Minggu, 21 Agustus 2016

PERBEDAAN KONSEP PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADANHUKUM DAN SEBAGAI ENTITAS HUKUM MANDIRI



PERBEDAAN KONSEP PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADANHUKUM DAN SEBAGAI ENTITAS HUKUM MANDIRI
Oleh :
ROSIDA DIANI

ABSTRAK
Prinsip dasar suatu perusahaan sebagai badan hukum adalah adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Sebagaimana dalam hukum perdata, badan hukum merupakan subjek hukum disamping manusia. Subjek hukum ialah pendukung (pembawa) hak dan kewajiban. Ada dua macam subjek hukum, yaitu manusia (natuurlijk persoon) dan Badan Hukum (Rechtpersoon).  Konsep perusahaan sebagai badan hukum dan sebagai sebagai entitas hukum mandiri adalah dua hal yang berbeda. Konsep perusahaan sebagai suatu entitas mandiri, berkaitan erat dengan pemisahan hak dan kewajiban antara para pemegang saham dengan perusahaanya. Sedangkan konsep perusahaan sebagai suatu badan hukum, berkaitan dengan teori badan hukum itu sendiri. Keberadaan suatu perusahaan dapat terjadi memang karena adanya keinginan dari para pihak untuk membentuknya, sebagaimana dikemukakan oleh teori entitas natural. Atau keberadaannya memang secara fiksi lahir atau diciptakan tanpa ada perjanjian para pihak, sebagaimana dikemukan oleh teori fiksi.
Kata Kunci : Perseroan Terbatas, Badan Hukum, Entitas, Mandiri



A.      PENDAHULUAN
Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT) merupakan salah satu jenis badan usaha yang tujuannya adalah mencari keuntungan atau laba. Konsep pembentukan suatu badan usaha seperti PT ini, secara historis telah ada dari masa Romawi Kuno. Pada masa itu dikenal dengan istilah “collegium” yang disebut juga dengan istilah “corpus” (berasal dari bahasa Inggris “corporation”) yang dapat diterjemahkan sebagai perseroan terbatas.[1]
Di Indonesia sendiri, keberadaan PT telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sejak zaman penjajahan Belanda yaitu diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUHD yang berlaku di Indonesia sejak tahu 1848. Selain di dalam KUHD, pengaturan PT secara inplisit juga terdapat di dalam Pasal 1618 sampai 1652 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dengan title Persekutuan.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pengaturan mengenai PT diatur di dalam suatu undang-undang tersendiri yaitu UU No. 1 tahun1995 tentang Perseroan Terbatas, yang berlaku mulai tanggal 7 Maret 1996. Dengan berlakunya UU No.1 Tahun 1995 ini, maka aturan-aturan di dalam KUHD mengenai PT tidak berlaku lagi. Pengaturan mengenai PT yang berlaku adalah semua aturan yang terdapat di dalam UU No.1 Tahun1995 dan aturan-aturan umum di dalam KUHPerdata.
Pada Tahun 2007, undang-undang PT ini kemudian diperbaiki lagi, karena dirasakan telah tertinggal dari perkembangan masyarakat. Hal ini agar fungsi hukum dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. Fungsi hukum itu sendiri antara lain, yaitu pertama, sebagai standard of conduct, kedua; sebagai as a tool of social engeneering, ketiga; sebagai as a tool of social control, dan keempat; sebagai as a facility on of human interaction.[2] Maka disahkanlah undang-undang PT yang terbaru yaitu UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Di dalam masyarakat, selain PT, ada beberapa bentuk badan usaha lainnya, antara lain Persekutuan  Firma, Persekutuan Komanditer, Koperasi. Persekutuan Firma adalah tiap-tiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dibawah satu nama bersama.(Pasal 16 KUHD). Sehingga dari ketentuan Pasal 16 KUHD tersebut, diketahui ciri dari persekutuan firma adalah persekutuan firma menjalankan suatu perusahaan dan persekutuan firma mempergunakan satu nama bersama.[3]
Pasal 19 KUHD mengatakan bahwa persekutuan komanditer adalah persekutuan menjalankan perusahaan yang dibentuk antara satu orang atau beberapa orang sekutu yang secara langsung bertanggung jawab untuk seluruhnya pada satu pihak, dan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang pada pihak lain. Persekutuan Komanditer (Commanditer Vennootschap) berada diantara Firma dan Perseroan Terbatas, dengan demikian CV adalah persekutuan dengan setoran uang, barang atau tenaga sebagai pemasukan para sekutu, dibentuk oleh satu orang atau lebih anggota aktif yang bertanggung jawab secara renteng, di satu pihak dengan satu atau lebih orang lain sebagai pelepas uang. Persekutuan komanditer mempunyai dua macam sekutu, yaitu sekutu komanditer ; yaitu sekutu aktif yang menjadi pengurus persekutuan dan sekutu komplementer; yaitu sekutu pasif yang tidak ikut mengurus persekutuan.[4]
Perseroan Terbatas merupakan jenis badan usaha yang paling banyak diminati oleh masyarakat. Hal ini karena PT memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan firma dan komanditer. Kelebihan dari PT ini antara lain PT menanggung persetujuan terhadap pihak ketiga dengan siapa ia melakukan hubungan perdagangan. Tidak seorangpun dari pemegang saham yang bertanggung jawab terhadap para kreditur. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas saham yang diserahkan ke PT. Badan hukum PT berbeda dengan Maatschap, perseroan firma dan perseroan komanditer. PT adalah suatu badan hukum berarti dapat melakukan perbuatan-perbutan hukum.[5]
Perseroan Terbatas atau naamloze vennootschap (dalam bahasa Belanda), company limited by shares (dalam bahasa Inggris),[6] menurut Pasal 1 ayat 1 UU No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.
Pengertian di dalam UU PT 1995 ini  mengalami perubahan, pada UU PT 2007. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT 2007, disebutkan bahwa Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
Menurut Purwosutjipto, perseroan terbatas adalah perserkutuan yang berbentuk badan hukum. Badan hukum itu tidak disebut “persekutuan” tetapi “perseroan”, sebab modal badan hukum itu terdiri dari sero-sero atau saham-saham. Istilah “terbatas” tertuju pada tanggung jawab persero atau pemegang saham, yang luasnya terbatas pada nilai nominal semua saham yang dimilikinya.[7]
Dari pengertian PT di atas, maka ada dua karakteristik PT yang utama yaitu:[8]
1.      PT merupakan badan hukum
2.      Tanggung jawab pemegang saham terbatas, maksudnya terbatas pada nilai saham yang diambilnya.
Konsep perseroan sebagai badan hukum, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, telah diatur di dalam Pasal 1 angka 1 UU No.40 Tahun 2007. Sementara konsep perseroan sebagai entitas hukum mandiri, diatur di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No.40 Tahun 2007.
Kedua prinsip tersebut, seringkali disama artikan antara satu dengan lainnya meskipun pada kenyataannya mempunyai ruang lingkup yang berbeda. Menurut Arthur W.Marchen Jr, menjelaskan bahwa perbedaan antara perusahaan sebagai badan hukum dan sebagai subjek hukum mandiri. Perusahaan sebagai badan hukum menitikberatkan pada melekatnya hak-kewajiban-tanggung jawab dalam diri perusahaan serta berkaitan dengan sejarah berdirinya suatu badan hukum yang dilatarbelakangi oleh dua teori besar,yaitu teori fiksi dan teori entitas natural.[9]
Hal ini berbeda dengan prinsip perusahaan sebagai entitas hukum mandiri. Prinsip hukum ini lebih mengarah pada pemisahan harta dan tanggung jawab antara perusahaan dengan pendiri atau pemegang saham. Kegunaan prinsip hukum ini adalah menentukan secara tegas bagaimana kedudukan harta kekayaan dan tanggung jawab dari perusahaan kepada pemegang saham.[10]
Di dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai perbedaan prinsip tersebut sehingga tergambar bagaiman kedua prinsip yang sering disama artikan itu sebenarnya sangatlah berbeda.
B.       PEMBAHASAN
Prinsip dasar suatu perusahaan sebagai badan hukum adalah adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya.[11] Sebagaimana dalam hukum perdata, badan hukum merupakan subjek hukum disamping manusia. Subjek hukum ialah pendukung (pembawa) hak dan kewajiban. Ada dua macam subjek hukum, yaitu manusia (natuurlijk persoon) dan Badan Hukum (Rechtpersoon).[12] Manusia sebagai subjek hukum karena kodratnya, sedangkan badan hukum diciptakan oleh manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri.[13]
Manusia sebagai subjek hukum mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya yang dijamin oleh hukum yang berlaku. Berlakunya manusia sebagai pembawa hak dimulai saat dilahirkan dan berakhir pada saat meninggal dunia, sehingga dikatakan bahwa manusia hidup, ia menjadi manusia pribadi, kecuali yang diadakan oleh Pasal 2 KUHPerdata.[14]
 Manusia pribadi atau natuurlijke persoon sebagai subjek hukum mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dijamin oleh hukum yang berlaku. Manusia sebagai subjek hukum itu diatur secara luas pada Buku I tentang orang (van personen) KUHPerdata. Menurut Pasal 1 KUHPerdata mengatakan bahwa menikmati hak-hak kewarganegaraan tidak bergantung pada hak-hak kenegaraan. Pada pasal 2 KUHPerdata menegaskan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya, dan apabila si anak itu mati sewaktu dilahirkan, dianggap ia tidak pernah ada.
Secara ril menurut KUHPerdata manusia sebagai subjek hukum berlaku sejak ia lahir dan berakhir dengan kematian, sehingga dikatakan bahwa selama manusia hidup, maka ia menjadi manusia pribadi. Pengecualian diadakan oleh Pasal 2 KUHPerdata yaitu:[15]
a.       Anak yang dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak menghendaki;
b.      Apabila anak menginggal pada saat dilahirkan atau sebelumnya maka dianggap tidak pernah ada.
Adanya pasal 2 KUPerdata mengatur secara fisik terhadap anak dalam kandungan dianggap ada apabila kepentingan anak itu menghendaki, umpamanya apabila ada seorang mewariskan harta atau meninggalkan harta kepada si anak yang akan lahir itu, tetapi apabila anak itu tidak mempunyai kepentingan dianggap secara ril tidak ada, seperti contohnya seorang ibu hamil pergi menonton film di bioskop atau naik bus tidaklah diminta untuk membayar 2 karcis, karena kepentingan anak tidak ada terhadap tontonan atau bus itu.[16]
Setiap manusia dengan memiliki hak dan kewajiban itu dapat bertindak sendiri untuk kepentingan-kepentingan dan berkedudukan sebagai “orang asli” (natuurlijke persoon). Dengan demikian, setiap pribadi sebagai pemilik hak dan kewajiban dapat bertingkah laku seperti yang dikehendaki tetapi mempunyai akibat hukum. Walaupun dapat berbuat sekehendak yang diinginkan dengan kewajiban menanggung akibat hukumnya, tidak berarti setiap pribadi mampu atau cakap untuk melaksanakan sendiri. Pribadi yang dinyatakan tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya sendiri karena kedudukan hukum belum mengizinkan, menurut Pasal 1330 KUHPerdata terdiri dari:[17]
a.       Anak dibawah umur
b.      Orang sakit ingatan dan keborosan;
c.       Wanita yang bersuami.
Terhadap orang-orang ini, kecuali “wanita yang bersuami” yang telah dihapus oleh surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963, merupakan perkecualian dari setiap pribadi dalam menggunakan haknya untuk melakukan tindakan hukum sendiri. Kecakapan melakukan tindakan hukum sendiri akan dapat berwujud kalau pribadi itu telah “dewasa”. Dewasa menurut hukum Eropa ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata (ayat 1). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”.[18]
Berarti usia dewasa seseorang kalau sudah genap 21 tahun. Menurut hukum perdata nasional pengertian dewasa itu tidak ditentukan sendiri, melainkan dikaitkan dengan tindakan hukum tertentu yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Pasal 6 ayat(2) UU No.1 Tahun1974 yang menyatakan bahwa “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya.
Disamping manusia sebagai subjek hukum, yang dianggap sama dengna itu adalah “pribadi hukum atau badan hukum”. Pribadi hukum merupakan pribadi ciptaan hukum. Pribadi hukum ini ditimbulkan sebagai akibat:
a.       Adanya suatu kebutuhan untuk memenuhi kepentingan tertentu, atas dasar kegiatan yang dilakukan bersama;
b.      Adanya tujuan ideal yang perlu dicapai tanpa selalu tergantung kepada pribadi secara perorangan.
Definisi badan hukum (rechtpersoon) menurut Pipin Syarifin, adalah perkumpulan-perkumpulan yang dapat menanggung hak dan kewajiban. Memiliki harta kekayaan sendiri dan dapat turut di dalam lalu lintas hukum, dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan. Singkatnya, dapat bertindak sebagai subjek hukum. Perbedaannya dengan orang (persoon), badan hukum tidak mempunyai kekuasaan material, karena tidak dapat kawin, juga tidak bisa beranak. Badan hukum meliputi : perseroan terbatas, koperasi, wakaf, negara, daerah tingkat I dan II, desa, subak, dan sebagainya.[19]
Menurut Salim HS, menjelaskan bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.[20] Subekti memberikan definisi badan hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memilki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia serta memiliki kekayaan sendrii daat digugat atau menggugat di depan hakim.[21]
Secara prinsip, perbedaan antara manusia dengan badan hukum sebagai subjek hukum yaitu: [22]
a.       Jika orang memiliki perasaan dan agama, maka badan hukum tidak;
b.      Jika orang memiliki domisili dan kebangsaan maka badan hukum juga memiliki hal yang sama.
Badan hukum dapat dibedakan menjadi:[23]
1.      Badan hukum dalam lingkungan hukum publik, yaitu badan yang pendiriannya dan tatanannya ditentukan oleh hukum publik, misalnya negara, propinsi, kabupaten, desa, subak;
2.      Badan hukum dalam lingkungan hukum privat yaitu badan-badan hukum yang pendiriannya dan tatatannya ditentukan oleh hukum privat, misalnya koperasi, PT, Yayasan.
Dalam Tata Hukum Indonesia, badan-badan hukum dikelompokan ke dalam tiga macam yaitu:[24]
1.      Menurut Hukum Eropa, antara lain; negara, PT, dan perhimpunan-perhimpunan berdasarkan Stb.1870 No.64
2.      Menurut hukum Eropa yang tertulis, antara lain; perhimpunan-perhimpunan berdasarkan Stlb. 1939 No.570 jo 1939 No.717, dan Stlb.1958 No.139;
3.      Menurut Hukum Adat, antara lain ; wakaf dan yayasan.
Di dalam aktivitas bisnis bentuk badan usaha dapat ikut serta, namun peraturan perundang-undangan yang berlaku telah secara tegas mengatur mengenai jenis-jenis badan usaha yang berbadan hukum. Hal ini penting karena sebagian badan usaha bukanlah badan hukum seperti Persekutuan Komanditer dan Firma bukan termasuk badan usaha yang berbadan hukum, sedangkan badan usaha yang berbadan hukum antara lain koperasi, perseroan terbatas dan yayasan. Pengklasifisian ini amat diperlukan mengingat konsekuensi dari perbuatan hukum akan berbeda antara badan usaha yang berbadan hukum dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum.
Ada beberapa teori badan hukum, yaitu:
a.       Teori Anggapan (fiksi)  dari Von Savigny
Bahwa pada dasarnya hanya manusia saja adalah orang. Badan hukum hanyalah anggapan (fiksi) saja, tidak berwujud dan berbuat oleh negara semata-mata, dipersamakan dengan orang. Karena itu badan hukum bergantung kepada pengakuan negara.
b.      Teori Kekayaan Tujuan dari Brinz dan Siccana
Bahwa badan hukum terdiri dari kekayaan yang dipisahkan yang diberi tujuan-tujuan tertentu. Hanya anggapan orang saja yang menjadikan sebagai subjek hukum. Menurut teori ini, ada hak-hak atas seseuatu kekayaan tanpa subjeknya. Kekayaan dianggap milik suatu badan hukum sebenarnya memiliki suatu tujuan, karenanya teori ini disebutkan : zweck-veermogent atau kekayaan tujuan.
c.       Teori Organ dari Van Giorke
Bahwa badan hukum itu seperti manusia, suatu penjelasan yang sungguh-sungguh ada dalam pergaulan hukum. Badan hukum membentuk kehendak sendiri, dengan perantaraan alat-alat organ yang ada padanya misalny pengurus. Oleh karena itu, fungsi badan hukum disamakan dengan fungsi manusia.
d.      Teori Kekayaan Bersama dari Palnial dan Molengraaf
Bahwa pada badan hukum terdapat suatu kekayaan dari beberapa orang secara bersama-sama (propiate collective), maka hak dan kewajiban hukum suatu badan hukum adalah hak dan kewajiban anggotanya. Dengan demikian, badan hukum hanyalah konstruksi yuridis.
e.       Teori dari Duguit
Bahwa badan hukum tidak ada. Hal ini sesuai dengan ajaran yang dikembangkannya yaitu fungsi sosial, dan tidak mengakui adanya hak subjeknya hukum. Hanyalah manusia yang menjadi subjek hukum, dan hanya ada fungsi sosial yang harus dilaksanakan.
f.       Teori Enggens
Bahwa badan hukum adalah suatu hulp figuur, karena adanya diperlukan dan diperbolehkan oleh hukum untuk menjalankan hak-hak dengan sewajarnya.[25]
Perusahaan sebagai entitas hukum mandiri atau separate legal entity merupakan konsepsi fundamental dalam hukum perusahaan. Demikian juga dengan perusahaan yang dilekati unsur sebagai entitas hukum mandiri. Karakter perusahaan sebagai entitas hukum mandiri yang tidak diatur secara eksplisit dalam UUPT 2007 tetapi dapat ditemukan pada Pasal 3 ayat (1) UUPT 2007 menegaskan bahwa:
“pemegang saham perseoran tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki.”
Meskipun prinsip entitas hukum mandiri ini menjadi prinsip hukum yang bersifat mendasar namun hakikat dari prinsip itu sendiri tidak banyak diuraikan secara mendalam. Uraian tentang prinsip entitas hukum mandiri hanya berkisar mengenai karakteristik hubungan antara perusahaan dengan pemegang sahamnya yang terpisah satu sama lainnya. Pemisahan tersebut baik mengenai hak, kewajiban, serta tanggung jawab perusahaan terpisah dari hak, kewajiban dan tanggung jawab pemegang saham.
Konsep ini sama dengan tanggung jawab sekutu komanditer pada persekutuan komanditer (CV). Persekutuan Komanditer bukanlah merupakan badan usaha yang berbadan hukum, namun sekutu komanditer pada CV sebagai sekutu yang hanya menyerahkan modal, tanpa ikut bekerja dan menjalankan perusahaan, tidak dapat ditunut tanggung jawab melebihi besar modal yang dimasukannya.
Sehingga memang konsep antara entitas hukum mandiri dengan konsep badan hukum bukanlah hal yang sama. Pada satu sisi, suatu badan usaha yang mandiri yang ditandai dengan adanya pemisahan hak dan kewajiban serta tanggung jawab badan usaha terpisah dengan sekutunya atau pemegang sahamnya tidaklah selalu berbentuk badan hukum. CV salah satu contohnya. Namun sebagai badan usaha yang berbadan hukum, maka pasti entitas mandiri melekat pada dirinya.
Murray A. Pickering memberikan pemahaman yang tegas mengenai kedudukan perusahaan sebagai separate legal entity. Menurut Pickering, kapasitas hukum yang melekat pada perusahaan (legal capacity) menjadi dasar yang dapat menjelaskan prinsip entitas hukum mandiri. Proposisi mengenai entitas hukum mandiri dan kapasitas yang melekat pada entitas tersebut didahului dengan suatu proses pengalihan benda dari pemegang saham kepada perusahaan. Konsekuensi atas pengalihan tersebut adalah pemegang saham memperoleh hak-hak untuk berpartisipasi dalam memutuskan materi-materi fundamental dalam perusahaan seperti voting, memilih dan memberhentikan direksi sebagai pengelola perusahaan, distribusi atas keuntungan dan aset pada saat perusahaan pailit. Pengalihan tersebut juga berdampak pada kepentingan dari pemegang saham kepada perusahaan. untuk menjaga kepentingan tersebut, maka hukum mengatur tentang hak-hak pemegang saham pada perusahaan.[26]
Terdapat tiga prinsip dasar berkaitan dengan kapasitas hukum perusahaan. Prinsip pertama menegaskan bahwa kapasitas hukum yang melekat pada perusahaan sebagai entitas hukum mandiri berdasarkan pada hukum. Hukum menentukan ruang lingkup dan membatasi kapasitas hukum yang dimiliki oleh perusahaan. Hal ini berbeda dengan manusia natural, dimana kapasitas hukumnya tidak perlu ditentukan oleh hukum melainkan secara natural telah eksis dan diterima dalam kebiasaan.
Pickering membagi sumber kapasitas hukum dalam anggaran dasar perusahaan yang menentukan tujuan dan ruang lingkup kegiatan perusahaan. Anggaran dasar sebagai dasar hukum atas kapasitas perusahaan dikemukakan oleh Hakim Shaw dalam perkara Daimler Co. Ltd.v. Contenental Tyre  & Rubber Co.1916. Menurut Hakim Shaw “It is a creation of law convenient for the purpose of management of the holding of property, of the association of individuals in business transaction...” dari pernyataan Hakim Shaw tersebut dapat ditentukan bahwa kapasitas perusahaan berkaitan dengan ruang lingkup kegiatan  perusahaan kapasitas perusahaan sebagai pemiliki benda, dan melakukan hubungan hukum dengan pihak lain.[27]
Prinsip kedua berkaitan dengan hakikat kapasitas yang melekat pada perusahaan. Kapasitas perusahaan untuk melakukan perbuatan hukum yang terpisah dari para pemegang saham karena pengalihan harta dari pemegang saham kepada perusahaan menciptakan konsekuensi terjadinya reformulasi terhadap kekuasaan atas harta yang telah dialihkan. Formulasi tersebut adalah pemegang saham tidak dapat mengklaim aset secara parsial terhadap harta yang telah dialihkannya. Namun, pemegang saham memperoleh hak-hak khusus yang terkait dengan pengawasan dan pembuatan kebijakan fundamental perusahaan. Reformulasi juga  menghasilkan suatu bentuk kepemilikan harta secara integral pada satu pihak, yaitu perusahaan. dengan adanya proses formulasi baru tersebut, maka terbentuk suatu tujuan utama dari perusahaan yang berbeda dengan tujuan dari masing-masing pemegang saham. Dari pandangan tersebut, Pickering mengkristalkan pemikirannya bahwa kapasitas yang melekat pada perusahaan sebagai bentuk integral atas kepentingan dari pemegang saham yang menghasilkan satu tujuan, yaitu tujuan perusahaan itu sendiri.[28]
Prinsip ketiga adalah perusahaan mempunyai kapasitas untuk membuat hubungan hukum dengan pihak lain secara langsung seperti hubungan hukum antara perusahaan dengan steakholder. Hubungan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga (steakholder) dengan perusahaan adalah hubungan antara pihak ketiga dengan perusahaan dan bukan dengan pemegang saham psaruahaan. Dengan adanya kapasitas melakukan hubungan hukum tersebut, perusahaan menjadi entitas mandiri dan terpisah dari pemegang saham, baik hak, kewajiban maupun tanggung jawab.
Prinsip separate legal entity tersebut mempunyai konsekuensi dalam hubungan antara pemegang saham dengan perusahaan. Pada badan hukum yang berkarakter sebagai separate legal entity melekat dua prinsip hukum lainnya, yaitu prinsip separate patrimony dan prinsip limited liability. Kedua prinsip tersebut mempertajam eksistensi suatu badan hukum sebagai entitas mandiri terpisah dari pemegang saham.[29]
Prinsip separate patrimony berarti perusahaan dapat mempunyai aset sendiri yang terpisah dari investor. Perusahaan berhak untuk memakai ataupun menjual/mengalihkan serta menjadi jaminan atas utang perusahaan itu sendiri. Prinsip separate patrimony  tidak dapat berdiri sendiri tetapi perlu didukung dengan dua prinsip lainnya agar dapat diberlakukan. Kedua prinsip tersebut  adalah prinsip priority rule dan prinsip liquidation protection rule. [30]
Prinsip priority rule ditegaskan oleh Hansmann dan Kraakman sebagai “...grants to creditors of the firm, as security for the firm’s debt a claimhat  on the firm’s assets that is prior to the claims of the personal creditors of the firm’s owner. Pernyataan tersebut diartikan bahwa kreditor perusahaan mendapat prioritas dalam pemenuhan piutangnya sebelum kreditor pribadi pemegang saham.  Adapun konsekuensi dari prinsip ini, aset yang dimiliki oleh perusahaan secara langsung menjadi jaminan atas kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual antara perusahaan dengan para kreditor perusahaan itu sendiri.[31]
Prinsip yang kedua, liquidation protection rule sebagai prinsip yang mengatur bahwa pemegang saham tidak dapat menarik kepemilikan sahamnya dari perusahaan, menetapkan likuidasi secara parsial maupun menyeluruh terhadap perusahaan, serta para kreditor pribadi pemegang saham juga tidak dapat menyita aset perusahaan yang diasumsikan dengan saham pemegang saham.
Liquidation protection rule ini bertujuan melindungi perusahaan dari tindakan pemegang saham maupun kreditor pribadi pemegang saham yang akan menyita aset perusahaan dan perusahaan tetap menjalankan aktivitas yang telah direncanakan dengan mengacu pada perencanaan (going concern) yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri.
Priority rule lebih efektif bila diikuti dengan pemberlakuan prinsip pertanggung jawaban terbatas atau limited liability yang juga menjadi karakteristik utama perusahaan sebagai entitas hukum mandiri. Makna dari pertanggung jawaban terbatas atau limited liability bukan pembatasan pertanggung jawaban perusahaan terhadap kewajiban-kewajiban yang dimilikinya. Perusahaan masih bertanggung jawab atas utang-utangnya terhadap kreditor. Perusahaan juga bertanggung jawab pada pemegang saham terhadap deviden yang ditetapkan oleh direksi. Prinsip limited liability diaplikasikan pada pertanggung jawaban pemegang saham yang hanya terbatas atas harta yang telah disetor dan/atau yang akan disetor kepada perusahaan. Pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas utang dan tindakan melanggar hukum dari perusahaan.
Dari perspektif Law and Economics, Frank Easterbrook mengemukakan beberapa prinsip pertanggung jawaban terbatas. Pertama, pemberlakuan prinsip limited liability mereduksi pengawasan pemegang saham terhadap direksi sebagai pengelola. Frank Easterbrook berpedoman pada konsepsi “The more risk they bear, The more they will monitor”, semakin tinggi risiko yang dihadapi ole pemegang saham, semakin besar pula alokasi waktu serta dana untuk mengadakan pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan agar tidak menimbulkan kerugian bagi dirinya sebagai investor. Hal ini merupakan konsekuensi logis dimana jika tanpa adanya prinsip limited liability, pertanggung jawaban akan semakin besar karena sampai pada harta pribadi yang berimplikasi pada pengawasan lebih intensif terhadap pengelolaan.[32]
Kedua prinsip limited liability juga dapat mereduksi kegiatan pengaasan dari pemegang saham (pertama) kepada pemegang saham lainnya (kedua) agar tidak memindahkan aset atau harta pribadi yang dimiliki pemegang saham (kedua) tersebut, karena pemindahan harta pribadi akan berdampak pada besarnya tanggung jawab dari pemegang saham (pertama).
Ketiga, dengan adanya kebebasan mengalihkan saham, maka limited liability mendorong pengelola perusahaan bersikap efisien, meski pemegang saham tidak memahami pengelolaan perusahaan namun mempunyai hak kebebasan untuk mengalihkan saham, maka cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko atas investasinya adalah mengalihkan sahamnya dari satu perusahaan ke perusahaan lain.
Keempat, limited liability dapat mengubah harga saham di pasar yang merefleksikan nilai perusahaan. Jika berlaku pertanggung jawaban tak terbatas maka investor akan mencari informasi yang lebih dan melakukan analisis terhadap prospek perusahaan lebih mendalam untuk menetapkan harga saham yang sebenarnya.
Kelima, limited liability menciptkan diversifikasi yang efisien bagi investor untuk menginventasikan dananya pada perusahaan yang berbeda dengan tujuan mengurangi risiko apabila salah satu perusahaan dimana dirinya berinvestasi mengalami kerugian.
Keenam, limited liability memfasilitasi kebutuhan bisnis yang optimal dan menciptakan kondisi pasar bursa yang efisien karena harga dari saham tidak tergantung pada evaluasi atas kesejahteraan pribadi pemegang saham. [33]
Perusahaan sebagai badan hukum berkaitan dengan kedudukannya didepan hukum yang dipersamakan dengan manusia.  Badan hukum mempunyai hak yang sama dengan “orang-perorangan”, namun perbedaan antara “orang” (natuurlijk persoon) dan “badan hukum” (rechts persoon) terletak pada beberapa hak “perorangan” yang tidak dimiliki “badan hukum” seperti hak untuk mewaris, menikah, mempunyai dan mengakui anak, membuat wasiat dan lain-lain.
Para sarjana pada umumnya mendefinisikan badan hukum sebagai suatu bentukan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban  (zelfstandige drager van rechten en verplichtingen). Dikatakan bentukan hukum karena badan hukum memang merupakan ciptaan atau fiksi hukum yang sengaja diciptakan untuk memenuhi kebutuhan tertentu.
Badan hukum sengaja diciptakan artinya ialah suatu bentukan hukum apabila diciptakan oleh undang-undang. Dengan demikian penunjukkan suatu konstruksi sebagai badan hukum ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya,  apakah ia mempunyai kualifikasi demikian. Sebagai konsekuensi yuridisnya, maka badan hukum memiliki pertanggungjawaban sendiri (eigen aansprakelijkheid), dapat melakukan perbuatan hukum, menuntut dan dituntut di muka pengadilan dan memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dari hak dan kewajiban para pengurus, anggota atau pendirinya. Oleh karena mempunyai hak dan kewajiban sendiri maka badan hukum dikatakan sebagai subyek hukum.[34]
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, badan hukum merupakan bentukan hukum yang anggaran dasarnya memerlukan pengesahan dari instansi pemerintah yang berwenang (dalam hal ini Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) atau dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri.
Mengenai badan usaha sebagai suatu badan hukum, telah diuraikan oleh teori badan hukum sebagai mana diuaraikan sebelumnya. Diantara teori-teori tersebut diatas, teori entitas natural dan teori fiksi dapat dipertentangkan antara satu dengan lainnya atau dicari perbedaannya.
Menurut Millon, teori fiksi dipergunakan sebagai landasan pembentukan perusahaan oleh Negara, dimana Negara memberikan kekuasaan tertentu terhadap perusahaan. Sedangkan perusahaan sebagai entitas natural diartikan bahwa munculnya perusahaan atas dasar inisiatif dari pemegang saham serta kekuasaan perusahaan adalah dari pemegang saham itu sendiri. Keduanya menjadi landasan teoritis dari norma-norma hukum tentang pembentukan perusahaan.
Pemikiran Millon yang menempatkan teori fiksi dan teori entitas natural sebagai landasan tentang pembentukan paerusahaan juga menjadi dasar normatif bagi pembentukan perusahaan sebagaimana diatur di dalam UU Perseroan Terbatas 2007. Hakikat perusahaan dari teori entitas  natural ini mempengaruhi hakikat perusahaan yang dianut oleh hukum perusahaan Indonesia. Hal ini tercermin dari prosedur pendirian perusahaan.  Mulai dari berlakunya KUHD, UU PT tahun 1985,hingga UU PT 2007, perusahaan didirikan berdasarkan perjanjian oleh dua orang atau lebih. Beberapa ahli hukum menyatakan bahwa perusahaan merupakan asosiasi modal dari beberapa persero yang memberikan harta kekayaannya kepada perusahaan. Bahkan asosiasi modal ini telah menjadi unsur utama dari perusahaan.[35]
KUHD secara implisit menentapkan perusahaan sebagai asosiasi modal, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 sebagai berikut:
“perseroan terbatas tidak mempunyai firma, dan tidak memakai nama salah seorang atau lebih dari para persero, melainkan mendapatkan namanya hanya dari tujuan perusahaan saja”
UUPT 1995 sebagai pengganti KUHD juga menganut pemikiran yang sama. Hal ini tercermin pada Pasal 7 ayat (1) UUPT 1995, yang menegaskan bahwa “Perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia”. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa perusahaan merupakan suatu entitas yang didirikan melalui perjanjian dari pendiri melalui suatu proses pendaftaran, dalam hal ini melalui notaris sebagai pejabat negara.
UUPT 2007 juga melanggengkan eksistensi teori entitas natural dengan diaturnya pembentukan perusahaan melalui suatu persetujuan. Pasal 3 ayat (1) UUPT 2007 tidak mengubah sedikitpun tentang hakikat perusahaan, sebagaimana ditetapkan pada Pasal 3 ayat (1) UUPT 1995. Pasal 7 ayat (1) UUPT 2007 juga menegaskan bahwa “Perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia”
Hakikat perusahaan sebagai badan hukum yang ditinjau dari teori fiksi juga dianut di dalam UUPT 2007. Pada pasal 7 ayat (7) UU PT 2007 ditegaskan bahwa:
“ketentuan yang mewajibkan perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan pada ayat (5) serta ayat (6) tidak berlaku bagi:
a.       Perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara; atau
b.      Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain, sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Pasar Modal.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a diatas maka UUPT 2007 membuka ruang bagi negara untuk membentuk perusahaan tanpa harus dibuat dengan kesepakatan oleh pihak lain dalam suatu perjanjian. Perusahaan negara dalam bentuk perusahaan biasanya disebut dengan Badang Usaha Milik Negara (BUMN).Meski sebenarnya konsep ini bertentangan dengan teori entitas natural yang dianut oleh UU PT 2007, namun keberadaan BUMN memang dibutuhkan demi kesejahteraan rakyat.
C.      PENUTUP
Konsep perusahaan sebagai suatu entitas mandiri, berkaitan erat dengan pemisahan hak dan kewajiban antara para pemegang saham dengan perusahaanya. Sedangkan konsep perusahaan sebagai suatu badan hukum, berkaitan dengan teori badan hukum itu sendiri. Keberadaan suatu perusahaan dapat terjadi memang karena adanya keinginan dari para pihak untuk membentuknya, sebagaimana dikemukakan oleh teori entitas natural. Atau keberadaannya memang secara fiksi lahir atau diciptakan tanpa ada perjanjian para pihak, sebagaimana dikemukan oleh teori fiksi.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006
Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2011
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010
CST.Kansil dan Christine S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-asas Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2004
Djaja . S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandugn, 2012
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta, 2005
Farida Hasyim, Hukum Dagang, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis ; Persekutuan Perdata, Persekutuan firma, dan Persekutuan Komanditer, Prenada Media, Jakarta, 2004
H.M.N.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia; Bentuk-bentuk Perusahaan, Djambatan, Jakarta, 2005
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Pipin Syarifin, PIH ; Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 1999
R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2013
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Subekti dalam Chidir Ali, Badan Hukum, PT.Alumni, Bandung, 1999
Wahyu Kurniawan, Corporate Governance Dalam Aspek Hukum Perusahaan, Grafiti, Jakarta, 2012





[1] Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 22
[2] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hal.3
[3] Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis ; Persekutuan Perdata, Persekutuan firma, dan Persekutuan Komanditer, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.203
[4] Farida Hasyim, Hukum Dagang, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.144
[5] Ibid, hal.147
[6] Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2011, hal.105
[7] H.M.N.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia; Bentuk-bentuk Perusahaan, Djambatan, Jakarta, 2005, hal.88
[8] Abdul R.Saliman, loc.cit.
[9] Wahyu Kurniawan, Corporate Governance Dalam Aspek Hukum Perusahaan, Grafiti, Jakarta, 2012, hal.3
[10] Ibid, hal.4
[11] ibid
[12] Djaja . S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandugn, 2012, hal.18
[13] ibid
[14] Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta, 2005, hal.7
[15] CST.Kansil dan Christine S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-asas Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal.85
[16] Ibid
[17] R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2013, hal.152
[18] Ibid
[19] Pipin Syarifin, PIH ; Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal.62
[20] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.26
[21] Subekti dalam Chidir Ali, Badan Hukum, PT.Alumni, Bandung, 1999, hal.18
[22] Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, 5-6
[23] Pipin Syarifin,op.cit hal.63
[24] Ibid
[25] Ibid, hal.64
[26] Wahyu Kurniawan, op.cit, hal. 12
[27] Ibid
[28] Ibid hal.13
[29] Hansmann, Henry dalam Ibid
[30] Ibid
[31] Ibid
[32] Frank Easterbrook dalam Wahyu Kurniawan
[33] ibid
[34] Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, op.cit, hal. 7
[35] Wahyu Kurniawan, op.cit, hal. 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar