KEDUDUKAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT
DALAM PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERDASARKAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Oleh :
Erniwati,SH.,M.Hum[1]
Suryani
Yusi,SH.,M.Hum[2]
ABSTRAK
Konsep
penguasaan tanah berdasarkan hukum adat, yang disebut hak ulayat. Pengakuan
terhadap hak ulayat masih ada atau tidak, diatur melalui Pasal 2 ayat (2)
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris, yaitu
bentuk penelitan yang meneliti data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan
penelitian terhadap data primer di lapangan atau di masyarakat.
Dari penelitian ini didapat bahwa pengakuan
terhadap tanah masyarakat adat atau hak ulayat telah diakui oleh berapa
perundang-undangan, sedangkan perlindungan hukum tanah adat di Sumatera Selatan
belum ada Peraturan Daerah yang mengaturnya dan bila dihubungkan dengan pembangunan perkebunan sipat
pengakuannya masih dilakukan pemberian ganti kerugian terhadap pemilik tanah adat.
Kata kunci : Pengaturan,Penguasaan, Tanah Adat
A. Latar
Belakang
Salah
satu tujuan dari pembangunan nasional adalah untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur, dimana masyarakat yang adil dan makmr
itu akan diwujudkan melalui pembangunan diberbagai bidang diantaranya bidang
ekonomi.[3] Usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk
melancarkan
pembangunan di bidang ekonomi salah satunya adalah di bidang perkebunan.
Definisi
Perkebunan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan adalah
“Segala kegiatan yang mengusahakan
tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang
sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat”.
Dari Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 ini dapat diketahui bahwa perkebunan
mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional,
terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan
devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya
saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam
negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. [4]
Pengembangan
perkebunan dilaksanakan berdasarkan kultur teknis perkebunan dalam kerangka
pengelolaan yang mempunyai manfaat ekonomi terhadap sumber daya alam yang
berkesinambungan. Pengembangan perkebunan yang berkesinambungan tersebut akan
memberikan manfaat peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
optimal, melalui kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses terhadap sumber
daya alam, modal, informasi, teknologi, dan manajemen. Apabila akses tersebut terbuka
bagi seluruh rakyat Indonesia,
akan
menciptakan
hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara pelaku usaha perkebunan,
masyarakat pemilik lahan serta masyarakat sekitar perkebunan.
Namun demikian, hubungan harmonis yang
diharapkan antara investor dan pemilik
lahan seringkali tidak terjadi sehingga
menimbulkan masalah pertanahan yang
terjadi antara perusahaan dengan perorangan, maupun dengan kelompok masyarakat
sekitar perkebunan. Permasalahan
pertanahan di Indonesia umumnya dan Sumatera Selatan khususnya seringkali
berujung dengan konflik hukum (perselisihan/sengketa) yang membuat keadaan
menjadi tidak kondusif dan tidak nyaman bagi para pihak yang mengalaminya.[5]
Penyebab lain yang sering menimbulkan sengketa pertanahan adalah masalah penguasaan tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat. Masyarakat adat tidak hanya meyakini dirinya sebagai penguasa tanah sejak
nenek moyang mereka,tetapi sebagai pemilik tanah atas dasar hukum adat yang mereka jalankan sehari-hari,sehingga cukup kuat untuk dipertahankan kepenguasaan dan atau kepemilikannya sedangkan tanah tersebut dibutuhkan oleh usaha perkebunan. Konsep penguasaan tanah berdasarkan
hukum adat, yang disebut hak ulayat.
Pengertian hak ulayat menurut Pasal 1 Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, adalah
“ Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Dari pengertian di atas
dapat diambil
pengertian, bahwa hak ulayat diakui, apabila dalam kenyataanya memang masih. Pengakuan adanya hak ulayat terdapat di dalam, Pasal 3 No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
yang berbuyi :
“Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain
yang lebih tinggi”.
Namun demikian, pengakuan terhadap hak ulayat masih
ada atau tidak, diatur melalui Pasal 2 ayat (2)
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, yakni:
a. terdapat
sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b. terdapat
tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan
hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari,dan
c. terdapat
tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat
yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut
Sedangkan menurut Maria S.W. Sumardjono
dalam bukunya “Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi”
menjelaskan pula tentang kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus berdasarkan : :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang
memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat
2. Adanya tanah/wilayah dengan
batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum
adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.[6]
Pengakuan hak ulayat dalam
peraturan di atas menjadi dasar yang kuat bagi kelompok masyarakat adat untuk
menguasai, mengatur dan memanfaatkan tanah-tanah ulayatnya.
Kepemilikan
tanah dalam masyarakat hukum adat terjadi secara ipso facto,artinya
tanah dipandang sudah dikuasai apabila secara kasat inderawi telah nyata- nyata ditempati, dimanfaatkan dan
diusahakan serta dirawat oleh orang baik sebagaipemukim atau penggarap.[7] Hal ini berarti bahwa kepastian hukum
pemilikan tanah dalam
hukum adat, tidak dapat dipahami menurut perspektif ipso jure sebagaimana yang dikehendaki oleh
UUPA,melainkan harus dipahami menurut perspektif hukum
adat itu sendiri.
Memahami
kepastian hukum pemilikan tanah dalam hukum adat dengan menggunakan perspektif peraturan
perundang-undangan, mengakibatkan
kepemilikan
tanah berdasarkan hukum adat menjadi tidak diakui.Hal ini dikarenakan pemiliknya tidak dapat
memperlihatkan adanya cukup bukti hak
atas
tanah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain itu permasalahan pertanahan dapat juga muncul dikarenakan adanya berbagai peraturan
perundang-undangan yang memfasilitasi
sektor pemerintah maupun sektor swasta untuk memperoleh tanah dalam rangka
melaksanakan kegiatan usahanya. Salah satu upaya pemerintah
tersebut dengan mengeluarkan Peraturan
Presiden No 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang
diganti dengan Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. [8]
Pada awalnya PP
No.36 Tahun 2005
menuai kontroversi yang bersumber pada definisi kepentingan umum yang terlalu
luas dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya diambil alih untuk
kegiatan pembangunan demi kepentingan umum.Namun dengan dikeluarkannya Perpres
no. 71 Tahun 2012 tentang Perubahan Perpres No. 36 Tahun 2005,
definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan berkepastian hukum.
Berbagai skema kerjasamapun dirumuskan untuk memudahkan proses pengambialihan tanah dari masyarakat,antara lain skema inti-plasma,koperasi, jual beli,konsolidasi tanah maupun kompensasi, seharusnya
pemberian Hak Guna Usaha oleh pemerintah hendaknya tetap bertujuan untuk
kemakmuran rakyat dengan cara tetap mempertahankan akses rakyat terhadap tanah
tersebut bahkan harus memfasilitasi untuk dapat memanfaatkan tanah sehingga
tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara pengusaha dan pemilik tanah
bahkan masyarakat dimana perkebunan
itu berada.
Berdasarkan
latar belakang di atas penulis ingin melakukan penulisan dalam bentuk proposal
penelitian dengan judul “Kedudukan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dalam Pembangunan Perkebunan Berdasarkan
Perundang-Undangan Di Indonesia”.
B.
Permasalahan
Berdasarkan uraian di
atas, dalam penelitian ini peneliti mengangkat dua permasalahan, yaitu :
1.
Bagaimana
pengaturan hukum pertanahan hak atas tanah masyarakat hukum adat berdasarkan
perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan hukum hak atas tanah masyarakat hukum adat di Sumatera Selatan?
C.Pembahasan
A. Pengaturan Hukum Pertanahan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Berdasarkan Perundang-Undangan Di Indonesia
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van
Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar
memberikan pengertian sebagai berikut:
Masyarakat hukum adat
adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu,
mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda
yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan
masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar
menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai
pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk
selama-lamanya.24
Sedangkan menurut
Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat, masyarakat adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan
tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Salah satu bentuk hak masyarakat hukum adat
adalah hak atas tanah adat .Secara umum,hak
atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia dapat dibedakan
atas dua bentuk, yaitu: "hak ulayat" dan "hak pakai". Hak
ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk
berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat
pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat
tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai
sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat
atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau
mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali
bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah
ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai.
Sebidang tanah bagi kepentingannya biasanya terhadap tanah sawah dan ladang
yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.25
Sementara Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu:
hak persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah.
Perbedaannya adalah sebagai berikut:
1.Hak persekutuan atau hak
pertuanan mempunyai akibat keluar dan kedalam. Akibat ke dalam antara lain
emperbolehkan anggota persekutuan (etnik, sub etnik, atau fam) untuk menarik
keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di atasnya, misalnya mendirikan
rumah, berburu, maupun menggembalakan ternak. Izin hanya sekedar dipergunakan
untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, bukan untuk diperdagangkan.
Akibat keluar ialah larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari
tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan
(recognitie), serta larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat
terhadap orang-orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian.
2.Hak perorangan atas tanah
adat terdiri dari hak milik adat (inland
bezitrecht), dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus
menerus diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata
dan diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin
menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat
dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah
tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan.
3.Hak memungut hasil tanah
(genotrecht) dan hak menarik hasil.
Tanah ini secara prinsip adalah milik komunal esatuan etnik, namun setiap orang
dapat memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaman di atas
tanah tersebut.26
Pengakuan terhadap tanah masyarakat hukum adat dan hak-haknya
dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) Pasal 2 ayat (4), Pasal
3, Pasal 5, Pasal 22 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 56, Pasal 58 UUPA,
Pasal VI dan Pasal VII ketentuan Konversi. Disamping itu keberadaan hukum adat
juga dapat dijumpai pada konsideran dan penjelasan UUPA,Pasal 67 ayat 1 UU.No.41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan, Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan
Ruang
Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada Pasal 28i ayat (3) (Amandemen Kedua)
menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”.
.
Pasal 2 ayat (4) UUPA dinyatakan bahwa :“Hak
menguasai dari Negara di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah”.
Pasal 3 UUPA diatur bahwa
pelaksanaan hak ulayat dan hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara serta tidak bertentangan dengan undang- undang dan peraturan yang lebih
tinggi, tetap diakui.
Selanjutnya Pasal 5 UUPA
menegaskan bahwa :
“Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya segala sesuatunya dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama”.
Pada Penjelasan Umum bagian II angka 2
menyebutkan bahwa:
“......Negara sebagai organisasi kekuasan dari
seluruh rakyat/bangsa bertindak selaku Badan Penguasa, sehingga disebutkan
bahwa pada tingkatan tertinggi tanah (bumi, air dan ruang angkasa) “dikuasai”
oleh Negara, bukan dimiliki oleh Negara. Kekuasaan Negara dimaksud meliputi
semua bumi, air dan ruang angkasa baik yang sudah ada hak maupun yang belum.
Kedudukan Hak Ulayat
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5
Tahun 1999 ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu;
Hak ulayat dan yang serupa itu dari
masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenagan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat
dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan.
Unsur-unsur hak ulayat sebagaimana termuat didalam
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999
tersebut yaitu :
1.
Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat
oleh tatanan hukum adanya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
2.
Terdapat tanah ulayat tertentu yang
menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan
hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.
3.
Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan,
penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang
berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Bahwa
berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999,
dalam hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat sepanjang
kenyataannya masih ada dan memenuhi unsur-unsur dan kriteria hak ulayat dalam
hukum adat suatu masyarakat dalam suatu wilayah
Bentuk pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan hukum adat juga dijamin
oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dalam Penjelasan
pasal 4 ayat 2 dari Undang Undang tersebut menyatakan bahwa :
Penggantian yang layak diberikan pada orang
yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam
seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan dan atau ruang yang dapat mebuktikan
bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan
sesuai dengan rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang. Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan
ataupun atas dasar hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.
Dengan adanya berbagai
peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah dikemukakan di atas,
seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu : di satu pihak
peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan
pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan
suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh
pemerintah atau penguasa.
Namun demikian kita juga harus mengakui syarat
kriteria
penentu masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, yaitu :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi
ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat
2. Adanya tanah/wilayah dengan
batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu.27
b. Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah
Masyarakat Hukum Adat Di Sumatera Selatan
Sejak zaman dahulu tiap daerah di Indoneia mempunyai adat istiadat yang
kokoh yang mencakup segala bidang termasuk mengenai masalah pertanahan.28 Baik dusun ataupun desa pada zaman
dahulu mempunyai wilayah sendiri-sendiri dengan batas-batas sendiri pula,
wilayah-wilayah tanah masyarakat hukum adat(tanah ulayat) tersebut harus
diartikan minus tanah pribadi dan tanah Negara.29
Pengertian hak ulayat menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, adalah
“ Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Tanah ulayat ada yang berstatus kuat
dan ada yang berstatus lemah dalam hal kepemilikan.Masuknya hukum
kolonial ke tanah air membawa perubahan
kepemilikan atas tanah, antara lain dengan adanya ketentuan
undang-undang , misalnya tentang hutan lindung,tidak dapat disebut lagi tanah
ulayat dan dengan keluarnya UUPA No.5 Tahun 1960 maka tanah ulayat dapat diartikan sebagai tanah minus Negara ,
walaupun kenyataannya tumpang tindih dengan Negara.30
Di dalam perkembangannya tanah ulayat atau tanah adat semakin terdesak
oleh peraturan yang tertulis diharapkan walaupun hukum adat tidak tertulis,
namun pengaturan-pengaturan mendasar perlu dibuat secara tertulis untuk
dijadikan pegangan masyarakat, setidaknya dengan adanya Peraturan Daerah oleh
Pemda setempat.
Namun demikian berdasarkan wawancara dengan Kabag Peraturan
Perundang-undangan Ibu Hj.Ning Agustini mengatakan Sumatera Selatan belum
mempunyai Peraturan Daerah mengenai tanah adat tersebut, hal ini
dikarenakan dengan adanya
Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1979
Tentang Pemerintahan Desa maka menghapuskan marga di Sumatera Selatan , hal ini
mengakibatkan kelembagaan adat marga yang dahulu berfungsi mengatur penguasaan,
pemilikan, pemanfaatan dan pengawasan terhadap tanah marga menjadi tidak
efektif.
Dalam sistim pemerintahan desa, maka kepala desa tidak sekaligus
berkedudukan sebagai ketua adat. Kepala desa tidak menggantikan kedudukan
Pasirah, dan tidak mempunyai kewenangan
di bidang pertanahan untuk memimpin, mengawasi dan mengendalikan
penggunaan tanah berdasarkan hukum adat.
Hal demikianlah yang menyebabkan
anomaly/terjadinya ketidakpastian di bidang hukum pertanahan, timbul sengketa tanah diberbagai daerah di Sumatera Selatan,
terutama yang berkaitan dengan perluasan usaha di bidang perkebunan.31
Sebagai contoh pembangunan perkebunan karet yang mempergunakan tanah
masyarakat adalah PT.Bumi Rambang Kramajaya (PT.BRK) yang berada di Ogan Ilir
Sumatera Selatan.
Menurut keterangan Bapak Sahirun warga Desa Tambangan Rambang mengatakan
bahwa pembangunan perkebunan PT. BRK menggunakan tanah adat hal ini dikarenakan
tanah tersebut warisan dari nenek puyang mereka, sedangkan menurut analisa
penulis sepertinya masyarakat kurang memahami pengertian dari tanah adat, apa
yang mereka katakan warisan tanah dari nenek puyang mereka berpikir itulah
tanah adat padahal kenyataannya warisan yang diberikan oleh nenek puyang mereka
sudah berbentuk perorangan, jadi tanah tersebut sudah dimiliki atau diwariskan
secara perorangan menurut peraturan yang berlaku. Berdasarkan keterangan di
atas menurut penulis hendaknya masyarakat harus mengetahui terlebih dahulu apa
yang namanya tanah adat atau tanah ulayat.
Penguasaan
tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan
tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian pemerintah dihadapkan
pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak
perkebunan yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu
rakyat tidak memilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya.
Hal ini terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang
disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah
merupakan hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak
penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara
turun-temurun. Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan
tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk
melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan.
Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang
keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat
Namun
demikian , penyelesaian masalah perkebunan yang menggunakan tanah masyarakat itu diupayakan tetap dilakukan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak
perkebunan .Menurut Kepala Biro Hukum PT.BRK Bapak H.Syaroji Karta diberikan secara
musyawarah dan mufakat beserta tim yang ditugaskan oleh Bupati KDH TK.II OKI
No. 101/2973/I/1994 tanggal 17 September 1994, begitu juga dalam pembangunan
perkebunan PT.Patra Tani , menurut keterangan dari Bapak Anwar warga Desa
Bakung, tanah masyarakat yang masuk dalam areal perkebunan juga diberikan
ganti kerugian namun ada juga masyarakat yang tidak puas dengan penggantian
tersebut.32
Mengenai jumlah pemberian ganti kerugian menurut Kepala Biro Hukum
PT.Bumi Rambang Kramajaya meliputi :
1. Musyawarah dilakukan secara
langsung antara tim pembebasan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dan
pemilik bangunan, tanaman atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang
bersangkutan yang sebainya didampingi oleh Kepala Desa atau Camat.
2. Dalam hal jumlah pemegang
hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang terkait
dengan tanah yang bersangkutan tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah
secara efektif,musyawarah dapat dilaksanakan bergiliran secaraparsial atau
dengan wakil yang ditunjuk di antara dan oleh mereka
3. Dalam hal musyawarah
dilaksanakan melalui perwakilan penunjukan wakil dibuat dalam bentuk surat
kuasa yang diketahui oleh Kepala Desa setempat.33
Setelah musyawarah diadakan
dan tercapai kata sepakat mengenai harga dan besarnya ganti kerugian, maka
proses selanjutnya adalah pembayaran ganti kerugian yang pelaksanaannnya harus
dilakukan secara leangsung antara perusahaan sebagai pembeli kepada pemilik
tanah.
Untuk pembayaran tersebut
selain penjual menandatangani bukti pembayaran yang diketahui oleh Kepala Desa
untuk orang tersebut dibuatkan photo diri dengan tulisan nama,luas tanah yang
dijual,harga tanah dan nama desa,hal l ini berguna untuk dokumen apabila ada
gugatan dikemudian hari.
Pembayaran ganti rugi
tersebut menurut Bapak H.Syaroji Karta Kepala Biro Hukum PT.BRK disertai dengan
penyerahan atau pelepasan hak atas tanah secara tertulis dihadapan Lurah atau
Kepala Desa dan Camat setempat dan sebagai bukti pembayaran dibuatkan acara
penyerahan atau pelepasan hak atas tanah.
Berdasarkan paparan di atas
, untuk perlindungan terhadap rakyat pihak perkebunan hanya memberikan ganti
kerugian terhadap semua tanah yang berada diwilayah perkebunan walaupun tanah tersebut
tidak mempunyai sertifikat atau surat keterangan lain. Pemberian ganti kerugian
terhadap kasus tersebut hanya didasarkan pada pengakuan terhadap kepemilikan
tanah saja dan bukan berarti pengganti kerugian tersebut pihak perkebunan
mengakui adanya tanah ulayat masyarakat.34
Achmad Sodiki, 2013,Politik Hukum
Agraria,Konstitusi
Press,Jakarta
Aminuddin Ilmar, 2004,Hukum Penanaman
Modal,
Kencana ,Jakarta
Eddy
Ruchiyat, 1984,Politik
Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni,Bandung
Husen Alting, 2010,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo
Irene Eka Sihombing, 2005,Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Trisakti, ,Jakarta
Kartini
Muljadi, Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas
Tanah, Prenada Media,Jakarta
Keraf, A.S., 2010,,Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Maria S.W. Sumardjono, 2005,Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas, Jakarta
Merza
Gamal, 2006,Model Dinamika Sosial Ekonomi
Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan
Penerbit Universitas Riau (Unri Press , Pekanbaru)
M.Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum,
PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta
Ningrat, A.A.. Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional Di
Halimun Selatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Sebuah Studi
Pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan Adat Banten Kidul,
Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat)., 2004
Purnadi Purbacaraka dan
Ridwan Halim, 1993,Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia
Indonesia ,Jakarta
Rinto Manulang, 2011 ,Segala Hal Tentang
Tanah Rumah dan Perizinannya,Buku Pintar,Suka Buku, cetakan ke-1,Yogyakarta
,
Soetandyo Wignyosoebroto, 1996, Tanah Negara, Tanah Adat yang
Dinasionalisasi, Elsam, Jakarta
R.Soeprapto,
20000,Undang-Undang
Pokok Agraria Dalam Praktek,Mitra
Sari,Jakarta
Supriyadi Amir, 2012, Sukses Membeli
Tanah Tanpa Modal,Laskarkara,
Bandung
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum
Agraria
yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Hukum
Agraria
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ullayat masyarakat hukum
Adat.
INTERNET DAN
MAKALAH
Albar S. Subari,
Pemberdayaan Masyarakat Adat, disampaikan pada workshop III,
Lubuk Linggau Sumatera Selatan, 28-30 Juni 20004
Firman
Muntaqo, Makalah Hak Ulayat (Tanah Marga)
dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era Otonomi Daerah, Disampaikan pada
Seminar BKS-PTN Wilayah Barat Tanggal 15-16 Mei 2001
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sodiki, 2013,Politik Hukum
Agraria,Konstitusi
Press,Jakarta
Aminuddin Ilmar, 2004,Hukum Penanaman
Modal,
Kencana ,Jakarta
Eddy
Ruchiyat, 1984,Politik
Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni,Bandung
Husen Alting, 2010,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo
Irene Eka Sihombing, 2005,Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Trisakti, ,Jakarta
Kartini Muljadi,
Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah,
Prenada Media,Jakarta
Keraf, A.S., 2010,,Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Maria S.W. Sumardjono, 2005,Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas, Jakarta
Merza
Gamal, 2006,Model Dinamika Sosial Ekonomi
Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan
Penerbit Universitas Riau (Unri Press , Pekanbaru)
M.Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum,
PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta
Ningrat, A.A.. Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional Di
Halimun Selatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Sebuah Studi
Pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan Adat Banten Kidul,
Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat)., 2004
Purnadi Purbacaraka dan
Ridwan Halim, 1993,Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia
Indonesia ,Jakarta
Rinto Manulang, 2011 ,Segala Hal Tentang
Tanah Rumah dan Perizinannya,Buku Pintar,Suka Buku, cetakan ke-1,Yogyakarta
,
Soetandyo Wignyosoebroto, 1996, Tanah Negara, Tanah Adat yang
Dinasionalisasi, Elsam, Jakarta
R.Soeprapto,
20000,Undang-Undang
Pokok Agraria Dalam Praktek,Mitra
Sari,Jakarta
Supriyadi Amir, 2012, Sukses Membeli
Tanah Tanpa Modal,Laskarkara,
Bandung
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum
Agraria
yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Hukum
Agraria
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan
Desa
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ullayat masyarakat hukum
Adat.
INTERNET DAN
MAKALAH
Albar S. Subari,
Pemberdayaan Masyarakat Adat, disampaikan pada workshop III,
Lubuk Linggau Sumatera Selatan, 28-30 Juni 20004
Firman
Muntaqo, Makalah Hak Ulayat (Tanah Marga)
dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era Otonomi Daerah, Disampaikan pada
Seminar BKS-PTN Wilayah Barat Tanggal 15-16 Mei 2001
[2]
Ibid
[3] Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal, Kencana ,Jakrta,
2004, hal.1
[5]Supriyadi Amir, Sukses Membeli Tanah Tanpa Modal,Laskarkara,
Bandung,2012, hlm. 92
[6] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan
Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi,
kompas, Jakarta,
2005, hlm.57
24 Husen Alting,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah ,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010,
hlm. 30.
25 Purnadi Purbacaraka dan
Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia ,Jakarta:, 1993,hlm. 16
26 Merza Gamal, Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam:
Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit
Universitas Riau (Unri Press , Pekanbaru,,2006,hlm..21
27 Maria S.W. Sumardjono,
Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implrmentasi, kompas, Jakarta, 2005, hal.57
31 Firman Muntaqo,Hak Ulayat (Tanah Marga) Dan Pembangunan
Perkebunan Dalam Era Otonomi Daerah,Seminar
KKS-PTN Wilayah Barat, 2001
33 Wawancara
dengan H.Syaroji Karta Kepala Biro Hukum
PT.Bumi Rambang Kramajaya (PT.BRK) 9 Maret 2015
banyak kali daftar pustak nya
BalasHapus