Sabtu, 22 Agustus 2015

PERANAN MKDKI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK Oleh: Mahendra Kusuma, SH, M.Hum



PERANAN MKDKI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK
Oleh: Mahendra Kusuma, SH, M.Hum

ABSTRAK

Setiap tindakan dokter baik diagnostik maupun terapeutik akan selalu mengandung risiko yang melekat pada tindakan itu sendiri. Risiko yang dihadapi seorang dokter cukup jelas. Jika dia sudah salah dan terbukti kesalahannya, maka hal ini dapat mengakibatkan pasien cacat atau jiwanya tidak tertolong. Dalam kondisi demikian masyarakat cenderung menyalahkan dokter dan ada kecenderungan menuntut dokter. Tuntutan hukum terhadap dokter menimbulkan kegelisahan di kalangan dokter. Padahal tidak semua kesalahan dokter dapat dikategorikan sebagai malpraktik. Reputasi seorang dokter akan hancur jika tindakan medis yang ia lakukan berujung di pengadilan. Pemerintah cukup arif menyikapi hal ini yaitu dengan membentuk peradilan profesi yang keanggotaannya independen dan tidak hanya beranggotakan kalangan dokter saja namun juga profesi lain.



A.     Pendahuluan

Saat ini, profesi kedokteran di negara kita sering menjadi perhatian, baik dari kalangan dokter sendiri maupun dari masyarakat. Adanya kemajuan teknologi di bidang kedokteran yang telah banyak kita rasakan manfaatnya, ternyata menimbulkan permasalahan dalam hubungannya dengan kesehatan maupun nyawa seseorang. Peristiwa-peristiwa yang menyangkut kesalahan dalam menangani pasien-pasien yang disebabkan oleh kelalaian dokter, maupun pelanggaran terhadap kode etik kedokteran, sampai mengakibatkan seseorang dokter harus diadili di persidangan pengadilan.
Banyak diberitakan tentang maraknya kasus-kasus dugaan malpraktik yang dilakukan oleh dokter. Walaupun masih perlu dibuktikan lebih lanjut, opini yang berkembang tersebut sangat menggelisahkan dokter. Belum lagi proses obyektif untuk menilai kebenaran dugaan malpraktik tersebut terbukti, dokter-dokter yang dituduh dalam kasus tersebut sudah terhukum secara tidak langsung oleh masyarakat. Ketenangan dokter dalam menjalankan profesinya menjadi sangat terganggu, apalagi di tengah ketidakpastian hukum yang melanda negeri ini. Demikian juga dengan masyarakat (pasien) yang “merasa” dirugikan akibat tindakan dokter yang diduga melakukan malpraktek.[1]
Fenomena di atas menunjukkan bahwa semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat yang menggugat dan menuntut dokter apabila terjadi kegagalan dalam pengobatan, misalnya meninggalnya pasien karena kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya. Bagi kalangan dokter sendiri, hal ini dirasakan tidak adil karena mereka merasa telah berusaha secara maksimal dalam menolong pasien. Di lain pihak, para aparat penegak hukum juga merasa berkewajiban untuk membela dan melindungi hak-hak dokter dan pasien. Sebagaimana diketahui bahwa di bidang kedokteran, keberhasilan dokter dalam menolong pasien selain ditentukan oleh keahlian dokter tersebut, juga ditentukan oleh pengalamannya. Hal ini dikarenakan dalam bidang kedokteran tidak ada dua kasus yang persis sama, tergantung dari cara penanganannya, keadaan si pasien termasuk daya tahan tubuhnya, tingkat penyakitnya, komplikasinya, dan lain-lain.
Dalam melaksanakan profesinya seorang dokter harus berfikir, bertindak yang dalam waktu singkat kadang-kadang dia melihat hasil tindakannya. Dalam keadaan akut, dokter tidak mungkin membaca buku teks di Puskesmas atau di daerah pedalaman, bahkan sulit merujuk penderita ke dokter spesialis. Banyak masalah pasien yang harus dihadapi dan tidak jelas prognosisnya. Dalam keadaan seperti itu tidak mustahil, pada suatu saat dokter dapat menemui kegagalan dalam menjalankan profesinya. Bila mana terjadi kegagalan, masyarakat cenderung menyalahkan dokter, dan bahkan menuntut dokter dengan tuduhan malpraktek.[2]
Setiap tindakan dokter baik diagnostik maupun terapeutik akan selalu mengandung resiko yang melekat pada tindakan itu sendiri. Resiko yang dihadapi seorang dokter cukup jelas. Jika dia sudah salah dan terbukti kesalahannya, maka hal ini dapat mengakibatkan pasien cacat atau jiwanya tidak tertolong. Dokter harus menyadari, bahwa pekerjaannya hampir selalu berhubungan dengan jiwa manusia. Masyarakat tidak perlu mengetahui apa tindakan dokter, yang sudah pasti jika mereka tidak puas dan ada kecenderungan menuntut dokter.
Sebenarnya pelanggaran yang terjadi tersebut tidaklah mutlak kesalahan dokter. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Dokter adalah manusia biasa yang tidak luput dari kehilafan-kehilafan. Dokter berasal dari berbagai lapisan kehidupan yang mempunyai kebiasaan dan latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan adanya keinginan masyarakat untuk membawa kasus kedokteran ke pengadilan untuk diadili secara hukum. Pada umumya masyarakat tidak dapat membedakan mana yang merupakan kasus pelanggaran etik merupakan malpraktik, sedang malpraktik sudah merupakan pelanggaran etika. Kegagalan dokter dalam melaksanakan tindakannya, umumnya menyebabkan masyarakat menuntut kompensasi. Hikmah dari kejadian ini adalah bahwa hal ini dapat memacu para profesional untuk meningkatkan mutu dan lebih berhati-hati.
Fenomena tuntutan malpraktik akan menimbulkan “suasana” ketakutan dari dokter untuk melakukan tindakan yang beresiko. Kondisi ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan dunia kesehatan apabila dokter nantinya hanya melakukan tindakan yang aman dan tidak beresiko (defensif medicine). Masyarakat akhirnya akan rugi, peningkatan derajat kesehatan bangsa menjadi tidak optimal.
Sementara dari kalangan masyarakat (pasien) beranggapan bahwa bila sengketa medik antara dokter dan pasien diselesaikan melalui organisasi profesi maka ada suatu kekhawatiran bahwa organisasi profesi tidak independen, kerap membela anggota profesinya (korps) dan kalaupun dikenakan sanksi maka sanksinya hanyalah sanksi administratif.[3]
Dengan memperhatikan tolak tarik antara dokter di satu pihak dan pasien di pihak lain dalam proses penyelesaian sengketa medik tersebut maka salah satu solusi yang ditentukan oleh pemerintah adalah penyelesaian melalui peradilan profesi yang independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

B.     Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : bagaimanakah peran MKDKI dalam penyelesaian sengketa medis antara pasien dan  dokter?

