Kamis, 20 Agustus 2015

KEDUDUKAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERDASARKAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA



KEDUDUKAN  HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT
  DALAM PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERDASARKAN
PERUNDANG-UNDANGAN   DI INDONESIA

Oleh :
Erniwati,SH.,M.Hum[1]
Suryani Yusi,SH.,M.Hum[2]


ABSTRAK

Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat, yang disebut hak        ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat masih ada atau tidak, diatur melalui Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
        Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris, yaitu bentuk penelitan yang meneliti data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau di masyarakat.
Dari penelitian ini didapat bahwa pengakuan terhadap tanah masyarakat adat atau hak ulayat telah diakui oleh berapa perundang-undangan, sedangkan perlindungan hukum tanah adat di Sumatera Selatan belum ada Peraturan Daerah yang mengaturnya dan bila dihubungkan  dengan pembangunan perkebunan sipat pengakuannya masih dilakukan pemberian ganti kerugian  terhadap pemilik tanah adat.

Kata kunci : Pengaturan,Penguasaan, Tanah Adat



A.       Latar Belakang
Salah satu tujuan dari pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, dimana masyarakat yang adil dan makmr itu akan diwujudkan melalui pembangunan diberbagai bidang diantaranya bidang ekonomi.[3] Usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk melancarkan pembangunan di bidang ekonomi salah satunya adalah di bidang perkebunan.
 Definisi Perkebunan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan adalah
 “Segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

  Dari Pasal 1 ayat 1  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 ini dapat diketahui bahwa perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. [4]
Pengembangan perkebunan dilaksanakan berdasarkan kultur teknis perkebunan dalam kerangka pengelolaan yang mempunyai manfaat ekonomi terhadap sumber daya alam yang berkesinambungan. Pengembangan perkebunan yang berkesinambungan tersebut akan memberikan manfaat peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara optimal, melalui kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya alam, modal, informasi, teknologi, dan manajemen. Apabila akses tersebut terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia, akan menciptakan hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara pelaku usaha perkebunan, masyarakat pemilik lahan serta masyarakat sekitar perkebunan.
Namun demikian, hubungan harmonis yang diharapkan  antara investor dan pemilik lahan seringkali tidak terjadi  sehingga menimbulkan  masalah pertanahan yang terjadi antara perusahaan dengan perorangan, maupun dengan kelompok masyarakat sekitar perkebunan. Permasalahan pertanahan di Indonesia umumnya dan Sumatera Selatan khususnya seringkali berujung dengan konflik hukum (perselisihan/sengketa) yang membuat keadaan menjadi tidak kondusif dan tidak nyaman bagi para pihak yang mengalaminya.[5]
Penyebab lain yang sering menimbulkan sengketa pertanahan adalah   masalah penguasaan tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat. Masyarakat adat tidak hanya meyakini dirinya sebagai penguasa tanah sejak nenek moyang mereka,tetapi sebagai pemilik tanah atas dasar hukum adat yang mereka jalankan sehari-hari,sehingga cukup kuat untuk dipertahankan kepenguasaan dan atau kepemilikannya sedangkan tanah tersebut dibutuhkan oleh usaha perkebunan. Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat, yang disebut hak        ulayat.
Pengertian hak ulayat menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, adalah

  “ Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.


  Dari pengertian  di atas  dapat diambil pengertian, bahwa hak ulayat diakui, apabila dalam kenyataanya memang masih. Pengakuan adanya hak ulayat terdapat di dalam,   Pasal 3 No. 5 Tahun  1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbuyi :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi”.
   
Namun demikian, pengakuan terhadap hak ulayat masih ada atau tidak, diatur melalui Pasal 2 ayat (2)  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yakni:
a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari,dan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut

Sedangkan menurut Maria S.W. Sumardjono dalam bukunya “Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi” menjelaskan pula tentang kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus berdasarkan : :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.[6]

Pengakuan hak ulayat dalam peraturan di atas menjadi dasar yang kuat bagi kelompok masyarakat adat untuk menguasai, mengatur dan memanfaatkan tanah-tanah ulayatnya.
Kepemilikan tanah dalam masyarakat hukum adat terjadi secara ipso facto,artinya tanah dipandang sudah dikuasai apabila secara kasat inderawi telah nyata- nyata ditempati, dimanfaatkan dan diusahakan serta dirawat oleh orang baik sebagaipemukim atau penggarap.[7] Hal ini berarti bahwa kepastian hukum pemilikan tanah dalam hukum adat, tidak dapat dipahami menurut perspektif ipso jure sebagaimana yang dikehendaki oleh UUPA,melainkan harus dipahami menurut perspektif hukum adat itu sendiri.
Memahami kepastian hukum pemilikan tanah dalam hukum adat dengan menggunakan perspektif peraturan perundang-undangan, mengakibatkan kepemilikan tanah berdasarkan hukum adat menjadi tidak diakui.Hal ini dikarenakan pemiliknya tidak dapat memperlihatkan adanya cukup bukti hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain itu permasalahan pertanahan dapat juga muncul  dikarenakan adanya berbagai peraturan perundang-undangan  yang memfasilitasi sektor pemerintah maupun sektor swasta untuk memperoleh tanah dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya. Salah satu upaya pemerintah tersebut  dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 36 Tahun  2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang diganti dengan Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. [8]
Pada awalnya PP No.36 Tahun 2005 menuai kontroversi yang bersumber pada definisi kepentingan umum yang terlalu luas dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya diambil alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan umum.Namun dengan dikeluarkannya Perpres no. 71 Tahun 2012 tentang Perubahan Perpres No. 36  Tahun 2005, definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan berkepastian hukum.
  Berbagai skema kerjasamapun dirumuskan untuk memudahkan proses pengambialihan tanah dari masyarakat,antara lain skema inti-plasma,koperasi, jual beli,konsolidasi tanah maupun kompensasi, seharusnya pemberian Hak Guna Usaha oleh pemerintah hendaknya tetap bertujuan untuk kemakmuran rakyat dengan cara tetap mempertahankan akses rakyat terhadap tanah tersebut bahkan harus memfasilitasi untuk dapat memanfaatkan tanah sehingga tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara pengusaha dan pemilik tanah bahkan masyarakat dimana perkebunan itu berada.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis ingin melakukan penulisan dalam bentuk proposal penelitian dengan judul “Kedudukan  Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat  Dalam Pembangunan Perkebunan Berdasarkan Perundang-Undangan   Di Indonesia”.

B.       Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini peneliti mengangkat dua permasalahan, yaitu :
1.    Bagaimana pengaturan hukum pertanahan hak atas tanah masyarakat hukum adat berdasarkan perundang-undangan di Indonesia?
2.    Bagaimana perlindungan hukum hak atas tanah masyarakat hukum adat di Sumatera Selatan?

C.Pembahasan

A. Pengaturan Hukum Pertanahan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Berdasarkan Perundang-Undangan Di Indonesia

Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut:
Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.24

   Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, masyarakat adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
  Salah satu bentuk hak masyarakat hukum adat adalah hak atas tanah adat .Secara umum,hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: "hak ulayat" dan "hak pakai". Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai. Sebidang tanah bagi kepentingannya biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.25
Sementara Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu: hak persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah. Perbedaannya adalah sebagai berikut:
1.Hak persekutuan atau hak pertuanan mempunyai akibat keluar dan kedalam. Akibat ke dalam antara lain emperbolehkan anggota persekutuan (etnik, sub etnik, atau fam) untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di atasnya, misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun menggembalakan ternak. Izin hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, bukan untuk diperdagangkan. Akibat keluar ialah larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie), serta larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang-orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian.

2.Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland bezitrecht), dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan.

3.Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil. Tanah ini secara prinsip adalah milik komunal esatuan etnik, namun setiap orang dapat memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaman di atas tanah tersebut.26

Pengakuan terhadap tanah masyarakat hukum adat dan hak-haknya dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 22 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 56, Pasal 58 UUPA, Pasal VI dan Pasal VII ketentuan Konversi. Disamping itu keberadaan hukum adat juga dapat dijumpai pada konsideran dan penjelasan UUPA,Pasal 67 ayat 1  UU.No.41 Tahun  1999    Tentang Kehutanan, Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada Pasal 28i ayat (3) (Amandemen Kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”.
.          Pasal 2 ayat (4) UUPA dinyatakan bahwa :“Hak menguasai dari Negara di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”.
            Pasal 3 UUPA diatur bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai  dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan undang- undang dan peraturan yang lebih tinggi, tetap diakui.
                 Selanjutnya Pasal 5 UUPA menegaskan bahwa :
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya segala sesuatunya dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

 Pada Penjelasan Umum bagian II angka 2 menyebutkan bahwa:

 “......Negara sebagai organisasi kekuasan dari seluruh rakyat/bangsa bertindak selaku Badan Penguasa, sehingga disebutkan bahwa pada tingkatan tertinggi tanah (bumi, air dan ruang angkasa) “dikuasai” oleh Negara, bukan dimiliki oleh Negara. Kekuasaan Negara dimaksud meliputi semua bumi, air dan ruang angkasa baik yang sudah ada hak maupun yang belum.

           Kedudukan Hak Ulayat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu;
       Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan  secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Unsur-unsur hak ulayat sebagaimana termuat didalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tersebut yaitu :
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adanya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga  persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan  penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga  persekutuan hukum tersebut. Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, dalam hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dan memenuhi unsur-unsur dan kriteria hak ulayat dalam hukum adat suatu masyarakat dalam suatu wilayah

Bentuk pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan hukum adat juga dijamin oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dalam Penjelasan pasal 4 ayat 2 dari Undang Undang tersebut menyatakan bahwa :
 Penggantian yang layak diberikan pada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan dan atau ruang yang dapat mebuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun atas dasar hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.

 Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu : di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa.
Namun demikian kita juga harus mengakui syarat kriteria penentu masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, yaitu :
1.  Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat
3.  Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.27

b. Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Di Sumatera Selatan
Sejak zaman dahulu tiap daerah di Indoneia mempunyai adat istiadat yang kokoh yang mencakup segala bidang termasuk mengenai masalah pertanahan.28 Baik dusun ataupun desa pada zaman dahulu mempunyai wilayah sendiri-sendiri dengan batas-batas sendiri pula, wilayah-wilayah tanah masyarakat hukum adat(tanah ulayat) tersebut harus diartikan minus tanah pribadi dan tanah Negara.29

Pengertian hak ulayat menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, adalah

    Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.


Tanah ulayat ada yang berstatus kuat  dan ada yang berstatus lemah dalam hal kepemilikan.Masuknya hukum kolonial ke tanah air membawa perubahan  kepemilikan atas tanah, antara lain dengan adanya ketentuan undang-undang , misalnya tentang hutan lindung,tidak dapat disebut lagi tanah ulayat dan dengan keluarnya UUPA No.5 Tahun 1960  maka tanah ulayat  dapat diartikan sebagai tanah minus Negara , walaupun kenyataannya tumpang tindih dengan Negara.30
Di dalam perkembangannya tanah ulayat atau tanah adat semakin terdesak oleh peraturan yang tertulis diharapkan walaupun hukum adat tidak tertulis, namun pengaturan-pengaturan mendasar perlu dibuat secara tertulis untuk dijadikan pegangan masyarakat, setidaknya dengan adanya Peraturan Daerah oleh Pemda setempat.
Namun demikian berdasarkan wawancara dengan Kabag Peraturan Perundang-undangan Ibu Hj.Ning Agustini mengatakan Sumatera Selatan belum mempunyai Peraturan Daerah mengenai tanah adat tersebut, hal ini dikarenakan  dengan adanya Undang-Undang  Nomor. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa maka menghapuskan marga di Sumatera Selatan , hal ini mengakibatkan kelembagaan adat marga yang dahulu berfungsi mengatur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan pengawasan terhadap tanah marga menjadi tidak efektif.
Dalam sistim pemerintahan desa, maka kepala desa tidak sekaligus berkedudukan sebagai ketua adat. Kepala desa tidak menggantikan kedudukan Pasirah, dan tidak mempunyai kewenangan  di bidang pertanahan untuk memimpin, mengawasi dan mengendalikan penggunaan  tanah berdasarkan hukum adat. Hal demikianlah yang menyebabkan  anomaly/terjadinya ketidakpastian di bidang hukum pertanahan,  timbul sengketa  tanah diberbagai daerah di Sumatera Selatan, terutama yang berkaitan dengan perluasan usaha di bidang perkebunan.31
Sebagai contoh pembangunan perkebunan karet yang mempergunakan tanah masyarakat adalah PT.Bumi Rambang Kramajaya (PT.BRK) yang berada di Ogan Ilir Sumatera Selatan.
Menurut keterangan Bapak Sahirun warga Desa Tambangan Rambang mengatakan bahwa pembangunan perkebunan PT. BRK menggunakan tanah adat hal ini dikarenakan tanah tersebut warisan dari nenek puyang mereka, sedangkan menurut analisa penulis sepertinya masyarakat kurang memahami pengertian dari tanah adat, apa yang mereka katakan warisan tanah dari nenek puyang mereka berpikir itulah tanah adat padahal kenyataannya warisan yang diberikan oleh nenek puyang mereka sudah berbentuk perorangan, jadi tanah tersebut sudah dimiliki atau diwariskan secara perorangan menurut peraturan yang berlaku. Berdasarkan keterangan di atas menurut penulis hendaknya masyarakat harus mengetahui terlebih dahulu apa yang namanya tanah adat atau tanah ulayat.
Penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun. Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat
Namun demikian , penyelesaian masalah perkebunan yang menggunakan tanah masyarakat  itu diupayakan tetap dilakukan  pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan .Menurut  Kepala Biro Hukum  PT.BRK Bapak H.Syaroji Karta diberikan secara musyawarah dan mufakat beserta tim yang ditugaskan oleh Bupati KDH TK.II OKI No. 101/2973/I/1994 tanggal 17 September 1994, begitu juga dalam pembangunan perkebunan PT.Patra Tani , menurut keterangan dari Bapak Anwar warga Desa Bakung, tanah  masyarakat yang  masuk dalam areal perkebunan juga diberikan ganti kerugian namun ada juga masyarakat yang tidak puas dengan penggantian tersebut.32
Mengenai jumlah pemberian ganti kerugian menurut Kepala Biro Hukum PT.Bumi Rambang Kramajaya meliputi :
1.    Musyawarah dilakukan secara langsung antara tim pembebasan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan yang sebainya didampingi oleh Kepala Desa atau Camat.
2.    Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif,musyawarah dapat dilaksanakan bergiliran secaraparsial atau dengan wakil yang ditunjuk di antara dan oleh mereka
3.    Dalam hal musyawarah dilaksanakan melalui perwakilan penunjukan wakil dibuat dalam bentuk surat kuasa yang diketahui oleh Kepala Desa setempat.33

Setelah musyawarah diadakan dan tercapai kata sepakat mengenai harga dan besarnya ganti kerugian, maka proses selanjutnya adalah pembayaran ganti kerugian yang pelaksanaannnya harus dilakukan secara leangsung antara perusahaan sebagai pembeli kepada pemilik tanah.
Untuk pembayaran tersebut selain penjual menandatangani bukti pembayaran yang diketahui oleh Kepala Desa untuk orang tersebut dibuatkan photo diri dengan tulisan nama,luas tanah yang dijual,harga tanah dan nama desa,hal l ini berguna untuk dokumen apabila ada gugatan dikemudian hari.
Pembayaran ganti rugi tersebut menurut Bapak H.Syaroji Karta Kepala Biro Hukum PT.BRK disertai dengan penyerahan atau pelepasan hak atas tanah secara tertulis dihadapan Lurah atau Kepala Desa dan Camat setempat dan sebagai bukti pembayaran dibuatkan acara penyerahan atau pelepasan hak atas tanah.

Berdasarkan paparan di atas , untuk perlindungan terhadap rakyat pihak perkebunan hanya memberikan ganti kerugian terhadap semua tanah yang berada diwilayah perkebunan walaupun tanah tersebut tidak mempunyai sertifikat atau surat keterangan lain. Pemberian ganti kerugian terhadap kasus tersebut hanya didasarkan pada pengakuan terhadap kepemilikan tanah saja dan bukan berarti pengganti kerugian tersebut pihak perkebunan mengakui adanya tanah ulayat masyarakat.34


DAFTAR PUSTAKA


Achmad Sodiki, 2013,Politik Hukum Agraria,Konstitusi Press,Jakarta

Aminuddin Ilmar, 2004,Hukum Penanaman Modal, Kencana ,Jakarta

Eddy Ruchiyat, 1984,Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni,Bandung

Husen Alting, 2010,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo

Irene Eka Sihombing, 2005,Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Trisakti, ,Jakarta

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media,Jakarta

Keraf, A.S., 2010,,Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Maria S.W. Sumardjono, 2005,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas, Jakarta

Merza Gamal, 2006,Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press , Pekanbaru)

M.Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta

Ningrat, A.A.. Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional Di Halimun Selatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Sebuah Studi Pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan Adat Banten Kidul, Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)., 2004

Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1993,Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia ,Jakarta

 Rinto Manulang, 2011 ,Segala Hal Tentang Tanah Rumah dan Perizinannya,Buku Pintar,Suka Buku, cetakan ke-1,Yogyakarta ,

Soetandyo Wignyosoebroto, 1996, Tanah Negara, Tanah Adat yang Dinasionalisasi, Elsam, Jakarta

R.Soeprapto, 20000,Undang-Undang Pokok Agraria Dalam  Praktek,Mitra Sari,Jakarta

  Supriyadi Amir, 2012, Sukses Membeli Tanah Tanpa Modal,Laskarkara, Bandung

PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Hukum Agraria

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan  dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ullayat masyarakat hukum Adat.



INTERNET DAN MAKALAH


Albar S. Subari, Pemberdayaan  Masyarakat Adat, disampaikan pada workshop III, Lubuk Linggau Sumatera Selatan, 28-30 Juni 20004
Firman Muntaqo, Makalah Hak Ulayat (Tanah Marga) dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era Otonomi Daerah, Disampaikan pada Seminar BKS-PTN Wilayah Barat Tanggal 15-16 Mei 2001
DAFTAR PUSTAKA


Achmad Sodiki, 2013,Politik Hukum Agraria,Konstitusi Press,Jakarta

Aminuddin Ilmar, 2004,Hukum Penanaman Modal, Kencana ,Jakarta

Eddy Ruchiyat, 1984,Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni,Bandung

Husen Alting, 2010,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo

Irene Eka Sihombing, 2005,Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Trisakti, ,Jakarta

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media,Jakarta

Keraf, A.S., 2010,,Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Maria S.W. Sumardjono, 2005,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas, Jakarta

Merza Gamal, 2006,Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press , Pekanbaru)

M.Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta

Ningrat, A.A.. Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional Di Halimun Selatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Sebuah Studi Pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan Adat Banten Kidul, Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)., 2004

Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1993,Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia ,Jakarta

 Rinto Manulang, 2011 ,Segala Hal Tentang Tanah Rumah dan Perizinannya,Buku Pintar,Suka Buku, cetakan ke-1,Yogyakarta ,

Soetandyo Wignyosoebroto, 1996, Tanah Negara, Tanah Adat yang Dinasionalisasi, Elsam, Jakarta

R.Soeprapto, 20000,Undang-Undang Pokok Agraria Dalam  Praktek,Mitra Sari,Jakarta

  Supriyadi Amir, 2012, Sukses Membeli Tanah Tanpa Modal,Laskarkara, Bandung

PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Hukum Agraria

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan  dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ullayat masyarakat hukum Adat.



INTERNET DAN MAKALAH


Albar S. Subari, Pemberdayaan  Masyarakat Adat, disampaikan pada workshop III, Lubuk Linggau Sumatera Selatan, 28-30 Juni 20004
Firman Muntaqo, Makalah Hak Ulayat (Tanah Marga) dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era Otonomi Daerah, Disampaikan pada Seminar BKS-PTN Wilayah Barat Tanggal 15-16 Mei 2001


                                                                                                                     




                   [1]  Dosen Fakultas Hukum Universitas IBA Palembang
[2] Ibid
[3] Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal, Kencana ,Jakrta, 2004, hal.1
   [4]http://andiansyah-hukumbisnis.blogspot.com/,diakses tanggal 19 April 2015, Pukul 10.00 Wib
[5]Supriyadi Amir, Sukses Membeli Tanah Tanpa Modal,Laskarkara, Bandung,2012, hlm. 92
[6] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan  Implrmentasi, kompas, Jakarta, 2005, hlm.57
   [7]   Soetandyo Wignyosoebroto, Tanah Negara, Tanah Adat yang Dinasionalisasi, Elsam, Jakarta, 1996, hlm. 22
[8] Op.cit
24 Husen Alting,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010, hlm. 30.
25 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia ,Jakarta:, 1993,hlm. 16

26 Merza Gamal, Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press , Pekanbaru,,2006,hlm..21

27 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas, Jakarta, 2005, hal.57
   28 A.Bazaar Harahap dkk,Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan,CV,Yani’s , Jakarta,2005,hlm.9
29 Ibid
  30 Ibid, hlm. 10
31  Firman Muntaqo,Hak Ulayat (Tanah Marga) Dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era Otonomi Daerah,Seminar KKS-PTN Wilayah Barat, 2001
32 Wawancara dengan Bapak Anwar masyarakat desa Bakung , tanggal 18 Februari 2015
33 Wawancara dengan H.Syaroji Karta Kepala Biro Hukum  PT.Bumi Rambang Kramajaya (PT.BRK) 9 Maret 2015
34 Wawancara dengan Bapak Syaroji Karta Kepala Biro Hukum PT.BRK, tanggal 9 Maret 2015

1 komentar: