PERBEDAAN
KONSEP PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADANHUKUM DAN SEBAGAI ENTITAS HUKUM MANDIRI
Oleh
:
ROSIDA
DIANI
ABSTRAK
Prinsip
dasar suatu perusahaan sebagai badan hukum adalah adanya hak dan kewajiban yang
melekat padanya. Sebagaimana dalam hukum perdata, badan hukum merupakan subjek
hukum disamping manusia. Subjek hukum ialah pendukung (pembawa) hak dan
kewajiban. Ada dua macam subjek hukum, yaitu manusia (natuurlijk persoon) dan Badan Hukum (Rechtpersoon). Konsep
perusahaan sebagai badan hukum dan sebagai sebagai entitas hukum mandiri adalah
dua hal yang berbeda. Konsep perusahaan sebagai suatu entitas mandiri,
berkaitan erat dengan pemisahan hak dan kewajiban antara para pemegang saham
dengan perusahaanya. Sedangkan konsep perusahaan sebagai suatu badan hukum,
berkaitan dengan teori badan hukum itu sendiri. Keberadaan suatu perusahaan
dapat terjadi memang karena adanya keinginan dari para pihak untuk
membentuknya, sebagaimana dikemukakan oleh teori entitas natural. Atau
keberadaannya memang secara fiksi lahir atau diciptakan tanpa ada perjanjian
para pihak, sebagaimana dikemukan oleh teori fiksi.
Kata
Kunci : Perseroan Terbatas, Badan Hukum, Entitas, Mandiri
A.
PENDAHULUAN
Perseroan
Terbatas (selanjutnya disebut PT) merupakan salah satu jenis badan usaha yang
tujuannya adalah mencari keuntungan atau laba. Konsep pembentukan suatu badan
usaha seperti PT ini, secara historis telah ada dari masa Romawi Kuno. Pada
masa itu dikenal dengan istilah “collegium” yang disebut juga
dengan istilah “corpus” (berasal dari bahasa Inggris “corporation”)
yang dapat diterjemahkan sebagai perseroan terbatas.[1]
Di Indonesia sendiri, keberadaan PT
telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sejak zaman
penjajahan Belanda yaitu diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUHD yang
berlaku di Indonesia sejak tahu 1848. Selain di dalam KUHD, pengaturan PT secara
inplisit juga terdapat di dalam Pasal 1618 sampai 1652 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) dengan title Persekutuan.
Setelah kemerdekaan Republik
Indonesia, pengaturan mengenai PT diatur di dalam suatu undang-undang
tersendiri yaitu UU No. 1 tahun1995 tentang Perseroan Terbatas, yang berlaku
mulai tanggal 7 Maret 1996. Dengan berlakunya UU No.1 Tahun 1995 ini, maka
aturan-aturan di dalam KUHD mengenai PT tidak berlaku lagi. Pengaturan mengenai
PT yang berlaku adalah semua aturan yang terdapat di dalam UU No.1 Tahun1995
dan aturan-aturan umum di dalam KUHPerdata.
Pada Tahun 2007, undang-undang PT
ini kemudian diperbaiki lagi, karena dirasakan telah tertinggal dari
perkembangan masyarakat. Hal ini agar fungsi hukum dapat berjalan dengan
sebagaimana mestinya. Fungsi hukum itu sendiri antara lain, yaitu pertama,
sebagai standard of conduct, kedua;
sebagai as a tool of social engeneering,
ketiga; sebagai as a tool of social
control, dan keempat; sebagai as a
facility on of human interaction.[2]
Maka disahkanlah undang-undang PT yang terbaru yaitu UU No. 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
Di dalam
masyarakat, selain PT, ada beberapa bentuk badan usaha lainnya, antara lain
Persekutuan Firma, Persekutuan
Komanditer, Koperasi. Persekutuan Firma adalah tiap-tiap persekutuan perdata
yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dibawah satu nama
bersama.(Pasal 16 KUHD). Sehingga dari ketentuan Pasal 16 KUHD tersebut,
diketahui ciri dari persekutuan firma adalah persekutuan firma menjalankan
suatu perusahaan dan persekutuan firma mempergunakan satu nama bersama.[3]
Pasal 19 KUHD
mengatakan bahwa persekutuan komanditer adalah persekutuan menjalankan
perusahaan yang dibentuk antara satu orang atau beberapa orang sekutu yang
secara langsung bertanggung jawab untuk seluruhnya pada satu pihak, dan satu
orang atau lebih sebagai pelepas uang pada pihak lain. Persekutuan Komanditer (Commanditer Vennootschap) berada
diantara Firma dan Perseroan Terbatas, dengan demikian CV adalah persekutuan
dengan setoran uang, barang atau tenaga sebagai pemasukan para sekutu, dibentuk
oleh satu orang atau lebih anggota aktif yang bertanggung jawab secara renteng,
di satu pihak dengan satu atau lebih orang lain sebagai pelepas uang.
Persekutuan komanditer mempunyai dua macam sekutu, yaitu sekutu komanditer ;
yaitu sekutu aktif yang menjadi pengurus persekutuan dan sekutu komplementer;
yaitu sekutu pasif yang tidak ikut mengurus persekutuan.[4]
Perseroan
Terbatas merupakan jenis badan usaha yang paling banyak diminati oleh
masyarakat. Hal ini karena PT memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
firma dan komanditer. Kelebihan dari PT ini antara lain PT menanggung
persetujuan terhadap pihak ketiga dengan siapa ia melakukan hubungan
perdagangan. Tidak seorangpun dari pemegang saham yang bertanggung jawab
terhadap para kreditur. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas saham yang
diserahkan ke PT. Badan hukum PT berbeda dengan Maatschap, perseroan firma dan
perseroan komanditer. PT adalah suatu badan hukum berarti dapat melakukan
perbuatan-perbutan hukum.[5]
Perseroan
Terbatas atau naamloze vennootschap
(dalam bahasa Belanda), company limited
by shares (dalam bahasa Inggris),[6]
menurut Pasal 1 ayat 1 UU No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas adalah
badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.
Pengertian di
dalam UU PT 1995 ini mengalami
perubahan, pada UU PT 2007. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa PT adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya. Dalam
Pasal 3 ayat (1) UU PT 2007, disebutkan bahwa Pemegang saham Perseroan tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan
dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang
dimiliki.
Menurut
Purwosutjipto, perseroan terbatas adalah perserkutuan yang berbentuk badan
hukum. Badan hukum itu tidak disebut “persekutuan” tetapi “perseroan”, sebab
modal badan hukum itu terdiri dari sero-sero atau saham-saham. Istilah
“terbatas” tertuju pada tanggung jawab persero atau pemegang saham, yang luasnya
terbatas pada nilai nominal semua saham yang dimilikinya.[7]
Dari pengertian
PT di atas, maka ada dua karakteristik PT yang utama yaitu:[8]
1. PT
merupakan badan hukum
2. Tanggung
jawab pemegang saham terbatas, maksudnya terbatas pada nilai saham yang
diambilnya.
Konsep perseroan
sebagai badan hukum, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, telah diatur di
dalam Pasal 1 angka 1 UU No.40 Tahun 2007. Sementara konsep perseroan sebagai entitas
hukum mandiri, diatur di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No.40 Tahun 2007.
Kedua prinsip
tersebut, seringkali disama artikan antara satu dengan lainnya meskipun pada
kenyataannya mempunyai ruang lingkup yang berbeda. Menurut Arthur W.Marchen Jr,
menjelaskan bahwa perbedaan antara perusahaan sebagai badan hukum dan sebagai
subjek hukum mandiri. Perusahaan sebagai badan hukum menitikberatkan pada
melekatnya hak-kewajiban-tanggung jawab dalam diri perusahaan serta berkaitan
dengan sejarah berdirinya suatu badan hukum yang dilatarbelakangi oleh dua
teori besar,yaitu teori fiksi dan teori entitas natural.[9]
Hal ini berbeda
dengan prinsip perusahaan sebagai entitas hukum mandiri. Prinsip hukum ini
lebih mengarah pada pemisahan harta dan tanggung jawab antara perusahaan dengan
pendiri atau pemegang saham. Kegunaan prinsip hukum ini adalah menentukan
secara tegas bagaimana kedudukan harta kekayaan dan tanggung jawab dari
perusahaan kepada pemegang saham.[10]
Di dalam tulisan
ini akan diuraikan mengenai perbedaan prinsip tersebut sehingga tergambar
bagaiman kedua prinsip yang sering disama artikan itu sebenarnya sangatlah
berbeda.
B.
PEMBAHASAN
Prinsip
dasar suatu perusahaan sebagai badan hukum adalah adanya hak dan kewajiban yang
melekat padanya.[11]
Sebagaimana dalam hukum perdata, badan hukum merupakan subjek hukum disamping
manusia. Subjek hukum ialah pendukung (pembawa) hak dan kewajiban. Ada dua
macam subjek hukum, yaitu manusia (natuurlijk
persoon) dan Badan Hukum (Rechtpersoon).[12]
Manusia sebagai subjek hukum karena kodratnya, sedangkan badan hukum diciptakan
oleh manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri.[13]
Manusia
sebagai subjek hukum mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya yang dijamin
oleh hukum yang berlaku. Berlakunya manusia sebagai pembawa hak dimulai saat
dilahirkan dan berakhir pada saat meninggal dunia, sehingga dikatakan bahwa
manusia hidup, ia menjadi manusia pribadi, kecuali yang diadakan oleh Pasal 2
KUHPerdata.[14]
Manusia pribadi atau natuurlijke persoon
sebagai subjek hukum mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dijamin oleh
hukum yang berlaku. Manusia sebagai subjek hukum itu diatur secara luas pada
Buku I tentang orang (van personen) KUHPerdata. Menurut Pasal 1 KUHPerdata
mengatakan bahwa menikmati hak-hak kewarganegaraan tidak bergantung pada
hak-hak kenegaraan. Pada pasal 2 KUHPerdata menegaskan bahwa anak yang ada
dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bila
kepentingan si anak menghendakinya, dan apabila si anak itu mati sewaktu
dilahirkan, dianggap ia tidak pernah ada.
Secara
ril menurut KUHPerdata manusia sebagai subjek hukum berlaku sejak ia lahir dan
berakhir dengan kematian, sehingga dikatakan bahwa selama manusia hidup, maka
ia menjadi manusia pribadi. Pengecualian diadakan oleh Pasal 2 KUHPerdata
yaitu:[15]
a. Anak
yang dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak menghendaki;
b. Apabila
anak menginggal pada saat dilahirkan atau sebelumnya maka dianggap tidak pernah
ada.
Adanya pasal 2
KUPerdata mengatur secara fisik terhadap anak dalam kandungan dianggap ada
apabila kepentingan anak itu menghendaki, umpamanya apabila ada seorang mewariskan
harta atau meninggalkan harta kepada si anak yang akan lahir itu, tetapi
apabila anak itu tidak mempunyai kepentingan dianggap secara ril tidak ada,
seperti contohnya seorang ibu hamil pergi menonton film di bioskop atau naik
bus tidaklah diminta untuk membayar 2 karcis, karena kepentingan anak tidak ada
terhadap tontonan atau bus itu.[16]
Setiap manusia
dengan memiliki hak dan kewajiban itu dapat bertindak sendiri untuk
kepentingan-kepentingan dan berkedudukan sebagai “orang asli” (natuurlijke
persoon). Dengan demikian, setiap pribadi sebagai pemilik hak dan kewajiban
dapat bertingkah laku seperti yang dikehendaki tetapi mempunyai akibat hukum.
Walaupun dapat berbuat sekehendak yang diinginkan dengan kewajiban menanggung
akibat hukumnya, tidak berarti setiap pribadi mampu atau cakap untuk
melaksanakan sendiri. Pribadi yang dinyatakan tidak mampu melaksanakan hak dan
kewajibannya sendiri karena kedudukan hukum belum mengizinkan, menurut Pasal
1330 KUHPerdata terdiri dari:[17]
a. Anak
dibawah umur
b. Orang
sakit ingatan dan keborosan;
c. Wanita
yang bersuami.
Terhadap
orang-orang ini, kecuali “wanita yang bersuami” yang telah dihapus oleh surat
Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963, merupakan perkecualian dari setiap
pribadi dalam menggunakan haknya untuk melakukan tindakan hukum sendiri. Kecakapan
melakukan tindakan hukum sendiri akan dapat berwujud kalau pribadi itu telah
“dewasa”. Dewasa menurut hukum Eropa ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata
(ayat 1). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu
telah kawin”.[18]
Berarti
usia dewasa seseorang kalau sudah genap 21 tahun. Menurut hukum perdata
nasional pengertian dewasa itu tidak ditentukan sendiri, melainkan dikaitkan
dengan tindakan hukum tertentu yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini dapat
dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Pasal 6 ayat(2)
UU No.1 Tahun1974 yang menyatakan bahwa “Untuk melangsungkan perkawinan seorang
yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya.
Disamping
manusia sebagai subjek hukum, yang dianggap sama dengna itu adalah “pribadi
hukum atau badan hukum”. Pribadi hukum merupakan pribadi ciptaan hukum. Pribadi
hukum ini ditimbulkan sebagai akibat:
a. Adanya
suatu kebutuhan untuk memenuhi kepentingan tertentu, atas dasar kegiatan yang
dilakukan bersama;
b. Adanya
tujuan ideal yang perlu dicapai tanpa selalu tergantung kepada pribadi secara
perorangan.
Definisi
badan hukum (rechtpersoon) menurut
Pipin Syarifin, adalah perkumpulan-perkumpulan yang dapat menanggung hak dan
kewajiban. Memiliki harta kekayaan sendiri dan dapat turut di dalam lalu lintas
hukum, dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan. Singkatnya, dapat
bertindak sebagai subjek hukum. Perbedaannya dengan orang (persoon), badan hukum tidak mempunyai kekuasaan material, karena
tidak dapat kawin, juga tidak bisa beranak. Badan hukum meliputi : perseroan
terbatas, koperasi, wakaf, negara, daerah tingkat I dan II, desa, subak, dan
sebagainya.[19]
Menurut
Salim HS, menjelaskan bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang
mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak
dan kewajiban.[20]
Subekti memberikan definisi badan hukum adalah suatu badan atau perkumpulan
yang dapat memilki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia
serta memiliki kekayaan sendrii daat digugat atau menggugat di depan hakim.[21]
Secara
prinsip, perbedaan antara manusia dengan badan hukum sebagai subjek hukum
yaitu: [22]
a. Jika
orang memiliki perasaan dan agama, maka badan hukum tidak;
b. Jika
orang memiliki domisili dan kebangsaan maka badan hukum juga memiliki hal yang
sama.
Badan
hukum dapat dibedakan menjadi:[23]
1. Badan
hukum dalam lingkungan hukum publik, yaitu badan yang pendiriannya dan tatanannya
ditentukan oleh hukum publik, misalnya negara, propinsi, kabupaten, desa,
subak;
2. Badan
hukum dalam lingkungan hukum privat yaitu badan-badan hukum yang pendiriannya
dan tatatannya ditentukan oleh hukum privat, misalnya koperasi, PT, Yayasan.
Dalam Tata Hukum
Indonesia, badan-badan hukum dikelompokan ke dalam tiga macam yaitu:[24]
1. Menurut
Hukum Eropa, antara lain; negara, PT, dan perhimpunan-perhimpunan berdasarkan
Stb.1870 No.64
2. Menurut
hukum Eropa yang tertulis, antara lain; perhimpunan-perhimpunan berdasarkan
Stlb. 1939 No.570 jo 1939 No.717, dan Stlb.1958 No.139;
3. Menurut
Hukum Adat, antara lain ; wakaf dan yayasan.
Di
dalam aktivitas bisnis bentuk badan usaha dapat ikut serta, namun peraturan
perundang-undangan yang berlaku telah secara tegas mengatur mengenai
jenis-jenis badan usaha yang berbadan hukum. Hal ini penting karena sebagian
badan usaha bukanlah badan hukum seperti Persekutuan Komanditer dan Firma bukan
termasuk badan usaha yang berbadan hukum, sedangkan badan usaha yang berbadan
hukum antara lain koperasi, perseroan terbatas dan yayasan. Pengklasifisian ini
amat diperlukan mengingat konsekuensi dari perbuatan hukum akan berbeda antara
badan usaha yang berbadan hukum dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum.
Ada
beberapa teori badan hukum, yaitu:
a. Teori
Anggapan (fiksi) dari Von Savigny
Bahwa
pada dasarnya hanya manusia saja adalah orang. Badan hukum hanyalah anggapan
(fiksi) saja, tidak berwujud dan berbuat oleh negara semata-mata, dipersamakan
dengan orang. Karena itu badan hukum bergantung kepada pengakuan negara.
b. Teori
Kekayaan Tujuan dari Brinz dan Siccana
Bahwa
badan hukum terdiri dari kekayaan yang dipisahkan yang diberi tujuan-tujuan
tertentu. Hanya anggapan orang saja yang menjadikan sebagai subjek hukum.
Menurut teori ini, ada hak-hak atas seseuatu kekayaan tanpa subjeknya. Kekayaan
dianggap milik suatu badan hukum sebenarnya memiliki suatu tujuan, karenanya
teori ini disebutkan : zweck-veermogent atau kekayaan tujuan.
c. Teori
Organ dari Van Giorke
Bahwa
badan hukum itu seperti manusia, suatu penjelasan yang sungguh-sungguh ada
dalam pergaulan hukum. Badan hukum membentuk kehendak sendiri, dengan
perantaraan alat-alat organ yang ada padanya misalny pengurus. Oleh karena itu,
fungsi badan hukum disamakan dengan fungsi manusia.
d. Teori
Kekayaan Bersama dari Palnial dan Molengraaf
Bahwa
pada badan hukum terdapat suatu kekayaan dari beberapa orang secara
bersama-sama (propiate collective),
maka hak dan kewajiban hukum suatu badan hukum adalah hak dan kewajiban
anggotanya. Dengan demikian, badan hukum hanyalah konstruksi yuridis.
e. Teori
dari Duguit
Bahwa
badan hukum tidak ada. Hal ini sesuai dengan ajaran yang dikembangkannya yaitu
fungsi sosial, dan tidak mengakui adanya hak subjeknya hukum. Hanyalah manusia
yang menjadi subjek hukum, dan hanya ada fungsi sosial yang harus dilaksanakan.
f. Teori
Enggens
Bahwa
badan hukum adalah suatu hulp figuur, karena adanya diperlukan dan
diperbolehkan oleh hukum untuk menjalankan hak-hak dengan sewajarnya.[25]
Perusahaan
sebagai entitas hukum mandiri atau separate
legal entity merupakan konsepsi fundamental dalam hukum perusahaan. Demikian
juga dengan perusahaan yang dilekati unsur sebagai entitas hukum mandiri.
Karakter perusahaan sebagai entitas hukum mandiri yang tidak diatur secara
eksplisit dalam UUPT 2007 tetapi dapat ditemukan pada Pasal 3 ayat (1) UUPT
2007 menegaskan bahwa:
“pemegang
saham perseoran tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang
dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan
melebihi saham yang dimiliki.”
Meskipun prinsip
entitas hukum mandiri ini menjadi prinsip hukum yang bersifat mendasar namun
hakikat dari prinsip itu sendiri tidak banyak diuraikan secara mendalam. Uraian
tentang prinsip entitas hukum mandiri hanya berkisar mengenai karakteristik
hubungan antara perusahaan dengan pemegang sahamnya yang terpisah satu sama
lainnya. Pemisahan tersebut baik mengenai hak, kewajiban, serta tanggung jawab
perusahaan terpisah dari hak, kewajiban dan tanggung jawab pemegang saham.
Konsep ini sama
dengan tanggung jawab sekutu komanditer pada persekutuan komanditer (CV).
Persekutuan Komanditer bukanlah merupakan badan usaha yang berbadan hukum,
namun sekutu komanditer pada CV sebagai sekutu yang hanya menyerahkan modal,
tanpa ikut bekerja dan menjalankan perusahaan, tidak dapat ditunut tanggung
jawab melebihi besar modal yang dimasukannya.
Sehingga memang
konsep antara entitas hukum mandiri dengan konsep badan hukum bukanlah hal yang
sama. Pada satu sisi, suatu badan usaha yang mandiri yang ditandai dengan
adanya pemisahan hak dan kewajiban serta tanggung jawab badan usaha terpisah
dengan sekutunya atau pemegang sahamnya tidaklah selalu berbentuk badan hukum.
CV salah satu contohnya. Namun sebagai badan usaha yang berbadan hukum, maka
pasti entitas mandiri melekat pada dirinya.
Murray A.
Pickering memberikan pemahaman yang tegas mengenai kedudukan perusahaan sebagai
separate legal entity. Menurut
Pickering, kapasitas hukum yang melekat pada perusahaan (legal capacity) menjadi dasar yang dapat menjelaskan prinsip
entitas hukum mandiri. Proposisi mengenai entitas hukum mandiri dan kapasitas
yang melekat pada entitas tersebut didahului dengan suatu proses pengalihan benda
dari pemegang saham kepada perusahaan. Konsekuensi atas pengalihan tersebut
adalah pemegang saham memperoleh hak-hak untuk berpartisipasi dalam memutuskan
materi-materi fundamental dalam perusahaan seperti voting, memilih dan
memberhentikan direksi sebagai pengelola perusahaan, distribusi atas keuntungan
dan aset pada saat perusahaan pailit. Pengalihan tersebut juga berdampak pada
kepentingan dari pemegang saham kepada perusahaan. untuk menjaga kepentingan
tersebut, maka hukum mengatur tentang hak-hak pemegang saham pada perusahaan.[26]
Terdapat tiga
prinsip dasar berkaitan dengan kapasitas hukum perusahaan. Prinsip pertama menegaskan bahwa kapasitas hukum
yang melekat pada perusahaan sebagai entitas hukum mandiri berdasarkan pada
hukum. Hukum menentukan ruang lingkup dan membatasi kapasitas hukum yang
dimiliki oleh perusahaan. Hal ini berbeda dengan manusia natural, dimana kapasitas hukumnya tidak perlu ditentukan oleh
hukum melainkan secara natural telah eksis dan diterima dalam kebiasaan.
Pickering membagi
sumber kapasitas hukum dalam anggaran dasar perusahaan yang menentukan tujuan
dan ruang lingkup kegiatan perusahaan. Anggaran dasar sebagai dasar hukum atas
kapasitas perusahaan dikemukakan oleh Hakim Shaw dalam perkara Daimler Co. Ltd.v. Contenental Tyre & Rubber Co.1916. Menurut Hakim Shaw “It is a creation of law convenient for the
purpose of management of the holding of property, of the association of
individuals in business transaction...” dari pernyataan Hakim Shaw tersebut
dapat ditentukan bahwa kapasitas perusahaan berkaitan dengan ruang lingkup
kegiatan perusahaan kapasitas perusahaan
sebagai pemiliki benda, dan melakukan hubungan hukum dengan pihak lain.[27]
Prinsip kedua berkaitan dengan hakikat kapasitas
yang melekat pada perusahaan. Kapasitas perusahaan untuk melakukan perbuatan
hukum yang terpisah dari para pemegang saham karena pengalihan harta dari
pemegang saham kepada perusahaan menciptakan konsekuensi terjadinya reformulasi
terhadap kekuasaan atas harta yang telah dialihkan. Formulasi tersebut adalah
pemegang saham tidak dapat mengklaim aset secara parsial terhadap harta yang
telah dialihkannya. Namun, pemegang saham memperoleh hak-hak khusus yang
terkait dengan pengawasan dan pembuatan kebijakan fundamental perusahaan.
Reformulasi juga menghasilkan suatu
bentuk kepemilikan harta secara integral pada satu pihak, yaitu perusahaan.
dengan adanya proses formulasi baru tersebut, maka terbentuk suatu tujuan utama
dari perusahaan yang berbeda dengan tujuan dari masing-masing pemegang saham.
Dari pandangan tersebut, Pickering mengkristalkan pemikirannya bahwa kapasitas
yang melekat pada perusahaan sebagai bentuk integral atas kepentingan dari
pemegang saham yang menghasilkan satu tujuan, yaitu tujuan perusahaan itu
sendiri.[28]
Prinsip ketiga adalah perusahaan mempunyai
kapasitas untuk membuat hubungan hukum dengan pihak lain secara langsung
seperti hubungan hukum antara perusahaan dengan steakholder. Hubungan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga (steakholder) dengan perusahaan adalah
hubungan antara pihak ketiga dengan perusahaan dan bukan dengan pemegang saham
psaruahaan. Dengan adanya kapasitas melakukan hubungan hukum tersebut,
perusahaan menjadi entitas mandiri dan terpisah dari pemegang saham, baik hak,
kewajiban maupun tanggung jawab.
Prinsip separate legal entity tersebut mempunyai
konsekuensi dalam hubungan antara pemegang saham dengan perusahaan. Pada badan
hukum yang berkarakter sebagai separate
legal entity melekat dua prinsip hukum lainnya, yaitu prinsip separate patrimony dan prinsip limited liability. Kedua prinsip
tersebut mempertajam eksistensi suatu badan hukum sebagai entitas mandiri
terpisah dari pemegang saham.[29]
Prinsip separate patrimony berarti perusahaan
dapat mempunyai aset sendiri yang terpisah dari investor. Perusahaan berhak
untuk memakai ataupun menjual/mengalihkan serta menjadi jaminan atas utang
perusahaan itu sendiri. Prinsip separate
patrimony tidak dapat berdiri
sendiri tetapi perlu didukung dengan dua prinsip lainnya agar dapat
diberlakukan. Kedua prinsip tersebut adalah prinsip priority rule dan prinsip liquidation
protection rule. [30]
Prinsip priority rule ditegaskan oleh Hansmann
dan Kraakman sebagai “...grants to
creditors of the firm, as security for the firm’s debt a claimhat on the firm’s assets that is prior to the
claims of the personal creditors of the firm’s owner. Pernyataan tersebut
diartikan bahwa kreditor perusahaan mendapat prioritas dalam pemenuhan
piutangnya sebelum kreditor pribadi pemegang saham. Adapun konsekuensi dari prinsip ini, aset yang
dimiliki oleh perusahaan secara langsung menjadi jaminan atas kewajiban yang
timbul dari hubungan kontraktual antara perusahaan dengan para kreditor
perusahaan itu sendiri.[31]
Prinsip yang
kedua, liquidation protection rule
sebagai prinsip yang mengatur bahwa pemegang saham tidak dapat menarik
kepemilikan sahamnya dari perusahaan, menetapkan likuidasi secara parsial
maupun menyeluruh terhadap perusahaan, serta para kreditor pribadi pemegang
saham juga tidak dapat menyita aset perusahaan yang diasumsikan dengan saham
pemegang saham.
Liquidation
protection rule ini bertujuan melindungi perusahaan dari
tindakan pemegang saham maupun kreditor pribadi pemegang saham yang akan
menyita aset perusahaan dan perusahaan tetap menjalankan aktivitas yang telah
direncanakan dengan mengacu pada perencanaan (going concern) yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri.
Priority
rule lebih efektif bila diikuti dengan pemberlakuan
prinsip pertanggung jawaban terbatas atau limited
liability yang juga menjadi karakteristik utama perusahaan sebagai entitas
hukum mandiri. Makna dari pertanggung jawaban terbatas atau limited liability bukan pembatasan
pertanggung jawaban perusahaan terhadap kewajiban-kewajiban yang dimilikinya. Perusahaan masih bertanggung jawab atas
utang-utangnya terhadap kreditor. Perusahaan juga bertanggung jawab pada
pemegang saham terhadap deviden yang ditetapkan oleh direksi. Prinsip limited liability diaplikasikan pada
pertanggung jawaban pemegang saham yang hanya terbatas atas harta yang telah
disetor dan/atau yang akan disetor kepada perusahaan. Pemegang saham tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas utang dan tindakan melanggar hukum dari
perusahaan.
Dari perspektif Law and Economics, Frank Easterbrook
mengemukakan beberapa prinsip pertanggung jawaban terbatas. Pertama, pemberlakuan prinsip limited liability mereduksi pengawasan
pemegang saham terhadap direksi sebagai pengelola. Frank Easterbrook berpedoman
pada konsepsi “The more risk they bear,
The more they will monitor”, semakin tinggi risiko yang dihadapi ole
pemegang saham, semakin besar pula alokasi waktu serta dana untuk mengadakan
pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan agar tidak menimbulkan kerugian bagi
dirinya sebagai investor. Hal ini merupakan konsekuensi logis dimana jika tanpa
adanya prinsip limited liability,
pertanggung jawaban akan semakin besar karena sampai pada harta pribadi yang
berimplikasi pada pengawasan lebih intensif terhadap pengelolaan.[32]
Kedua
prinsip limited liability juga dapat
mereduksi kegiatan pengaasan dari pemegang saham (pertama) kepada pemegang
saham lainnya (kedua) agar tidak memindahkan aset atau harta pribadi yang
dimiliki pemegang saham (kedua) tersebut, karena pemindahan harta pribadi akan
berdampak pada besarnya tanggung jawab dari pemegang saham (pertama).
Ketiga,
dengan adanya kebebasan mengalihkan saham, maka limited liability mendorong pengelola perusahaan bersikap efisien,
meski pemegang saham tidak memahami pengelolaan perusahaan namun mempunyai hak
kebebasan untuk mengalihkan saham, maka cara yang dapat dilakukan untuk
menurunkan risiko atas investasinya adalah mengalihkan sahamnya dari satu
perusahaan ke perusahaan lain.
Keempat,
limited liability dapat mengubah
harga saham di pasar yang merefleksikan nilai perusahaan. Jika berlaku
pertanggung jawaban tak terbatas maka investor akan mencari informasi yang
lebih dan melakukan analisis terhadap prospek perusahaan lebih mendalam untuk
menetapkan harga saham yang sebenarnya.
Kelima,
limited liability menciptkan
diversifikasi yang efisien bagi investor untuk menginventasikan dananya pada
perusahaan yang berbeda dengan tujuan mengurangi risiko apabila salah satu
perusahaan dimana dirinya berinvestasi mengalami kerugian.
Keenam,
limited liability memfasilitasi
kebutuhan bisnis yang optimal dan menciptakan kondisi pasar bursa yang efisien
karena harga dari saham tidak tergantung pada evaluasi atas kesejahteraan
pribadi pemegang saham. [33]
Perusahaan
sebagai badan hukum berkaitan dengan kedudukannya didepan hukum yang
dipersamakan dengan manusia. Badan hukum
mempunyai hak yang sama dengan “orang-perorangan”, namun perbedaan antara
“orang” (natuurlijk persoon) dan “badan hukum” (rechts persoon)
terletak pada beberapa hak “perorangan” yang tidak dimiliki “badan hukum”
seperti hak untuk mewaris, menikah, mempunyai dan mengakui anak, membuat wasiat
dan lain-lain.
Para sarjana
pada umumnya mendefinisikan badan hukum sebagai suatu bentukan hukum yang
mempunyai hak dan kewajiban (zelfstandige drager van rechten en verplichtingen).
Dikatakan bentukan hukum karena badan hukum memang merupakan ciptaan atau
fiksi hukum yang sengaja diciptakan untuk memenuhi kebutuhan tertentu.
Badan hukum
sengaja diciptakan artinya ialah suatu bentukan hukum apabila diciptakan oleh undang-undang.
Dengan demikian penunjukkan suatu konstruksi sebagai badan hukum ditentukan
oleh undang-undang yang mengaturnya, apakah ia mempunyai kualifikasi
demikian. Sebagai konsekuensi yuridisnya, maka badan hukum memiliki
pertanggungjawaban sendiri (eigen aansprakelijkheid), dapat melakukan
perbuatan hukum, menuntut dan dituntut di muka pengadilan dan memiliki harta
kekayaan sendiri terpisah dari hak dan kewajiban para pengurus, anggota atau
pendirinya. Oleh karena mempunyai hak dan kewajiban sendiri maka badan hukum
dikatakan sebagai subyek hukum.[34]
Sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, badan hukum merupakan bentukan hukum
yang anggaran dasarnya memerlukan pengesahan dari instansi pemerintah yang
berwenang (dalam hal ini Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) atau dibentuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri.
Mengenai badan
usaha sebagai suatu badan hukum, telah diuraikan oleh teori badan hukum sebagai
mana diuaraikan sebelumnya. Diantara teori-teori tersebut diatas, teori entitas
natural dan teori fiksi dapat dipertentangkan antara satu dengan lainnya atau
dicari perbedaannya.
Menurut Millon,
teori fiksi dipergunakan sebagai landasan pembentukan perusahaan oleh Negara,
dimana Negara memberikan kekuasaan tertentu terhadap perusahaan. Sedangkan
perusahaan sebagai entitas natural diartikan bahwa munculnya perusahaan atas
dasar inisiatif dari pemegang saham serta kekuasaan perusahaan adalah dari
pemegang saham itu sendiri. Keduanya menjadi landasan teoritis dari norma-norma
hukum tentang pembentukan perusahaan.
Pemikiran Millon
yang menempatkan teori fiksi dan teori entitas
natural sebagai landasan tentang pembentukan paerusahaan juga menjadi dasar
normatif bagi pembentukan perusahaan sebagaimana diatur di dalam UU Perseroan
Terbatas 2007. Hakikat perusahaan dari teori entitas natural ini mempengaruhi hakikat perusahaan
yang dianut oleh hukum perusahaan Indonesia. Hal ini tercermin dari prosedur
pendirian perusahaan. Mulai dari
berlakunya KUHD, UU PT tahun 1985,hingga UU PT 2007, perusahaan didirikan
berdasarkan perjanjian oleh dua orang atau lebih. Beberapa ahli hukum
menyatakan bahwa perusahaan merupakan asosiasi modal dari beberapa persero yang
memberikan harta kekayaannya kepada perusahaan. Bahkan asosiasi modal ini telah
menjadi unsur utama dari perusahaan.[35]
KUHD secara
implisit menentapkan perusahaan sebagai asosiasi modal, sebagaimana diatur
dalam Pasal 36 sebagai berikut:
“perseroan
terbatas tidak mempunyai firma, dan tidak memakai nama salah seorang atau lebih
dari para persero, melainkan mendapatkan namanya hanya dari tujuan perusahaan
saja”
UUPT 1995
sebagai pengganti KUHD juga menganut pemikiran yang sama. Hal ini tercermin
pada Pasal 7 ayat (1) UUPT 1995, yang menegaskan bahwa “Perseroan didirikan
oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa
Indonesia”. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa perusahaan merupakan suatu
entitas yang didirikan melalui perjanjian dari pendiri melalui suatu proses
pendaftaran, dalam hal ini melalui notaris sebagai pejabat negara.
UUPT 2007 juga
melanggengkan eksistensi teori entitas natural dengan diaturnya pembentukan
perusahaan melalui suatu persetujuan. Pasal 3 ayat (1) UUPT 2007 tidak mengubah
sedikitpun tentang hakikat perusahaan, sebagaimana ditetapkan pada Pasal 3 ayat
(1) UUPT 1995. Pasal 7 ayat (1) UUPT 2007 juga menegaskan bahwa “Perseroan
didirikan oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam
Bahasa Indonesia”
Hakikat
perusahaan sebagai badan hukum yang ditinjau dari teori fiksi juga dianut di
dalam UUPT 2007. Pada pasal 7 ayat (7) UU PT 2007 ditegaskan bahwa:
“ketentuan
yang mewajibkan perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan pada ayat (5) serta ayat (6) tidak berlaku
bagi:
a. Perseroan
yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara; atau
b. Perseroan
yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan
dan penyelesaian, dan lembaga lain, sebagaimana diatur dalam undang-undang
tentang Pasar Modal.
Berdasarkan
pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a diatas maka UUPT 2007 membuka ruang
bagi negara untuk membentuk perusahaan tanpa harus dibuat dengan kesepakatan
oleh pihak lain dalam suatu perjanjian. Perusahaan negara dalam bentuk
perusahaan biasanya disebut dengan Badang Usaha Milik Negara (BUMN).Meski
sebenarnya konsep ini bertentangan dengan teori entitas natural yang dianut
oleh UU PT 2007, namun keberadaan BUMN memang dibutuhkan demi kesejahteraan
rakyat.
C.
PENUTUP
Konsep
perusahaan sebagai suatu entitas mandiri, berkaitan erat dengan pemisahan hak
dan kewajiban antara para pemegang saham dengan perusahaanya. Sedangkan konsep
perusahaan sebagai suatu badan hukum, berkaitan dengan teori badan hukum itu
sendiri. Keberadaan suatu perusahaan dapat terjadi memang karena adanya
keinginan dari para pihak untuk membentuknya, sebagaimana dikemukakan oleh
teori entitas natural. Atau keberadaannya memang secara fiksi lahir atau
diciptakan tanpa ada perjanjian para pihak, sebagaimana dikemukan oleh teori
fiksi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana
Prenada Media, Jakarta, 2006
Abdul
R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan;
Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2011
Arus Akbar
Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum
dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010
CST.Kansil
dan Christine S.T.Kansil, Modul Hukum
Perdata Termasuk Asas-asas Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita, Jakarta,
2004
Djaja . S.
Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif
BW, Nuansa Aulia, Bandugn, 2012
Elsi
Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum
dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta, 2005
Farida Hasyim, Hukum Dagang, Sinar Grafika, Jakarta,
2009
Gunawan
Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis ;
Persekutuan Perdata, Persekutuan firma, dan Persekutuan Komanditer, Prenada
Media, Jakarta, 2004
H.M.N.Purwosutjipto,
Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia;
Bentuk-bentuk Perusahaan, Djambatan, Jakarta, 2005
Munir Fuady, Perseroan
Terbatas Paradigma Baru, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Pipin Syarifin,
PIH ; Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka
Setia, Bandung, 1999
R.Abdoel
Djamali, Pengantar Hukum Indonesia,
Rajawali Press, Jakarta, 2013
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),
Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Subekti dalam
Chidir Ali, Badan Hukum, PT.Alumni,
Bandung, 1999
Wahyu
Kurniawan, Corporate Governance Dalam
Aspek Hukum Perusahaan, Grafiti, Jakarta, 2012
[2]
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum,
Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hal.3
[3]
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam
Bisnis ; Persekutuan Perdata, Persekutuan firma, dan Persekutuan Komanditer,
Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.203
[4]
Farida Hasyim, Hukum Dagang, Sinar
Grafika, Jakarta, 2009, hal.144
[5]
Ibid, hal.147
[6]
Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk
Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2011,
hal.105
[7]
H.M.N.Purwosutjipto, Pengertian Pokok
Hukum Dagang Indonesia; Bentuk-bentuk Perusahaan, Djambatan, Jakarta, 2005,
hal.88
[8]
Abdul R.Saliman, loc.cit.
[9]
Wahyu Kurniawan, Corporate Governance
Dalam Aspek Hukum Perusahaan, Grafiti, Jakarta, 2012, hal.3
[10]
Ibid, hal.4
[11]
ibid
[12]
Djaja . S. Meliala, Hukum Perdata Dalam
Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandugn, 2012, hal.18
[13]
ibid
[14]
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum
dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta, 2005, hal.7
[15]
CST.Kansil dan Christine S.T.Kansil, Modul
Hukum Perdata Termasuk Asas-asas Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita,
Jakarta, 2004, hal.85
[16]
Ibid
[17]
R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum
Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2013, hal.152
[18]
Ibid
[19]
Pipin Syarifin, PIH ; Pengantar Ilmu
Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal.62
[20]
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.26
[21]
Subekti dalam Chidir Ali, Badan Hukum,
PT.Alumni, Bandung, 1999, hal.18
[22]
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek
Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, 5-6
[23]
Pipin Syarifin,op.cit hal.63
[24]
Ibid
[25]
Ibid, hal.64
[26]
Wahyu Kurniawan, op.cit, hal. 12
[27]
Ibid
[28]
Ibid hal.13
[29]
Hansmann, Henry dalam Ibid
[30]
Ibid
[31]
Ibid
[32]
Frank Easterbrook dalam
Wahyu Kurniawan
[33]
ibid
[34]
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, op.cit, hal. 7
[35]
Wahyu Kurniawan, op.cit, hal. 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar