar terhadap perekonomian suatu negara. Sehatnya perekonomian suatu negara, akan sangat bergantung dengan sehatnya perbankannya. Dalam roda perekonomian suatu bangsa, fungsi dan tujuan bank adalah sebagai agent of development (terutama bagi bank-bank milik negara) dan sebagai financial intermediary.
Mengenai fungsi perbankan Indonesia, secara umum diatur dalam Pasal 3 UU No. 7 Tahun 1992, yaitu: sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Adapun fungsi perbankan Indonesia secara luas adalah: Bank sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat atau penerima kredit, Bank sebagai penyalur dana kepada masyarakat atau sebagai lembaga pemberi kredit, dan Bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran.
Bank sebagai institusi yang menghimpun dana dari masyarakat, menerima dana yang disimpan oleh masyarakat dalam bentuk tabungan atau deposito. Ada beberapa alasan masyarakat menyimpan dana atau uang di bank, diantaranya karena alasan keamanan dan keuntungan dari memperoleh bunga. Menyimpan uang di bank, lebih memberikan keamanan dibandingkan dengan menyimpan uang di bank, dan lebih praktis juga saat dibawa bepergian. Dengan menyimpan uang di bank, maka saat akan bepergian, masyarakat cukup menggunakan kartu debit untuk melakukan pembayaran di pusat perbelanjaan, tanpa harus membawa uang cash dalam jumlah banyak. Selain alasan keamanan dan praktis, menyimpan dana di bank juga karena alasan ingin mendapatkan keuntungan dari bunga yang diberikan oleh bank.
Bank sebagai institusi keuangan yang terkadang juga mengalami masa-masa sulit sehingga kemudian mengalami kebangkrutan. Bangkrut atau pailit adalah suatu keadaan dimana seseorang yang oleh pengadilan dikatakan bankrupt, dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukan untuk membayar hutang-hutangnya.[1] Namun demikian, umumnya orang sering menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bangkrut itu adalah sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur agar harta dapat dibagi-bagi secara adil diantara para kreditur.
Dari ketentuan Pasal 2 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut:
a.       Adanya hutang;
b.      Minimal satu dari hutang sudah jatuh tempo;
c.       Minimal satu dari hutang dapat ditagih;
d.      Adanya debitur;
e.       Adanya kreditur;
f.       Kreditur lebih dari satu;
g.      Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan Niaga
h.      Permohonan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu:
1)      Pihak debitur;
2)      Satu atau lebih kreditur;
3)      Jaksa untuk kepentingan umum;
4)      Bank Indonesia jika debitunya bank;
5)      Bapepam, jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian;
6)      Menteri keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik.
i.        Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-Undang Kepailitan.
j.        Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim “menyatakan pailit” bukan “dapat menyatakan pailit”. Sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgment” yang luas seperti pada kasus-kasus lainnya, sungguhhpun limited defence masih dibenarkan, mengingat yang berlaku adalah prosedur pembuktian yang sumir (Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan)

Pada point ‘h’ disebutkan bahwa yang berhak mengajukan pailit bagi bank adalah Bank Indonesia. Di dalam UU Kepailitan dan PKPU dalam hubungannya dengan kepailitan, tidak ada suatu definisi batasan mengenai bank. Di dalam undang-undang tersebut hanya disebutkan bahwa bank adalah bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga definisi ini dikembalikan lagi kepada undang-undang perbankan. Di dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dalam UU kepailitan dan PKPU, dijelaskan dalam Pasal 2 diatas, bahwa nasabah atau pihak ketiga yang mempunyai tagihan dan telah jatuh tempo, tidak dapat mengajukan pailit kepada bank. Hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap badan usaha yang berbentuk bank, meskipun pihak lain itu merupakan kreditur atau mempunyai piutang kepada bank, dan piutang itu telah jatuh tempo. Hal inilah kemudian yang akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini, mengenai substansi dari kepailitan bagi bank, alasan dan latar belakang hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pailit atas suatu bank.
B.       PEMBAHASAN
1.        Pengertian bank
Apabila kita menelusuri sejarah dari terminologi bank, maka akan kita temukan bahwa kata ‘bank’ berasal dari kata ‘bance’ yang berarti bangku tempat duduk. Sebab pada zaman pertengahan pihak bankir italia yang memberikan pinjaman-pinjaman dan melakukan hal tersebut dengan duduk di bangku di halaman pasar.[2]
Menurut R.Tjipto Adinugroho, bank adalah lembaga atau badan yang mempunyai pekerjaan memberikan kredit, menerima kredit berupa simpanan (deposito) di samping mengenai kiriman uang dan sebagainya.[3] A. Abdurrachman dalam bukunya Ensikopedia Ekonomi keuangan dan Perdagangan, menyatakan : Bank adalah suatu badan yang melaksanakan berbagai macam jasa seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan, terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain.
Sementara di dalam UU No.10 Tahun 1998tentang Perbankan, mendefinisikan bank adalah sebagai badan hukum yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa bank adalah:
a.       Lembaga yang menghimpun dana dari masyarakt
b.      Menyalurkan dana dalam bentuk kredit
c.       Menjadi perantara dalam transaksi dagang di dalam negeri maupun luar negeri.
Ada beberapa asas dalam perbankan yaitu:[4]
a.       Asas demokrasi ekonomi
b.      Asas kepercayaan (Fiduciary Principle)
c.       Asas kerahasiaan (confidential Principle)
d.      Asas kehati-hatian (Prudential Principle)
Bank mempunyai fungsi sebagai agent of development (terutama bagi bank-bank milik negara) dan sebagai financial intermediary. Bank sebagai agen pembangunan yaitu sebagai lembaga yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasioonal dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah pembangunan taraf hidup rakyat banyak.
Fungsi agent of development ini dilakukan oleh bank-bank pemerintah terutama untuk pemeliharaan kestabilan moneter di Indonesia. Wujud dari fungsi bank tersebut terllibat dalam program kredit pemerataan, yaitu Kredit Investasi Kecil (KIK), dan kredit modal Kerja permanen (KMKP).
Dengan demikian bank bisa ditugaskan untuk melaksanaan program pemerintah guna mengembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu, atau memberikan perhatian yang lebih besar pada koperasi dan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Fungsi bank sebagai financial intermediary adalah sebagai perantara penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Dua fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bank juga bertindak sebagai perantara atau penghubung antara nasabah yang satu dengan lainnya jika keduanya melakukan transaksi. [5]
2.        Pengertian kepailitan
Dasar hukum berlakunya Hukum Kepailitan di Indonesia terdapat di dalam UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang biasanya UU Kepailitan dan PKPU.
Salah satu pihak yang sangat terkait dalam kepailitan adalah kreditor, yaitu orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Sedangkan debitor adalah orang yang mempunyai uatang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Menurut Levintal, tujuan hukum kepailitan adalah:
a.       Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditornya.
b.      Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor;
c.       Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.[6]
Dalam penjelasan UU Kepailitan dan PKPU, mengemukakan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai berikut:
a.       Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya pada debitor.
b.      Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan ang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.
c.       Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawab terhadap kreditor.
Didalam UU Kepailitan dan PKPU, mengandung beberapa asas dari kepailitan, yaitu:
a.       Asas keseimbangan
Dalam UU Kepailitan dan PKPU, diatur mengenai keseimbangan kepentingand kedua belah pihak. Ada aturan yang ditentukan untuk mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitian oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, teradapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
b.      Asas kelangsungan usaha
Ada kemungkinan untuk perusahaan yang prospektif untuk tetap dilangsungkan.
c.       Asas keadilan
Dalam UU Kepailitan dan PKPU, mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.
d.      Asas integrasi
Mengandung pengertian bahwa sistem hkum formil dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan pailit, yaitu:
a.              Kreditor atau beberapa kreditor
Kreditor dalam pengertian ini meliputi kreditor konkuren, kreditor separatis, maupun kreditor separatis.
b.             Debitor sendiri
Seorang debitor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya sendiri (voluntary petition) apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1)      Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor
2)      Debitor sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
c.              Kejaksaan untuk kepentingan umum
Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, syarat untuk pengajuan permohonan pailit telah dipenuhi. Yang dimaksud dengan kepentingan umum yaitu:
1)      Debitor melarikan diri
2)      Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaannya;
3)      Debitor mempunyai hutang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat.
4)      Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu, dan
5)      Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umuum.
d.             Bank Indonesia
Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggung jawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pailit ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e.              Badan Pengawas Pasar Modal
f.              Dalamhal debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal yang mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instasi-instasi yang berada dibawah pengawasannya.
g.             Menteri Keuangan
Dalam debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publi, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.[7]
3.        Permohonan Kepailitan Bank oleh Bank Indonesia
Dalam Pasal 2 ayat (3) UU No.37 tahun 2004, bahwa yang dapat mengajukan permohonan pailit atas suatu bank adalah Bank Indonesia. Pihak lain, selain Bank Indonesia, tidak dapat mengajukan permohonan pailit bagi suatu bank, meskipun syarat-syarat untuk pengajuan pailit telah terpenuhi.
Syarat-syarat pengajuan permohonan pailit sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.37 tahun 2004 yaitu “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,...”
Di dalam UU Kepailitan dan PKPU, disebutkan bahwa debitor dan kreditor dapat mengajukan permohonan pailit. Definisi kreditor dapat kita temukan dalam UU  Kepailitan dan PKPU pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan.
Di dalam KUHPerdata, ditentukan bahwa kreditor ini dapat dibagi menjadi kreditor separatis , kreditor yang diistimewakan  dan kreditor biasa (kreditor konkuren). Kreditor separatis adalah kreditor yang memegang hak jaminan kebendaan. Kreditor tersebut dapat menjual barang yang dijaminkan kepadanya dan mengambil pembaayaran dari piutangnya dari hasil penjualan barang tersebut. Jika penjualan barang tersebut tidak mencukupi untuk pembayaran piutangnya maka, kreditur separatis mempunyai kedudukan yang sama dengan kreditur konkuren untuk sisa pelunasan piutangnya itu.
Kreditur dengan hak istimewa adalah kreditur yang karena sifat piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan berhak untuk memperoleh pelunasan lebih dulu dari penjualan harta pailit. Sebagai mana diatur di dalam pasal 1139 dan pasal 1149 KUHPerdata. Kedudukan kreditur ini setelah kreditur separatis. Kreditur konkuren adalah kreditur yang memperoleh pelunasan piutangnya secara bersama-sama dan dihitung berdasarkan besarnya piutang masing-masing dibandingkan dengan piutang mereka secara bersama-sama.
Definisi debitur dalam UU Kepailitan dan PKPU adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.
Undang-undang kepailitan telah memberikan hak khusus bagai Bank Indonesia sebagai pihak yang memiliki otoritas pengajuan kepailitan bank. Hal ini karena suatu alasan yang jelas. Bank merupakan lembaga perantara yang mengerahkan dana masyarakat dan menyalurkannya kembali, apabila telah memiliki izin usaha, bukan lagi milik pemegang saham, akan tetapi juga milik masyarakat.
Berdasarkan UU Perbankan, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pada umumnya bank selalu bertidak sebagai kreditor, namun demikian, bank juga dapat menjadi debitor.
Untuk dapat menjadi bank dan melakukan kegiatan usaha sebagai bank, maka ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Pasal 21 Undang-undang Perbankan membatasi bentuk hukum dari badan usaha yang dapat menjadi bank, yaitu Perseroann Terbatas, Koperasi atau Perusahaan Daerah. Sebagaimana juga diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum. Sebelum melakukan usahanyaa sebagai bank, badan usaha  tersebut harus memperoleh izin dari bank Indonesia, sebagaimana diatur di  dalam Pasal 16 undang-undang perbankan.
Hal ini juga ditegaskan di dalam pasal 2 dan Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 bahwa bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin dari Gubernur Bank Indonesia dimana izin tersebut dilakukan dalam dua tahap, yaitu persetujuan prinsip yang merupakan persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian bank, dan tahap izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha bank setelah persiapan pada persetujuan prinsip selesai dilakukan.
Izin usaha sangat penting dalam melakukan kegiatan usaha. Menurut Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009, walaupun sudah mendapat persetujuan prinsip, jika belum mendapatkan izin usaha, maka badan usaha tersebut masih dilarang untuk melakukan kegiatan usaha perbankan.
Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam jumlah besar, haruslah diatur sedemikian rupa agar memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para nasabah yang telah menitipkan dananya. Ada banyak aturan yang diperuntukan untuk itu, salah satunya mengenai kesehatan bank. Bank Indonesia menetapkan aturan mengenai kesehatan bank, dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, berhubungan dengan usaha bank.[8]
Dalam hukum perbankan, perlindungan terhadap nasabah bank, dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu perlindungan eksplisit dan perlindungan implisit. Perlindungan secara implisit pada dasarnya merupakan pengawasan dan pembinaan yang dapat menghindarkan terjadinya kerugian bank yang diawasi.[9] Pengawasan eksplisit adalah perlindungan yang diberikan dengan membentuk lembaga penjamin simpanan sehingga apabila bank mengalami kegagalan, maka lembaga tersebut akan mengganti dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang gagal tersebut.[10]
Dalam hal kepailitan kegiatan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat, membuat bank berbeda dari debitur-debitur lainnya. Faktor-faktor seperti kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan dan perlindungan dana masyarakat yang disimpan dalam bank dimaksud akan menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan dan moneter.[11]
Kepercayaan masyarakat terhadap bank akan pudar apabila mengetahui mengetahui bahwa bank dapat dimohonkan pailit oleh setiap kreditor. Mereka akan khawatir untuk menempatkan dananya di bank. Terlebih-lebih setelah dinyatakan pailit bank tidak lagi diurus oleh direksinya, melainkan akan diurus oleh kurator yang notabene bukan seorang bankir. Dalam kapasitasnya sebagai debitur, berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU Kepailitan, terhadap bank dapat dimohonkan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga, tapi harus melalui Bank Indonesia. Bank Indonesia, akan mengajukan permohonan ini, setelah melakukan pertimbangan yang matang mengenai dampak-dampak yang akan ditimbulkan.
Mengenai pengajuan permohonan pailit atas suatu bank yang diajukan oleh kreditor lain, bukan oleh Bank Indonesia, pernah terjadi yaitu oleh PT.Bank IFI terhadap PT. Bank Danamon. Namun permohonan itu juga ditolak oleh Pengadilan Niaga, karena undang-undang telah menentukan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pailit atas debitor yang merupakan Bank, hanyalah Bank Indonesia. Meskipun dalam syarat pengajuan permohonan itu telah terpenuhi, yaitu adanya Debitur, mempunyai dua kreditur atau lebih dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. PT.Bank IFI tidak berkapasitas untuk mengajukan permohonan pailit atas PT.Bank Danamon, yang berkapasitas untuk itu hanyalah Bank Indonesia.
Dalam kasus antara PT.Bank IFI dengan PT.Bank Danamon ini berawal ketika pada tanggal 18 Desember 1996, dihadapan Notaris Achmad Abdi, SH, pengganti Notaris Sutjipto, SH, telah dibuat dan ditanda tangani Perjanjian Pinjaman Sindikasi No.47 yang disebut Secured Transferable Loan Facilities Agreement, antara PT.Riau Prima Energi dengan Peserta Sindikasi yaitu PT.Bank Danamon Indonesia, PT.Bank Bira, PT.Bank Lippo, PT.Bank Niaga, PT.Bank Niaga, PT.Bank Nusa Nasional, PT.Pan Indonesia Bank, PT.Bank Tiara Asia, PT.Bank Duta, PT.Bank PD FCI, PT.Bank Jayabank Internasional, PT.Bank Dharmala, PT.Bank Rama, PT. Bank Rama, PT.Bank Tata, PT.Bank Piko, dan PT.Bank Dagang dan Industri.
Guna memenuhi kewajiban kepada PT.Bank Riau Prima energi sebesar US $16,781,250 pada tanggal 18 Desember 1996, berdasarkan Secured Transferable Loan Facilities Agreeement, PT.Bank Nusa Nasional selanjutnya mengadakan perjanjian Sub-Participation dengan Bank IBI senilai US$5,000.000.[12]
Disini PT.Bank IFI telah mengalami kebuntuan untuk memperoleh kembali haknya. PT.Bank IFI telah mengajukan permohonan ke Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pailit bagi PT.Bank Danamon, namun hal itu juga tidak membuahkan hasil. Dalam hal seperti ini, keberadaan aturan bahwa yang berkapasitas sebagai kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit atas suatu bank hanyalah bank Indonesia, seakan-akan menjadi tempat berlindung bagi bank yang bermasalah dari kewajibannya.
Karena dalam praktiknya, meski ada aturan yang menyatakan bank dapat diajukan permohonan pailit, oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia belum pernah mengajukan permohonan pailit bagi bank. Upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk bank yang bermasalah atau tidak sehat, lebih ke Likuidasi dari pada Kepailitan. Ada banyak pertimbangan proses kepailitan bagi bank, sampai saat ini belum pernah dilakukan oleh Bank Indonesia, salah satunya adalah sosial cost yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia. Anggaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyehatkan perbankan nasional sudah cukup besar, tidak mungkin dikorbankan begitu saja, hanya karena permohonan satu atau dua kreditor.
Untuk itu dalam hal penyelesaian persoalan utang piutang melalui mekanisme kepailitan dalam suatu perkara utang piutang dimana debiturnya adalah bank, sulit untuk dicapai dan dilaksanakan. Mekanisme kepailitan bukanlah cara yang terbaik dan efektif untuk menyelesaikannya.
Merujuk pada putusan Pengadilan Niaga diatas, dan pasal 1 ayat 3 UU kepailitan dan PKPU, terkesan bahwa kepentingan kreditor dalam perkara kepailitan di mana debiturnya adalah bank, tidak terlindungi dengan baik. Berbicara mengenai kreditor, sistem hukum Indonesia telah memiliki mekanisme yang cukup lengkap untuk menyelesaikan perkara utang piutang dan memberikan perlindungan yang cukup terhadap kreditor. Perkara utang piutang dapat diselesaikan melalui mekanisme gugatan perdata biasa. Selain itu, kreditor dapat pula mengupayakannya secara non litigasi atau  out of court settlement melalui lembaga arbitrase maupun melalui mekanisme alternative Dispute Resolution dengan menggunakan metode mediasi perbankan.[13]
                
C.      PENUTUP
1.      Permohonan kepailitan yang debitornya bank, hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
2.      Hingga saat ini, belum pernah terjadi dimohonkanya pailit bagi bank, oleh Bank Indonesia, karena berbagai pertimbangan yang berkaitan dengan kestabilitan ekonomi. Selain itu juga berkaitan dengan sudah banyaknya sosial cost yang dikelurkan oleh pemerintah dalam usaha menyehatkan bank dan juga perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana di bank.
3.      Kepentingan kreditor dalam hal debitornya bank, pada perkara utang piutang, tidak terlindungi dengan baik apabila menggunakan mekanisme kepailitan. Penyelesaian sengekata utang piutang dapat diselesaikan melalui mekanisme gugatan perdata biasa.

DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan : Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitian, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010
C.S.T.Ka nsil dan Christine Kansil, Modul Hukum Pedata : Termasuk Asas-asas Hukum Perdata, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2004
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012.
Lukman Santosa, Hak dan Kewajiban; Hukum nasabah Bank, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2011
Munir  Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Buku 1, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Likuidasi Bank di Indonesia Pra Lembaga Penjamin Mutu Simpanan, LinkSAS, Yogyakarta, 2005
R.Tjipto Adinugroho, Perbankan dan Masalah Permodalan Dana Potensial, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985
Sutan Remy Sahdeini, Hukum Kepailitan, memahami Undang-Undang  No.37 Tahun 2004, tentang Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2009, hal.28.


[1] Abdurrachman,  dalam Munir  Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.8
[2] Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Buku 1, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal.13
[3] R.Tjipto Adinugroho, Perbankan dan Masalah Permodalan Dana Potensial, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985, hal.5
[4] Usman, dalam Lukman Santosa, Hak dan Kewajiban; Hukum nasabah Bank, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2011, hal.36-38
[5] Ibid, hal.40
[6] Levintal, dalam Sutan Remy Sahdeini, Hukum Kepailitan, memahami Undang-Undang  No.37 Tahun 2004, tentang Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2009, hal.28.
[7]Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hal.133-135
[8] Adrian Sutedi, Hukum Perbankan : Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitian, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.158
[9] Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Likuidasi Bank di Indonesia Pra Lembaga Penjamin Mutu Simpanan, LinkSAS, Yogyakarta, 2005, hal.124
[10] Ibid, hal.
[11] Adrian Sutedi,op.cit, hal.253
[12] Ibid, hal.250
[13] Adrian sutedi, ibid, hal.254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar