PERANAN MKDKI DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA MEDIK
Oleh: Mahendra Kusuma, SH, M.Hum
ABSTRAK
Setiap
tindakan dokter baik diagnostik maupun terapeutik akan selalu mengandung risiko
yang melekat pada tindakan itu sendiri. Risiko
yang dihadapi seorang dokter cukup jelas. Jika dia sudah salah dan terbukti
kesalahannya, maka hal ini dapat mengakibatkan pasien cacat atau jiwanya tidak
tertolong. Dalam kondisi demikian masyarakat cenderung menyalahkan dokter dan ada kecenderungan menuntut dokter. Tuntutan hukum terhadap dokter menimbulkan kegelisahan di kalangan dokter.
Padahal tidak semua kesalahan dokter dapat dikategorikan sebagai malpraktik.
Reputasi seorang dokter akan hancur jika tindakan medis yang ia lakukan
berujung di pengadilan. Pemerintah cukup arif menyikapi hal ini yaitu dengan
membentuk peradilan profesi yang keanggotaannya independen dan tidak hanya
beranggotakan kalangan dokter saja namun juga profesi lain.
A. Pendahuluan
Saat ini, profesi
kedokteran di negara kita sering menjadi perhatian, baik dari kalangan dokter
sendiri maupun dari masyarakat. Adanya kemajuan teknologi di bidang kedokteran
yang telah banyak kita rasakan manfaatnya, ternyata menimbulkan permasalahan
dalam hubungannya dengan kesehatan maupun nyawa seseorang. Peristiwa-peristiwa
yang menyangkut kesalahan dalam menangani pasien-pasien yang disebabkan oleh
kelalaian dokter, maupun pelanggaran terhadap kode etik kedokteran, sampai
mengakibatkan seseorang dokter harus diadili di persidangan pengadilan.
Banyak diberitakan
tentang maraknya kasus-kasus dugaan malpraktik yang dilakukan oleh dokter.
Walaupun masih perlu dibuktikan lebih lanjut, opini yang berkembang tersebut
sangat menggelisahkan dokter. Belum lagi proses obyektif untuk menilai
kebenaran dugaan malpraktik tersebut terbukti, dokter-dokter yang dituduh dalam
kasus tersebut sudah terhukum secara tidak langsung oleh masyarakat. Ketenangan
dokter dalam menjalankan profesinya menjadi sangat terganggu, apalagi di tengah
ketidakpastian hukum yang melanda negeri ini. Demikian juga dengan masyarakat
(pasien) yang “merasa” dirugikan akibat tindakan dokter yang diduga melakukan
malpraktek.[1]
Fenomena di atas menunjukkan bahwa semakin
meningkatnya kesadaran hukum masyarakat yang menggugat dan menuntut dokter
apabila terjadi kegagalan dalam pengobatan, misalnya meninggalnya pasien karena
kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya. Bagi kalangan dokter sendiri,
hal ini dirasakan tidak adil karena mereka merasa telah berusaha secara
maksimal dalam menolong pasien. Di lain pihak, para aparat penegak hukum juga
merasa berkewajiban untuk membela dan melindungi hak-hak dokter dan pasien.
Sebagaimana diketahui bahwa di bidang kedokteran, keberhasilan dokter dalam
menolong pasien selain ditentukan oleh keahlian dokter tersebut, juga
ditentukan oleh pengalamannya. Hal ini dikarenakan dalam bidang kedokteran
tidak ada dua kasus yang persis sama, tergantung dari cara penanganannya,
keadaan si pasien termasuk daya tahan tubuhnya, tingkat penyakitnya,
komplikasinya, dan lain-lain.
Dalam melaksanakan profesinya
seorang dokter harus berfikir, bertindak yang dalam waktu singkat kadang-kadang
dia melihat hasil tindakannya. Dalam keadaan akut, dokter tidak mungkin membaca
buku teks di Puskesmas atau di daerah pedalaman, bahkan sulit merujuk penderita
ke dokter spesialis. Banyak masalah pasien yang harus dihadapi dan tidak jelas
prognosisnya. Dalam keadaan seperti itu tidak mustahil, pada suatu saat dokter
dapat menemui kegagalan dalam menjalankan profesinya. Bila mana terjadi
kegagalan, masyarakat cenderung menyalahkan dokter, dan bahkan menuntut dokter
dengan tuduhan malpraktek.[2]
Setiap
tindakan dokter baik diagnostik maupun terapeutik akan selalu mengandung resiko
yang melekat pada tindakan itu sendiri. Resiko yang dihadapi seorang dokter
cukup jelas. Jika dia sudah salah dan terbukti kesalahannya, maka hal ini dapat
mengakibatkan pasien cacat atau jiwanya tidak tertolong. Dokter harus
menyadari, bahwa pekerjaannya hampir selalu berhubungan dengan jiwa manusia.
Masyarakat tidak perlu mengetahui apa tindakan dokter, yang sudah pasti jika
mereka tidak puas dan ada kecenderungan menuntut dokter.
Sebenarnya pelanggaran yang terjadi
tersebut tidaklah mutlak kesalahan dokter. Banyak faktor yang menjadi
penyebabnya. Dokter adalah manusia biasa yang tidak luput dari kehilafan-kehilafan.
Dokter berasal dari berbagai lapisan kehidupan yang mempunyai kebiasaan dan
latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda.
Perkembangan akhir-akhir ini
menunjukkan adanya keinginan masyarakat untuk membawa kasus kedokteran ke
pengadilan untuk diadili secara hukum. Pada umumya masyarakat tidak dapat
membedakan mana yang merupakan kasus pelanggaran etik merupakan malpraktik,
sedang malpraktik sudah merupakan pelanggaran etika. Kegagalan dokter dalam
melaksanakan tindakannya, umumnya menyebabkan masyarakat menuntut kompensasi.
Hikmah dari kejadian ini adalah bahwa hal ini dapat memacu para profesional
untuk meningkatkan mutu dan lebih berhati-hati.
Fenomena tuntutan malpraktik akan
menimbulkan “suasana” ketakutan dari dokter untuk melakukan tindakan yang
beresiko. Kondisi ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan dunia kesehatan
apabila dokter nantinya hanya melakukan tindakan yang aman dan tidak beresiko (defensif
medicine). Masyarakat akhirnya akan rugi, peningkatan derajat kesehatan bangsa
menjadi tidak optimal.
Sementara dari kalangan masyarakat
(pasien) beranggapan bahwa bila sengketa medik antara dokter dan pasien
diselesaikan melalui organisasi profesi maka ada suatu kekhawatiran bahwa
organisasi profesi tidak independen, kerap membela anggota profesinya (korps)
dan kalaupun dikenakan sanksi maka sanksinya hanyalah sanksi administratif.[3]
Dengan memperhatikan tolak tarik
antara dokter di satu pihak dan pasien di pihak lain dalam proses penyelesaian
sengketa medik tersebut maka salah satu solusi yang ditentukan oleh pemerintah
adalah penyelesaian melalui peradilan profesi yang independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Praktik
Kedokteran yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : bagaimanakah peran
MKDKI dalam penyelesaian sengketa medis antara pasien dan
dokter?
C. Pembahasan
Dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara implisit
disebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan
pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik
kedokteran (lihat Pasal 66 ayat 1).
Penyebab
terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien adalah jika timbul
ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan atau
melaksanakan profesi kedokteran, ketidakpuasan tersebut karena adanya dugaan
kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan profesi yang menyebabkan kerugian dipihak
pasien, hal tersebut terjadi apabila ada anggapan bahwa isi perjanjian
terapeutik tidak dipenuhi/dilanggar oleh dokter.
Bila
dilihat dari sengketa yang terjadi antara dokter dengan pasien, dapat ditarik
ciri-ciri dari sengketa tersebut, yaitu:
1. Sengketa
terjadi dalam hubungan antara dokter dengan pasien.
2. Obyek
sengketa adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter.
3. Pihak
yang merasa dirugikan dalam sengketa adalah pasien, baik kerugian berupa
luka/cacat, maupun kematian.
4. Kerugian
yang diderita pasien disebabkan oleh adanya kelalaian/kesalahan dari dokter,
yang sering disebut “malpraktik medik”.[4]
Penyelesaian
sengketa merupakan pintu terakhir bagi para pihak yang bersengketa untuk
mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Apabila seorang pasien tidak puas
dengan pelayanan yang diberikan oleh dokter, maka pasien tersebut dapat
melakukan upaya hukum untuk meminta pertanggungjawaban dokter. Upaya hukum yang
dapat dilakukan oleh pasien, antara lain mengadu ke Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI), melapor kepada aparat penegak hukum (kepolisian
dan kejaksaan) bila ada indikasi kesalahan/kelalaian dokter, menggugat perdata
ke pengadilan bila terjadi wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum, dan
menyelesaikannya melalui penyelesaian sengketa alternatif (mediasi).
Pada
umumnya kalau terjadi kesalahan/kelalaian dokter, pasien langsung melapor
masalah ini ke pihak ke kepolisian untuk diproses secara hukum. Aparat penegak
hukum seringkali mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya kesalahan/kelalaian
dokter. Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan Surat Edaran Petunjuk Rahasia
Nomor: B006/R-3/I/1982 tanggal 19 Oktober 1982 tentang “Perkara Profesi
Kedokteran” bahwa agar tidak meneruskan perkara sebelum konsultasi dengan
pejabat Dinas Kesehatan setempat atau Departemen Kesehatan Republik Indonesia.[5] Mahkamah
Agung juga pernah mengeluarkan Surat Edaran tahun 1982 yang intinya memberikan
arahan kepada para Hakim, bahwa penanganan terhadap kasus dokter atau tenaga
kesehatan lainnya yang diduga melakukan kelalaian atau kesalahan dalam
melakukan tindakan atau pelayanan medis agar jangan langsung diproses melalui
jalur hukum, tetapi dimintakan dulu pendapat dari Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran (MKEK), yang kini fungsinya telah
digantikan oleh MKDKI.
Namun
demikian, kendati sudah ada surat edaran dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah
Agung tersebut, kasus-kasus dokter yang dituntut dan diadili serta dijatuhi
hukuman semakin banyak. Kondisi ini
menimbulkan keresahan kalangan dokter. Beberapa dokter kemudian mengajukan uji
materiil terhadap pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran ke Mahkamah Konstitusi. Sebagian tuntutan dokter
terhadap pasal-pasal pidana dalam undang-undang tersebut dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 4/PVV-V/2007
dinyatakan bahwa sengketa medik diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan
profesi.
Konsep
penyelesaian sengketa antara dokter atau dokter gigi melalui Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang ada dalam Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang diundangkan bulan September 2004
adalah untuk menggantikan pasal 54 ayat (3) UU No.23 tahun 1992 tentang
Kesehatan yaitu menggantikan peran Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Majelis
ini bertugas memastikan apakah standar profesi telah dilaksanakan dengan benar.
MKDKI
ini adalah lembaga otonom yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. Untuk menjaga netralitas
anggota MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi
dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi
mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.
Pasal 66
berbunyi:
(1). Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atau
tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran dapat
mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia.
(2). Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat; a) Identitas pengadu, b).
Nama dan alamat tempat praktek dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan
dilakukan, dan c). Alasan pengaduan.
(3). Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana
kepada pihak yang berwewenang dan/atau menggugat kerugian perdata di
pengadilan.
Sesuai pasal 66 tersebut di atas,
pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan akibat praktik kedokteran
yang mereka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya melalui MKDKI, yang
merupakan jalur non litigasi. Selain melalui jalur non-litigasi,
pasien/keluarga pasien yang menduga telah terjadi malpraktik atas diri pasien
tidak tertutup kemungkinan untuk sekaligus menempuh jalur litigasi, yaitu
melalui jalur perdata atau pidana.
Keputusan MKDKI merupakan sanksi disiplin
dan bersifat mengikat. Sesuai dengan Pasal 69 berbunyi:
(1)
Keputusan Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran
Indonesia
(2)
Keputusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan bersalah atau pemberian sanksi disiplin
(3)
Sanksi disiplin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
a. Pemberian
peringatan tertulis.
b. Rekomendasi pencabutan surat
tanda registrasi atau surat ijin praktek dan/atau
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau
pelatihan di institut pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika,
MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia
atau Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia), sesuai pasal 68 “Apabila dalam
pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada
organisasi profesi”.
Perselisihan itu selanjutnya akan ditangani oleh Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI, atau ke Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Gigi (MKEKG) PDGI. MKEK dan MKEKG adalah suatu badan peradilan
profesi, yang bertugas mengadili anggota ikatan profesi itu sendiri. Hukuman
yang dijatuhkan MKEK/MKEKG bisa berupa teguran atau pemecatan dari keanggotaan
IDI.PDGI yang bersifat sementara (skorsing) atau tetap/selamanya.[6]
Apabila suatu kasus yang diduga malpraktik diadukan oleh
masyarakat dan didapati pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus
itu langsung dibawa ke sidang pengadilan untuk diperiksa. Oleh karena
Undang-Undang Praktik Kedokteran hanya fokus pada disiplin kedokteran saja,
sehingga masalah gugatan perdata atau pidana diserahkan kepada peradilan umum
dengan memakai saksi ahli (expert witneess
testimonium) apabila diperlukan, sebagaimana lazimnya juga di luar negeri.
Dengan demikian, pilihan MKDKI merupakan mekanisme
“pengadilan” yang sangat objektif untuk
menilai persoalan tersebut. Di Belanda malahan dibuat lembaga peradilan khusus,
yaitu peradilan disiplin (disciplinary court) yang terpidah dari
peradilan umum (civil court). Di Inggris (Medical act 1997 ;
Malaysia, Medical act, 1971, dll)-dibuat komite disiplin (disciplinary
committee atau disciplinary tri banal) yang terpisah dari peradilan
umum-yang hampir sama dengan MKDKI.
Di setiap
negara-negara tersebut (termasuk yang dikembangkan melalui MKDKI) mekanisme
menilai kesalahan dokter tersebut dilakukan oleh kelompok profesi itu sendiri
dengan melibatkan masyarakat di luar kedokteran. Oleh karena itu, kesepakatan
untuk membentuk lembaga independen (MKDKI) yang terpisah dari IDI (MKEK) dan
lembaga peradilan umum lebih pada upaya untuk menjaga keadilan obyektif yang
ingin dicapai.
Penyelesaian sengketa medis melalui pengadilan tidak
jarang memperoleh reaksi dan tantangan yang tidak sedikit, terutama dari
kalangan profesi medis (dokter). Entah karena saking sibuknya atau karena
ketakutan yang berlebihan dari kalangan dokter bahwa cara penyelesaian semacam
itu (lewat jalur hukum) yang ditempuh maka akan membawa dampak buruk atau
negatif dan bahkan ancaman bagi dokter. Karena itu menurut kalangan dokter,
bila terjadi kesalahan profesional maka sebaiknya kesalahan itu dapat
diselesaikan melalui organisasi profesi.
Harus diakui bahwa proses penyelesaian sengketa melalui
proses litigasi di pengadilan akan menghasilkan kesepakatan yang bersifat
adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, berbiaya mahal, tidak
responsif, dan menimbulkan permusuhan antara pihak yang bersengketa. Selain itu
kerugian dari proses litigasi, dari sudut dokter/dokter gigi dan/atau rumah
sakit akan merusak reputasi dan menimbulkan beban psikologis bagi dokter/dokter
gigi.
D. Kesimpulan
Mahkamah
Konstitusi menyatakan, jika terjadi sengketa medik antara pasien dan dokter
maka sengketa medik tersebut diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan
profesi. Peradilan profesi sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Apabila dalam pemeriksaan ditemukan
pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi dokter
yaitu Ikatan Dokter Indonesia yang selanjutnya diteruskan ke Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK). Sedangkan apabila
suatu kasus yang diduga malpraktik diadukan oleh masyarakat dan didapati
pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus itu langsung dibawa ke
sidang pengadilan untuk diperiksa.
DAFTAR
PUSTAKA
Ari Yunanto dan Helmi, Hukum
Pidana Malapraktik Medik Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, Andi, Yogyakarta, 2010.
Fahmi Idris, Doter Juga
Manusia; Upaya Memperbaiki Mutu Pelayanan Kesehatan, PB IDI, Jakarta, 2006.
Gunawan, Memahami Etika
Kedokteran, Kanisius, Yogyakarta, 1992.
Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung,
2010.
Nusye KI Jayanti, Penyelesaian
Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009
Safitri Hariyani, Sengketa Medik:
Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Diadit
Media, Jakarta, 2005
[1] Fahmi Idris, Doter Juga
Manusia; Upaya Memperbaiki Mutu Pelayanan Kesehatan, PB IDI, Jakarta, 2006,
hlm. 51.
[3] Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung,
2010, hlm. 30
[4] Safitri Hariyani, Sengketa
Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien,
Diadit Media, Jakarta, 2005, hlm. 58
[5] Nusye KI Jayanti, Penyelesaian
Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm. 111
[6] Ari Yunanto dan Helmi, Hukum
Pidana Malapraktik Medik Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, , Andi, Yogyakarta, 2010,
hlm. 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar