Sabtu, 22 Agustus 2015

PERANAN MKDKI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK Oleh: Mahendra Kusuma, SH, M.Hum



PERANAN MKDKI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK
Oleh: Mahendra Kusuma, SH, M.Hum

ABSTRAK

Setiap tindakan dokter baik diagnostik maupun terapeutik akan selalu mengandung risiko yang melekat pada tindakan itu sendiri. Risiko yang dihadapi seorang dokter cukup jelas. Jika dia sudah salah dan terbukti kesalahannya, maka hal ini dapat mengakibatkan pasien cacat atau jiwanya tidak tertolong. Dalam kondisi demikian masyarakat cenderung menyalahkan dokter dan ada kecenderungan menuntut dokter. Tuntutan hukum terhadap dokter menimbulkan kegelisahan di kalangan dokter. Padahal tidak semua kesalahan dokter dapat dikategorikan sebagai malpraktik. Reputasi seorang dokter akan hancur jika tindakan medis yang ia lakukan berujung di pengadilan. Pemerintah cukup arif menyikapi hal ini yaitu dengan membentuk peradilan profesi yang keanggotaannya independen dan tidak hanya beranggotakan kalangan dokter saja namun juga profesi lain.



A.     Pendahuluan

Saat ini, profesi kedokteran di negara kita sering menjadi perhatian, baik dari kalangan dokter sendiri maupun dari masyarakat. Adanya kemajuan teknologi di bidang kedokteran yang telah banyak kita rasakan manfaatnya, ternyata menimbulkan permasalahan dalam hubungannya dengan kesehatan maupun nyawa seseorang. Peristiwa-peristiwa yang menyangkut kesalahan dalam menangani pasien-pasien yang disebabkan oleh kelalaian dokter, maupun pelanggaran terhadap kode etik kedokteran, sampai mengakibatkan seseorang dokter harus diadili di persidangan pengadilan.
Banyak diberitakan tentang maraknya kasus-kasus dugaan malpraktik yang dilakukan oleh dokter. Walaupun masih perlu dibuktikan lebih lanjut, opini yang berkembang tersebut sangat menggelisahkan dokter. Belum lagi proses obyektif untuk menilai kebenaran dugaan malpraktik tersebut terbukti, dokter-dokter yang dituduh dalam kasus tersebut sudah terhukum secara tidak langsung oleh masyarakat. Ketenangan dokter dalam menjalankan profesinya menjadi sangat terganggu, apalagi di tengah ketidakpastian hukum yang melanda negeri ini. Demikian juga dengan masyarakat (pasien) yang “merasa” dirugikan akibat tindakan dokter yang diduga melakukan malpraktek.[1]
Fenomena di atas menunjukkan bahwa semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat yang menggugat dan menuntut dokter apabila terjadi kegagalan dalam pengobatan, misalnya meninggalnya pasien karena kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya. Bagi kalangan dokter sendiri, hal ini dirasakan tidak adil karena mereka merasa telah berusaha secara maksimal dalam menolong pasien. Di lain pihak, para aparat penegak hukum juga merasa berkewajiban untuk membela dan melindungi hak-hak dokter dan pasien. Sebagaimana diketahui bahwa di bidang kedokteran, keberhasilan dokter dalam menolong pasien selain ditentukan oleh keahlian dokter tersebut, juga ditentukan oleh pengalamannya. Hal ini dikarenakan dalam bidang kedokteran tidak ada dua kasus yang persis sama, tergantung dari cara penanganannya, keadaan si pasien termasuk daya tahan tubuhnya, tingkat penyakitnya, komplikasinya, dan lain-lain.
Dalam melaksanakan profesinya seorang dokter harus berfikir, bertindak yang dalam waktu singkat kadang-kadang dia melihat hasil tindakannya. Dalam keadaan akut, dokter tidak mungkin membaca buku teks di Puskesmas atau di daerah pedalaman, bahkan sulit merujuk penderita ke dokter spesialis. Banyak masalah pasien yang harus dihadapi dan tidak jelas prognosisnya. Dalam keadaan seperti itu tidak mustahil, pada suatu saat dokter dapat menemui kegagalan dalam menjalankan profesinya. Bila mana terjadi kegagalan, masyarakat cenderung menyalahkan dokter, dan bahkan menuntut dokter dengan tuduhan malpraktek.[2]
Setiap tindakan dokter baik diagnostik maupun terapeutik akan selalu mengandung resiko yang melekat pada tindakan itu sendiri. Resiko yang dihadapi seorang dokter cukup jelas. Jika dia sudah salah dan terbukti kesalahannya, maka hal ini dapat mengakibatkan pasien cacat atau jiwanya tidak tertolong. Dokter harus menyadari, bahwa pekerjaannya hampir selalu berhubungan dengan jiwa manusia. Masyarakat tidak perlu mengetahui apa tindakan dokter, yang sudah pasti jika mereka tidak puas dan ada kecenderungan menuntut dokter.
Sebenarnya pelanggaran yang terjadi tersebut tidaklah mutlak kesalahan dokter. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Dokter adalah manusia biasa yang tidak luput dari kehilafan-kehilafan. Dokter berasal dari berbagai lapisan kehidupan yang mempunyai kebiasaan dan latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan adanya keinginan masyarakat untuk membawa kasus kedokteran ke pengadilan untuk diadili secara hukum. Pada umumya masyarakat tidak dapat membedakan mana yang merupakan kasus pelanggaran etik merupakan malpraktik, sedang malpraktik sudah merupakan pelanggaran etika. Kegagalan dokter dalam melaksanakan tindakannya, umumnya menyebabkan masyarakat menuntut kompensasi. Hikmah dari kejadian ini adalah bahwa hal ini dapat memacu para profesional untuk meningkatkan mutu dan lebih berhati-hati.
Fenomena tuntutan malpraktik akan menimbulkan “suasana” ketakutan dari dokter untuk melakukan tindakan yang beresiko. Kondisi ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan dunia kesehatan apabila dokter nantinya hanya melakukan tindakan yang aman dan tidak beresiko (defensif medicine). Masyarakat akhirnya akan rugi, peningkatan derajat kesehatan bangsa menjadi tidak optimal.
Sementara dari kalangan masyarakat (pasien) beranggapan bahwa bila sengketa medik antara dokter dan pasien diselesaikan melalui organisasi profesi maka ada suatu kekhawatiran bahwa organisasi profesi tidak independen, kerap membela anggota profesinya (korps) dan kalaupun dikenakan sanksi maka sanksinya hanyalah sanksi administratif.[3]
Dengan memperhatikan tolak tarik antara dokter di satu pihak dan pasien di pihak lain dalam proses penyelesaian sengketa medik tersebut maka salah satu solusi yang ditentukan oleh pemerintah adalah penyelesaian melalui peradilan profesi yang independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

B.     Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : bagaimanakah peran MKDKI dalam penyelesaian sengketa medis antara pasien dan  dokter?

C.     Pembahasan

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara implisit disebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran (lihat Pasal 66 ayat 1).
Penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien adalah jika timbul ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan atau melaksanakan profesi kedokteran, ketidakpuasan tersebut karena adanya dugaan kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan profesi yang menyebabkan kerugian dipihak pasien, hal tersebut terjadi apabila ada anggapan bahwa isi perjanjian terapeutik tidak dipenuhi/dilanggar oleh dokter.
Bila dilihat dari sengketa yang terjadi antara dokter dengan pasien, dapat ditarik ciri-ciri dari sengketa tersebut, yaitu:
1.      Sengketa terjadi dalam hubungan antara dokter dengan pasien.
2.      Obyek sengketa adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter.
3.      Pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa adalah pasien, baik kerugian berupa luka/cacat, maupun kematian.
4.      Kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh adanya kelalaian/kesalahan dari dokter, yang sering disebut “malpraktik medik”.[4]
Penyelesaian sengketa merupakan pintu terakhir bagi para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Apabila seorang pasien tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh dokter, maka pasien tersebut dapat melakukan upaya hukum untuk meminta pertanggungjawaban dokter. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien, antara lain mengadu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), melapor kepada aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) bila ada indikasi kesalahan/kelalaian dokter, menggugat perdata ke pengadilan bila terjadi wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum, dan menyelesaikannya melalui penyelesaian sengketa alternatif (mediasi).
Pada umumnya kalau terjadi kesalahan/kelalaian dokter, pasien langsung melapor masalah ini ke pihak ke kepolisian untuk diproses secara hukum. Aparat penegak hukum seringkali mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya kesalahan/kelalaian dokter. Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan Surat Edaran Petunjuk Rahasia Nomor: B006/R-3/I/1982 tanggal 19 Oktober 1982 tentang “Perkara Profesi Kedokteran” bahwa agar tidak meneruskan perkara sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan setempat atau Departemen Kesehatan Republik Indonesia.[5] Mahkamah Agung juga pernah mengeluarkan Surat Edaran tahun 1982 yang intinya memberikan arahan kepada para Hakim, bahwa penanganan terhadap kasus dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang diduga melakukan kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan atau pelayanan medis agar jangan langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan dulu pendapat dari Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), yang kini fungsinya telah  digantikan oleh MKDKI.
Namun demikian, kendati sudah ada surat edaran dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung tersebut, kasus-kasus dokter yang dituntut dan diadili serta dijatuhi hukuman semakin banyak.  Kondisi ini menimbulkan keresahan kalangan dokter. Beberapa dokter kemudian mengajukan uji materiil terhadap pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ke Mahkamah Konstitusi. Sebagian tuntutan dokter terhadap pasal-pasal pidana dalam undang-undang tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 4/PVV-V/2007 dinyatakan bahwa sengketa medik diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan profesi.
Konsep penyelesaian sengketa antara dokter atau dokter gigi melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang ada dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang diundangkan bulan September 2004 adalah untuk menggantikan pasal 54 ayat (3) UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan yaitu menggantikan peran Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Majelis ini bertugas memastikan apakah standar profesi telah dilaksanakan dengan benar.
MKDKI ini adalah lembaga otonom yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. Untuk menjaga netralitas anggota MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.
Pasal 66 berbunyi:
(1).  Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atau tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2).  Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat; a) Identitas pengadu, b). Nama dan alamat tempat praktek dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan, dan c). Alasan pengaduan.
(3).  Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwewenang dan/atau menggugat kerugian perdata di pengadilan.
Sesuai pasal 66 tersebut di atas, pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan akibat praktik kedokteran yang mereka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya melalui MKDKI, yang merupakan jalur non litigasi. Selain melalui jalur non-litigasi, pasien/keluarga pasien yang menduga telah terjadi malpraktik atas diri pasien tidak tertutup kemungkinan untuk sekaligus menempuh jalur litigasi, yaitu melalui jalur perdata atau pidana.
Keputusan MKDKI merupakan sanksi disiplin dan bersifat mengikat. Sesuai dengan Pasal 69 berbunyi:
(1)     Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia
(2)     Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan bersalah atau pemberian sanksi disiplin
(3)     Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
 a. Pemberian peringatan tertulis.
b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat ijin praktek dan/atau
 c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institut pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia atau Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia), sesuai pasal 68 “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi”.
Perselisihan itu selanjutnya akan ditangani oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI, atau ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG) PDGI. MKEK dan MKEKG adalah suatu badan peradilan profesi, yang bertugas mengadili anggota ikatan profesi itu sendiri. Hukuman yang dijatuhkan MKEK/MKEKG bisa berupa teguran atau pemecatan dari keanggotaan IDI.PDGI yang bersifat sementara (skorsing) atau tetap/selamanya.[6]
Apabila suatu kasus yang diduga malpraktik diadukan oleh masyarakat dan didapati pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus itu langsung dibawa ke sidang pengadilan untuk diperiksa. Oleh karena Undang-Undang Praktik Kedokteran hanya fokus pada disiplin kedokteran saja, sehingga masalah gugatan perdata atau pidana diserahkan kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli (expert witneess testimonium) apabila diperlukan, sebagaimana lazimnya juga di luar negeri.
Dengan demikian, pilihan MKDKI merupakan mekanisme “pengadilan”  yang sangat objektif untuk menilai persoalan tersebut. Di Belanda malahan dibuat lembaga peradilan khusus, yaitu peradilan disiplin (disciplinary court) yang terpidah dari peradilan umum (civil court). Di Inggris (Medical act 1997 ; Malaysia, Medical act, 1971, dll)-dibuat komite disiplin (disciplinary committee atau disciplinary tri banal) yang terpisah dari peradilan umum-yang hampir sama dengan MKDKI.
 Di setiap negara-negara tersebut (termasuk yang dikembangkan melalui MKDKI) mekanisme menilai kesalahan dokter tersebut dilakukan oleh kelompok profesi itu sendiri dengan melibatkan masyarakat di luar kedokteran. Oleh karena itu, kesepakatan untuk membentuk lembaga independen (MKDKI) yang terpisah dari IDI (MKEK) dan lembaga peradilan umum lebih pada upaya untuk menjaga keadilan obyektif yang ingin dicapai.
Penyelesaian sengketa medis melalui pengadilan tidak jarang memperoleh reaksi dan tantangan yang tidak sedikit, terutama dari kalangan profesi medis (dokter). Entah karena saking sibuknya atau karena ketakutan yang berlebihan dari kalangan dokter bahwa cara penyelesaian semacam itu (lewat jalur hukum) yang ditempuh maka akan membawa dampak buruk atau negatif dan bahkan ancaman bagi dokter. Karena itu menurut kalangan dokter, bila terjadi kesalahan profesional maka sebaiknya kesalahan itu dapat diselesaikan melalui organisasi profesi.
Harus diakui bahwa proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di pengadilan akan menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, berbiaya mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan antara pihak yang bersengketa. Selain itu kerugian dari proses litigasi, dari sudut dokter/dokter gigi dan/atau rumah sakit akan merusak reputasi dan menimbulkan beban psikologis bagi dokter/dokter gigi.

D.     Kesimpulan

Mahkamah Konstitusi menyatakan, jika terjadi sengketa medik antara pasien dan dokter maka sengketa medik tersebut diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan profesi. Peradilan profesi  sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi dokter yaitu Ikatan Dokter Indonesia yang selanjutnya diteruskan ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).  Sedangkan apabila suatu kasus yang diduga malpraktik diadukan oleh masyarakat dan didapati pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus itu langsung dibawa ke sidang pengadilan untuk diperiksa.

DAFTAR PUSTAKA
Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malapraktik Medik Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, Andi, Yogyakarta, 2010.

Fahmi Idris, Doter Juga Manusia; Upaya Memperbaiki Mutu Pelayanan Kesehatan, PB IDI, Jakarta, 2006.
Gunawan, Memahami Etika Kedokteran, Kanisius, Yogyakarta, 1992.

Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung, 2010.

Nusye KI Jayanti, Penyelesaian Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran,  Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009

Safitri Hariyani, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta, 2005


[1] Fahmi Idris, Doter Juga Manusia; Upaya Memperbaiki Mutu Pelayanan Kesehatan, PB IDI, Jakarta, 2006, hlm. 51.
[2] Gunawan, Memahami Etika Kedokteran, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hlm. 62.
[3] Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 30
[4] Safitri Hariyani, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta, 2005, hlm. 58
[5] Nusye KI Jayanti, Penyelesaian Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran,  Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm. 111
[6] Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malapraktik Medik Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, , Andi, Yogyakarta, 2010, hlm. 87

Kamis, 20 Agustus 2015

KEDUDUKAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERDASARKAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA



KEDUDUKAN  HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT
  DALAM PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERDASARKAN
PERUNDANG-UNDANGAN   DI INDONESIA

Oleh :
Erniwati,SH.,M.Hum[1]
Suryani Yusi,SH.,M.Hum[2]


ABSTRAK

Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat, yang disebut hak        ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat masih ada atau tidak, diatur melalui Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
        Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris, yaitu bentuk penelitan yang meneliti data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau di masyarakat.
Dari penelitian ini didapat bahwa pengakuan terhadap tanah masyarakat adat atau hak ulayat telah diakui oleh berapa perundang-undangan, sedangkan perlindungan hukum tanah adat di Sumatera Selatan belum ada Peraturan Daerah yang mengaturnya dan bila dihubungkan  dengan pembangunan perkebunan sipat pengakuannya masih dilakukan pemberian ganti kerugian  terhadap pemilik tanah adat.

Kata kunci : Pengaturan,Penguasaan, Tanah Adat



A.       Latar Belakang
Salah satu tujuan dari pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, dimana masyarakat yang adil dan makmr itu akan diwujudkan melalui pembangunan diberbagai bidang diantaranya bidang ekonomi.[3] Usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk melancarkan pembangunan di bidang ekonomi salah satunya adalah di bidang perkebunan.
 Definisi Perkebunan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan adalah
 “Segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

  Dari Pasal 1 ayat 1  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 ini dapat diketahui bahwa perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. [4]
Pengembangan perkebunan dilaksanakan berdasarkan kultur teknis perkebunan dalam kerangka pengelolaan yang mempunyai manfaat ekonomi terhadap sumber daya alam yang berkesinambungan. Pengembangan perkebunan yang berkesinambungan tersebut akan memberikan manfaat peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara optimal, melalui kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya alam, modal, informasi, teknologi, dan manajemen. Apabila akses tersebut terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia, akan menciptakan hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara pelaku usaha perkebunan, masyarakat pemilik lahan serta masyarakat sekitar perkebunan.
Namun demikian, hubungan harmonis yang diharapkan  antara investor dan pemilik lahan seringkali tidak terjadi  sehingga menimbulkan  masalah pertanahan yang terjadi antara perusahaan dengan perorangan, maupun dengan kelompok masyarakat sekitar perkebunan. Permasalahan pertanahan di Indonesia umumnya dan Sumatera Selatan khususnya seringkali berujung dengan konflik hukum (perselisihan/sengketa) yang membuat keadaan menjadi tidak kondusif dan tidak nyaman bagi para pihak yang mengalaminya.[5]
Penyebab lain yang sering menimbulkan sengketa pertanahan adalah   masalah penguasaan tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat. Masyarakat adat tidak hanya meyakini dirinya sebagai penguasa tanah sejak nenek moyang mereka,tetapi sebagai pemilik tanah atas dasar hukum adat yang mereka jalankan sehari-hari,sehingga cukup kuat untuk dipertahankan kepenguasaan dan atau kepemilikannya sedangkan tanah tersebut dibutuhkan oleh usaha perkebunan. Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat, yang disebut hak        ulayat.
Pengertian hak ulayat menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, adalah

  “ Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.


  Dari pengertian  di atas  dapat diambil pengertian, bahwa hak ulayat diakui, apabila dalam kenyataanya memang masih. Pengakuan adanya hak ulayat terdapat di dalam,   Pasal 3 No. 5 Tahun  1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbuyi :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi”.
   
Namun demikian, pengakuan terhadap hak ulayat masih ada atau tidak, diatur melalui Pasal 2 ayat (2)  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yakni:
a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari,dan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut

Sedangkan menurut Maria S.W. Sumardjono dalam bukunya “Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi” menjelaskan pula tentang kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus berdasarkan : :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.[6]

Pengakuan hak ulayat dalam peraturan di atas menjadi dasar yang kuat bagi kelompok masyarakat adat untuk menguasai, mengatur dan memanfaatkan tanah-tanah ulayatnya.
Kepemilikan tanah dalam masyarakat hukum adat terjadi secara ipso facto,artinya tanah dipandang sudah dikuasai apabila secara kasat inderawi telah nyata- nyata ditempati, dimanfaatkan dan diusahakan serta dirawat oleh orang baik sebagaipemukim atau penggarap.[7] Hal ini berarti bahwa kepastian hukum pemilikan tanah dalam hukum adat, tidak dapat dipahami menurut perspektif ipso jure sebagaimana yang dikehendaki oleh UUPA,melainkan harus dipahami menurut perspektif hukum adat itu sendiri.
Memahami kepastian hukum pemilikan tanah dalam hukum adat dengan menggunakan perspektif peraturan perundang-undangan, mengakibatkan kepemilikan tanah berdasarkan hukum adat menjadi tidak diakui.Hal ini dikarenakan pemiliknya tidak dapat memperlihatkan adanya cukup bukti hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain itu permasalahan pertanahan dapat juga muncul  dikarenakan adanya berbagai peraturan perundang-undangan  yang memfasilitasi sektor pemerintah maupun sektor swasta untuk memperoleh tanah dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya. Salah satu upaya pemerintah tersebut  dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 36 Tahun  2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang diganti dengan Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. [8]
Pada awalnya PP No.36 Tahun 2005 menuai kontroversi yang bersumber pada definisi kepentingan umum yang terlalu luas dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya diambil alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan umum.Namun dengan dikeluarkannya Perpres no. 71 Tahun 2012 tentang Perubahan Perpres No. 36  Tahun 2005, definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan berkepastian hukum.
  Berbagai skema kerjasamapun dirumuskan untuk memudahkan proses pengambialihan tanah dari masyarakat,antara lain skema inti-plasma,koperasi, jual beli,konsolidasi tanah maupun kompensasi, seharusnya pemberian Hak Guna Usaha oleh pemerintah hendaknya tetap bertujuan untuk kemakmuran rakyat dengan cara tetap mempertahankan akses rakyat terhadap tanah tersebut bahkan harus memfasilitasi untuk dapat memanfaatkan tanah sehingga tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara pengusaha dan pemilik tanah bahkan masyarakat dimana perkebunan itu berada.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis ingin melakukan penulisan dalam bentuk proposal penelitian dengan judul “Kedudukan  Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat  Dalam Pembangunan Perkebunan Berdasarkan Perundang-Undangan   Di Indonesia”.

B.       Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini peneliti mengangkat dua permasalahan, yaitu :
1.    Bagaimana pengaturan hukum pertanahan hak atas tanah masyarakat hukum adat berdasarkan perundang-undangan di Indonesia?
2.    Bagaimana perlindungan hukum hak atas tanah masyarakat hukum adat di Sumatera Selatan?

C.Pembahasan

A. Pengaturan Hukum Pertanahan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Berdasarkan Perundang-Undangan Di Indonesia

Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut:
Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.24

   Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, masyarakat adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
  Salah satu bentuk hak masyarakat hukum adat adalah hak atas tanah adat .Secara umum,hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: "hak ulayat" dan "hak pakai". Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai. Sebidang tanah bagi kepentingannya biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.25
Sementara Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu: hak persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah. Perbedaannya adalah sebagai berikut:
1.Hak persekutuan atau hak pertuanan mempunyai akibat keluar dan kedalam. Akibat ke dalam antara lain emperbolehkan anggota persekutuan (etnik, sub etnik, atau fam) untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di atasnya, misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun menggembalakan ternak. Izin hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, bukan untuk diperdagangkan. Akibat keluar ialah larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie), serta larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang-orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian.

2.Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland bezitrecht), dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan.

3.Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil. Tanah ini secara prinsip adalah milik komunal esatuan etnik, namun setiap orang dapat memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaman di atas tanah tersebut.26

Pengakuan terhadap tanah masyarakat hukum adat dan hak-haknya dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 22 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 56, Pasal 58 UUPA, Pasal VI dan Pasal VII ketentuan Konversi. Disamping itu keberadaan hukum adat juga dapat dijumpai pada konsideran dan penjelasan UUPA,Pasal 67 ayat 1  UU.No.41 Tahun  1999    Tentang Kehutanan, Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada Pasal 28i ayat (3) (Amandemen Kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”.
.          Pasal 2 ayat (4) UUPA dinyatakan bahwa :“Hak menguasai dari Negara di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”.
            Pasal 3 UUPA diatur bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai  dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan undang- undang dan peraturan yang lebih tinggi, tetap diakui.
                 Selanjutnya Pasal 5 UUPA menegaskan bahwa :
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya segala sesuatunya dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

 Pada Penjelasan Umum bagian II angka 2 menyebutkan bahwa:

 “......Negara sebagai organisasi kekuasan dari seluruh rakyat/bangsa bertindak selaku Badan Penguasa, sehingga disebutkan bahwa pada tingkatan tertinggi tanah (bumi, air dan ruang angkasa) “dikuasai” oleh Negara, bukan dimiliki oleh Negara. Kekuasaan Negara dimaksud meliputi semua bumi, air dan ruang angkasa baik yang sudah ada hak maupun yang belum.

           Kedudukan Hak Ulayat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu;
       Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan  secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Unsur-unsur hak ulayat sebagaimana termuat didalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tersebut yaitu :
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adanya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga  persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan  penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga  persekutuan hukum tersebut. Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, dalam hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dan memenuhi unsur-unsur dan kriteria hak ulayat dalam hukum adat suatu masyarakat dalam suatu wilayah

Bentuk pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan hukum adat juga dijamin oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dalam Penjelasan pasal 4 ayat 2 dari Undang Undang tersebut menyatakan bahwa :
 Penggantian yang layak diberikan pada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan dan atau ruang yang dapat mebuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun atas dasar hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.

 Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu : di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa.
Namun demikian kita juga harus mengakui syarat kriteria penentu masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, yaitu :
1.  Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat
3.  Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.27

b. Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Di Sumatera Selatan
Sejak zaman dahulu tiap daerah di Indoneia mempunyai adat istiadat yang kokoh yang mencakup segala bidang termasuk mengenai masalah pertanahan.28 Baik dusun ataupun desa pada zaman dahulu mempunyai wilayah sendiri-sendiri dengan batas-batas sendiri pula, wilayah-wilayah tanah masyarakat hukum adat(tanah ulayat) tersebut harus diartikan minus tanah pribadi dan tanah Negara.29

Pengertian hak ulayat menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, adalah

    Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.


Tanah ulayat ada yang berstatus kuat  dan ada yang berstatus lemah dalam hal kepemilikan.Masuknya hukum kolonial ke tanah air membawa perubahan  kepemilikan atas tanah, antara lain dengan adanya ketentuan undang-undang , misalnya tentang hutan lindung,tidak dapat disebut lagi tanah ulayat dan dengan keluarnya UUPA No.5 Tahun 1960  maka tanah ulayat  dapat diartikan sebagai tanah minus Negara , walaupun kenyataannya tumpang tindih dengan Negara.30
Di dalam perkembangannya tanah ulayat atau tanah adat semakin terdesak oleh peraturan yang tertulis diharapkan walaupun hukum adat tidak tertulis, namun pengaturan-pengaturan mendasar perlu dibuat secara tertulis untuk dijadikan pegangan masyarakat, setidaknya dengan adanya Peraturan Daerah oleh Pemda setempat.
Namun demikian berdasarkan wawancara dengan Kabag Peraturan Perundang-undangan Ibu Hj.Ning Agustini mengatakan Sumatera Selatan belum mempunyai Peraturan Daerah mengenai tanah adat tersebut, hal ini dikarenakan  dengan adanya Undang-Undang  Nomor. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa maka menghapuskan marga di Sumatera Selatan , hal ini mengakibatkan kelembagaan adat marga yang dahulu berfungsi mengatur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan pengawasan terhadap tanah marga menjadi tidak efektif.
Dalam sistim pemerintahan desa, maka kepala desa tidak sekaligus berkedudukan sebagai ketua adat. Kepala desa tidak menggantikan kedudukan Pasirah, dan tidak mempunyai kewenangan  di bidang pertanahan untuk memimpin, mengawasi dan mengendalikan penggunaan  tanah berdasarkan hukum adat. Hal demikianlah yang menyebabkan  anomaly/terjadinya ketidakpastian di bidang hukum pertanahan,  timbul sengketa  tanah diberbagai daerah di Sumatera Selatan, terutama yang berkaitan dengan perluasan usaha di bidang perkebunan.31
Sebagai contoh pembangunan perkebunan karet yang mempergunakan tanah masyarakat adalah PT.Bumi Rambang Kramajaya (PT.BRK) yang berada di Ogan Ilir Sumatera Selatan.
Menurut keterangan Bapak Sahirun warga Desa Tambangan Rambang mengatakan bahwa pembangunan perkebunan PT. BRK menggunakan tanah adat hal ini dikarenakan tanah tersebut warisan dari nenek puyang mereka, sedangkan menurut analisa penulis sepertinya masyarakat kurang memahami pengertian dari tanah adat, apa yang mereka katakan warisan tanah dari nenek puyang mereka berpikir itulah tanah adat padahal kenyataannya warisan yang diberikan oleh nenek puyang mereka sudah berbentuk perorangan, jadi tanah tersebut sudah dimiliki atau diwariskan secara perorangan menurut peraturan yang berlaku. Berdasarkan keterangan di atas menurut penulis hendaknya masyarakat harus mengetahui terlebih dahulu apa yang namanya tanah adat atau tanah ulayat.
Penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun. Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat
Namun demikian , penyelesaian masalah perkebunan yang menggunakan tanah masyarakat  itu diupayakan tetap dilakukan  pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan .Menurut  Kepala Biro Hukum  PT.BRK Bapak H.Syaroji Karta diberikan secara musyawarah dan mufakat beserta tim yang ditugaskan oleh Bupati KDH TK.II OKI No. 101/2973/I/1994 tanggal 17 September 1994, begitu juga dalam pembangunan perkebunan PT.Patra Tani , menurut keterangan dari Bapak Anwar warga Desa Bakung, tanah  masyarakat yang  masuk dalam areal perkebunan juga diberikan ganti kerugian namun ada juga masyarakat yang tidak puas dengan penggantian tersebut.32
Mengenai jumlah pemberian ganti kerugian menurut Kepala Biro Hukum PT.Bumi Rambang Kramajaya meliputi :
1.    Musyawarah dilakukan secara langsung antara tim pembebasan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan yang sebainya didampingi oleh Kepala Desa atau Camat.
2.    Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif,musyawarah dapat dilaksanakan bergiliran secaraparsial atau dengan wakil yang ditunjuk di antara dan oleh mereka
3.    Dalam hal musyawarah dilaksanakan melalui perwakilan penunjukan wakil dibuat dalam bentuk surat kuasa yang diketahui oleh Kepala Desa setempat.33

Setelah musyawarah diadakan dan tercapai kata sepakat mengenai harga dan besarnya ganti kerugian, maka proses selanjutnya adalah pembayaran ganti kerugian yang pelaksanaannnya harus dilakukan secara leangsung antara perusahaan sebagai pembeli kepada pemilik tanah.
Untuk pembayaran tersebut selain penjual menandatangani bukti pembayaran yang diketahui oleh Kepala Desa untuk orang tersebut dibuatkan photo diri dengan tulisan nama,luas tanah yang dijual,harga tanah dan nama desa,hal l ini berguna untuk dokumen apabila ada gugatan dikemudian hari.
Pembayaran ganti rugi tersebut menurut Bapak H.Syaroji Karta Kepala Biro Hukum PT.BRK disertai dengan penyerahan atau pelepasan hak atas tanah secara tertulis dihadapan Lurah atau Kepala Desa dan Camat setempat dan sebagai bukti pembayaran dibuatkan acara penyerahan atau pelepasan hak atas tanah.

Berdasarkan paparan di atas , untuk perlindungan terhadap rakyat pihak perkebunan hanya memberikan ganti kerugian terhadap semua tanah yang berada diwilayah perkebunan walaupun tanah tersebut tidak mempunyai sertifikat atau surat keterangan lain. Pemberian ganti kerugian terhadap kasus tersebut hanya didasarkan pada pengakuan terhadap kepemilikan tanah saja dan bukan berarti pengganti kerugian tersebut pihak perkebunan mengakui adanya tanah ulayat masyarakat.34


DAFTAR PUSTAKA


Achmad Sodiki, 2013,Politik Hukum Agraria,Konstitusi Press,Jakarta

Aminuddin Ilmar, 2004,Hukum Penanaman Modal, Kencana ,Jakarta

Eddy Ruchiyat, 1984,Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni,Bandung

Husen Alting, 2010,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo

Irene Eka Sihombing, 2005,Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Trisakti, ,Jakarta

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media,Jakarta

Keraf, A.S., 2010,,Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Maria S.W. Sumardjono, 2005,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas, Jakarta

Merza Gamal, 2006,Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press , Pekanbaru)

M.Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta

Ningrat, A.A.. Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional Di Halimun Selatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Sebuah Studi Pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan Adat Banten Kidul, Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)., 2004

Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1993,Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia ,Jakarta

 Rinto Manulang, 2011 ,Segala Hal Tentang Tanah Rumah dan Perizinannya,Buku Pintar,Suka Buku, cetakan ke-1,Yogyakarta ,

Soetandyo Wignyosoebroto, 1996, Tanah Negara, Tanah Adat yang Dinasionalisasi, Elsam, Jakarta

R.Soeprapto, 20000,Undang-Undang Pokok Agraria Dalam  Praktek,Mitra Sari,Jakarta

  Supriyadi Amir, 2012, Sukses Membeli Tanah Tanpa Modal,Laskarkara, Bandung

PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Hukum Agraria

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan  dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ullayat masyarakat hukum Adat.



INTERNET DAN MAKALAH


Albar S. Subari, Pemberdayaan  Masyarakat Adat, disampaikan pada workshop III, Lubuk Linggau Sumatera Selatan, 28-30 Juni 20004
Firman Muntaqo, Makalah Hak Ulayat (Tanah Marga) dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era Otonomi Daerah, Disampaikan pada Seminar BKS-PTN Wilayah Barat Tanggal 15-16 Mei 2001
DAFTAR PUSTAKA


Achmad Sodiki, 2013,Politik Hukum Agraria,Konstitusi Press,Jakarta

Aminuddin Ilmar, 2004,Hukum Penanaman Modal, Kencana ,Jakarta

Eddy Ruchiyat, 1984,Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni,Bandung

Husen Alting, 2010,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo

Irene Eka Sihombing, 2005,Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Trisakti, ,Jakarta

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media,Jakarta

Keraf, A.S., 2010,,Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Maria S.W. Sumardjono, 2005,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas, Jakarta

Merza Gamal, 2006,Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press , Pekanbaru)

M.Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta

Ningrat, A.A.. Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional Di Halimun Selatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Sebuah Studi Pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan Adat Banten Kidul, Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)., 2004

Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1993,Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia ,Jakarta

 Rinto Manulang, 2011 ,Segala Hal Tentang Tanah Rumah dan Perizinannya,Buku Pintar,Suka Buku, cetakan ke-1,Yogyakarta ,

Soetandyo Wignyosoebroto, 1996, Tanah Negara, Tanah Adat yang Dinasionalisasi, Elsam, Jakarta

R.Soeprapto, 20000,Undang-Undang Pokok Agraria Dalam  Praktek,Mitra Sari,Jakarta

  Supriyadi Amir, 2012, Sukses Membeli Tanah Tanpa Modal,Laskarkara, Bandung

PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Hukum Agraria

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan  dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ullayat masyarakat hukum Adat.



INTERNET DAN MAKALAH


Albar S. Subari, Pemberdayaan  Masyarakat Adat, disampaikan pada workshop III, Lubuk Linggau Sumatera Selatan, 28-30 Juni 20004
Firman Muntaqo, Makalah Hak Ulayat (Tanah Marga) dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era Otonomi Daerah, Disampaikan pada Seminar BKS-PTN Wilayah Barat Tanggal 15-16 Mei 2001


                                                                                                                     




                   [1]  Dosen Fakultas Hukum Universitas IBA Palembang
[2] Ibid
[3] Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal, Kencana ,Jakrta, 2004, hal.1
   [4]http://andiansyah-hukumbisnis.blogspot.com/,diakses tanggal 19 April 2015, Pukul 10.00 Wib
[5]Supriyadi Amir, Sukses Membeli Tanah Tanpa Modal,Laskarkara, Bandung,2012, hlm. 92
[6] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan  Implrmentasi, kompas, Jakarta, 2005, hlm.57
   [7]   Soetandyo Wignyosoebroto, Tanah Negara, Tanah Adat yang Dinasionalisasi, Elsam, Jakarta, 1996, hlm. 22
[8] Op.cit
24 Husen Alting,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010, hlm. 30.
25 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia ,Jakarta:, 1993,hlm. 16

26 Merza Gamal, Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press , Pekanbaru,,2006,hlm..21

27 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas, Jakarta, 2005, hal.57
   28 A.Bazaar Harahap dkk,Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan,CV,Yani’s , Jakarta,2005,hlm.9
29 Ibid
  30 Ibid, hlm. 10
31  Firman Muntaqo,Hak Ulayat (Tanah Marga) Dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era Otonomi Daerah,Seminar KKS-PTN Wilayah Barat, 2001
32 Wawancara dengan Bapak Anwar masyarakat desa Bakung , tanggal 18 Februari 2015
33 Wawancara dengan H.Syaroji Karta Kepala Biro Hukum  PT.Bumi Rambang Kramajaya (PT.BRK) 9 Maret 2015
34 Wawancara dengan Bapak Syaroji Karta Kepala Biro Hukum PT.BRK, tanggal 9 Maret 2015