C.     Pembahasan

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara implisit disebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran (lihat Pasal 66 ayat 1).
Penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien adalah jika timbul ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan atau melaksanakan profesi kedokteran, ketidakpuasan tersebut karena adanya dugaan kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan profesi yang menyebabkan kerugian dipihak pasien, hal tersebut terjadi apabila ada anggapan bahwa isi perjanjian terapeutik tidak dipenuhi/dilanggar oleh dokter.
Bila dilihat dari sengketa yang terjadi antara dokter dengan pasien, dapat ditarik ciri-ciri dari sengketa tersebut, yaitu:
1.      Sengketa terjadi dalam hubungan antara dokter dengan pasien.
2.      Obyek sengketa adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter.
3.      Pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa adalah pasien, baik kerugian berupa luka/cacat, maupun kematian.
4.      Kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh adanya kelalaian/kesalahan dari dokter, yang sering disebut “malpraktik medik”.[4]
Penyelesaian sengketa merupakan pintu terakhir bagi para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Apabila seorang pasien tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh dokter, maka pasien tersebut dapat melakukan upaya hukum untuk meminta pertanggungjawaban dokter. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien, antara lain mengadu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), melapor kepada aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) bila ada indikasi kesalahan/kelalaian dokter, menggugat perdata ke pengadilan bila terjadi wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum, dan menyelesaikannya melalui penyelesaian sengketa alternatif (mediasi).
Pada umumnya kalau terjadi kesalahan/kelalaian dokter, pasien langsung melapor masalah ini ke pihak ke kepolisian untuk diproses secara hukum. Aparat penegak hukum seringkali mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya kesalahan/kelalaian dokter. Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan Surat Edaran Petunjuk Rahasia Nomor: B006/R-3/I/1982 tanggal 19 Oktober 1982 tentang “Perkara Profesi Kedokteran” bahwa agar tidak meneruskan perkara sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan setempat atau Departemen Kesehatan Republik Indonesia.[5] Mahkamah Agung juga pernah mengeluarkan Surat Edaran tahun 1982 yang intinya memberikan arahan kepada para Hakim, bahwa penanganan terhadap kasus dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang diduga melakukan kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan atau pelayanan medis agar jangan langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan dulu pendapat dari Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), yang kini fungsinya telah  digantikan oleh MKDKI.
Namun demikian, kendati sudah ada surat edaran dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung tersebut, kasus-kasus dokter yang dituntut dan diadili serta dijatuhi hukuman semakin banyak.  Kondisi ini menimbulkan keresahan kalangan dokter. Beberapa dokter kemudian mengajukan uji materiil terhadap pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ke Mahkamah Konstitusi. Sebagian tuntutan dokter terhadap pasal-pasal pidana dalam undang-undang tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 4/PVV-V/2007 dinyatakan bahwa sengketa medik diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan profesi.
Konsep penyelesaian sengketa antara dokter atau dokter gigi melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang ada dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang diundangkan bulan September 2004 adalah untuk menggantikan pasal 54 ayat (3) UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan yaitu menggantikan peran Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Majelis ini bertugas memastikan apakah standar profesi telah dilaksanakan dengan benar.
MKDKI ini adalah lembaga otonom yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. Untuk menjaga netralitas anggota MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.
Pasal 66 berbunyi:
(1).  Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atau tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2).  Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat; a) Identitas pengadu, b). Nama dan alamat tempat praktek dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan, dan c). Alasan pengaduan.
(3).  Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwewenang dan/atau menggugat kerugian perdata di pengadilan.
Sesuai pasal 66 tersebut di atas, pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan akibat praktik kedokteran yang mereka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya melalui MKDKI, yang merupakan jalur non litigasi. Selain melalui jalur non-litigasi, pasien/keluarga pasien yang menduga telah terjadi malpraktik atas diri pasien tidak tertutup kemungkinan untuk sekaligus menempuh jalur litigasi, yaitu melalui jalur perdata atau pidana.
Keputusan MKDKI merupakan sanksi disiplin dan bersifat mengikat. Sesuai dengan Pasal 69 berbunyi:
(1)     Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia
(2)     Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan bersalah atau pemberian sanksi disiplin
(3)     Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
 a. Pemberian peringatan tertulis.
b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat ijin praktek dan/atau
 c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institut pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia atau Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia), sesuai pasal 68 “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi”.
Perselisihan itu selanjutnya akan ditangani oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI, atau ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG) PDGI. MKEK dan MKEKG adalah suatu badan peradilan profesi, yang bertugas mengadili anggota ikatan profesi itu sendiri. Hukuman yang dijatuhkan MKEK/MKEKG bisa berupa teguran atau pemecatan dari keanggotaan IDI.PDGI yang bersifat sementara (skorsing) atau tetap/selamanya.[6]
Apabila suatu kasus yang diduga malpraktik diadukan oleh masyarakat dan didapati pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus itu langsung dibawa ke sidang pengadilan untuk diperiksa. Oleh karena Undang-Undang Praktik Kedokteran hanya fokus pada disiplin kedokteran saja, sehingga masalah gugatan perdata atau pidana diserahkan kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli (expert witneess testimonium) apabila diperlukan, sebagaimana lazimnya juga di luar negeri.
Dengan demikian, pilihan MKDKI merupakan mekanisme “pengadilan”  yang sangat objektif untuk menilai persoalan tersebut. Di Belanda malahan dibuat lembaga peradilan khusus, yaitu peradilan disiplin (disciplinary court) yang terpidah dari peradilan umum (civil court). Di Inggris (Medical act 1997 ; Malaysia, Medical act, 1971, dll)-dibuat komite disiplin (disciplinary committee atau disciplinary tri banal) yang terpisah dari peradilan umum-yang hampir sama dengan MKDKI.
 Di setiap negara-negara tersebut (termasuk yang dikembangkan melalui MKDKI) mekanisme menilai kesalahan dokter tersebut dilakukan oleh kelompok profesi itu sendiri dengan melibatkan masyarakat di luar kedokteran. Oleh karena itu, kesepakatan untuk membentuk lembaga independen (MKDKI) yang terpisah dari IDI (MKEK) dan lembaga peradilan umum lebih pada upaya untuk menjaga keadilan obyektif yang ingin dicapai.
Penyelesaian sengketa medis melalui pengadilan tidak jarang memperoleh reaksi dan tantangan yang tidak sedikit, terutama dari kalangan profesi medis (dokter). Entah karena saking sibuknya atau karena ketakutan yang berlebihan dari kalangan dokter bahwa cara penyelesaian semacam itu (lewat jalur hukum) yang ditempuh maka akan membawa dampak buruk atau negatif dan bahkan ancaman bagi dokter. Karena itu menurut kalangan dokter, bila terjadi kesalahan profesional maka sebaiknya kesalahan itu dapat diselesaikan melalui organisasi profesi.
Harus diakui bahwa proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di pengadilan akan menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, berbiaya mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan antara pihak yang bersengketa. Selain itu kerugian dari proses litigasi, dari sudut dokter/dokter gigi dan/atau rumah sakit akan merusak reputasi dan menimbulkan beban psikologis bagi dokter/dokter gigi.

D.     Kesimpulan

Mahkamah Konstitusi menyatakan, jika terjadi sengketa medik antara pasien dan dokter maka sengketa medik tersebut diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan profesi. Peradilan profesi  sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi dokter yaitu Ikatan Dokter Indonesia yang selanjutnya diteruskan ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).  Sedangkan apabila suatu kasus yang diduga malpraktik diadukan oleh masyarakat dan didapati pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus itu langsung dibawa ke sidang pengadilan untuk diperiksa.

DAFTAR PUSTAKA
Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malapraktik Medik Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, Andi, Yogyakarta, 2010.

Fahmi Idris, Doter Juga Manusia; Upaya Memperbaiki Mutu Pelayanan Kesehatan, PB IDI, Jakarta, 2006.
Gunawan, Memahami Etika Kedokteran, Kanisius, Yogyakarta, 1992.

Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung, 2010.

Nusye KI Jayanti, Penyelesaian Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran,  Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009

Safitri Hariyani, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta, 2005


[1] Fahmi Idris, Doter Juga Manusia; Upaya Memperbaiki Mutu Pelayanan Kesehatan, PB IDI, Jakarta, 2006, hlm. 51.
[2] Gunawan, Memahami Etika Kedokteran, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hlm. 62.
[3] Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 30
[4] Safitri Hariyani, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta, 2005, hlm. 58
[5] Nusye KI Jayanti, Penyelesaian Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran,  Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm. 111
[6] Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malapraktik Medik Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, , Andi, Yogyakarta, 2010, hlm. 87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar