LEGALITAS TUKANG GIGI DALAM
BERPRAKTIK PEMASANGAN KAWAT GIGI (BEHEL) DAN ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMENNYA
OLEH :
ROSIDA DIANI[1]
ABSTRAK
Tukang gigi merupakan profesi
yang telah lama ada di masyarakat. Keberadaannya diakui secara yuridis sejak
dikeluarkannya Permenkes
Nomor 339 /MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Permenkes sempat dicabut
dan mengakibatkan tidak diperbolehkannya profesi Tukang gigi berpraktik lagi,
namun dengan dikabulkannya uji materil oleh Mahkamah Konstitusi maka keberadaan
izin berpraktik Tukang gigi diperbolehkan kembali asal memenuhi persyaratan
untuk itu. Izin praktik Tukang gigi hanya membuat dan memasang gigi palsu
sebagaimana diatur di dalam Permenkes No.39
tahun 2014. Pemasangan kawat gigi atau behel oleh Tukang gigi sebagaimana
banyak terjadi dimasyarakat saat ini dapat dikatakan sebagai perbuatan ilegal
karena secara tegas dinyatakan di dalam Permenkes No.39 tahun 2014 jenis
pekerjaan yang boleh dilakukan oleh Tukang gigi dan pemasangan behel tidak
termasuk di dalammnya. Perlindungan hukum terdapat konsumen pengguna jasa
Tukang gigi ini dalam hal pemasangan behel terdapat di dalam Pasal 4 dan Pasal
19 UU No.8 tahun 1999. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah
menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan teknik analisis
menggunakan analisis content.
Kata kunci : Legalitas, Tukang
gigi, Perlindungan Konsumen
A.
PENDAHULUAN
Beberapa
tahun terakhir ini kawat gigi menjadi trend yang sangat digemari, banyak orang
yang tertarik untuk memakai kawat gigi baik untuk merapikan gigi maupun untuk bergaya.
Harga pemasangan kawat gigi pun bervariasi, ada yang sangat mahal namun ada
pula yang terjangkau. Seiring dengan perkembangan zaman serta perubahan
teknologi yang lebih maju, kawat gigi pun mengalami revolusi, segala
kekurangannya diperbaiki dan sistemnya lebih disempurnakan hal ini membuat gigi
menjadi lebih cepat rapi sehingga penggunaan kawat gigi tidaklah lama. Fungsi
utama kawat gigi adalah sebagai alat merapikan gigi, namun dalam prakteknya
banyak orang yang mengenakan kawat gigi sebagai aksesoris.
Sebenarnya
ada beberapa alasan orang memasang kawat gigi, diantaranya (1) karena ingin
tampil cantik, menarik dan bergaya, (2) karena alasan kesehatan, seperti posisi
gigi yang tidak rapi, (3) ada juga karena alasan diet. Alasan untuk penampilan,
tampil cantik dan gaya adalah alasan yang paling banyak digunakan orang untuk
memasang kawat gigi sekarang ini. Paling banyak pengguna kawat gigi dengan
alasan kecantikan adalah para wanita baik wanita dewasa maupun remaja putri. Wanita dan kecantikan
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Wanita selalu identik dengan
Kecantikan. Begitupun sebaliknya, kecantikan selalu identik dengan wanita. Jika
diibaratkan, Kecantikan merupakan napas bagi setiap wanita,napas yang harus
selalu dihirup. Selain itu, kecantikan pun menjadi sebuah keharusan bagi
seorang wanita.
Saat ini ada
beberapa bahan pembuat kawat gigi, mulai dari metal, porselin, safir dan
keramik. [2]
setiap bahan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada
beberapa jenis kawat gigi yang dapat digunakan oleh konsumen yaitu (1) Kawat Gigi Cekat/ Fixed orthodontic braces, Merupakan kawat
gigi yang umum digunakan oleh dokter gigi untuk merapikan gigi. Jenis ini
adalah jenis yang konvensional (2) Lingual bracket dari Prancis, (3) Invisalign / lepasan, (4) Inman Aligner / Metode gabungan invisalign dan kawat gigi, (5) Ceramic Braces, (6) Damon Brackets, (7) Porcelain
Veener, (8) 7. 6 months smile/
Perawatan 6 Bulan untuk Gigi yang Tampak saat Tersenyum, (9) Traditional Metal Braces, (10) Retainer.[3]
Pemasangan kawat gigi di masyarakat saat ini bukan
hanya dilakukan oleh seorang Dokter Gigi tetapi juga dilakukan oleh Tukang
Gigi. Pada
Permenkes Nomor 339 /MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi disebutkan
bahwa: Tukang gigi adalah mereka yang melakukan pekerjaan di bidang penyembuhan
dan pemulihan kesehatan gigi dan tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu
pengetahuan kedokteran gigi serta telah mempunyai izin Menteri Kesehatan untuk
melakukan pekerjaannya. Diatur pula wewenang seorang tukang gigi meliputi: a.
membuat sebagian/seluruh gigi tiruan dari aklirik; dan b. memasang gigi tiruan
lepasan.
Di dalam
Permenkes tersebut tidak disebutkan secara spesifik mengenai pemasangan kawat
gigi. Apakah pemasangan kawat gigi dapat disamakan dengan memasang gigi tiruan
lepasan, ataukah dapat dikategorikan dalam pekerjaan dibidang penyembuhan dan
pemulihan kesehatan gigi? Sementara dalam praktek di masyarakat saat ini, telah
banyak sekali Tukang gigi yang dalam prakteknya tidak hanya melakukan praktek
pembuatan gigi palsu, pemasangan gigi palsu tetapi juga menawarkan pemasangan
kawat gigi atau behel.
Bagaimanakah
legalitas pemasangan behel oleh tukang gigi ini secara yuridis? Apakah ada
perlindungan hukum terhadap konsumen yang memasang kawat gigi pada tukang gigi
tersebut. Perlindungan konsumen ini penting artinya karena selama ini keberadaan konsumen kerap
dalam posisi yang lemah saat berhadapan dengan pelaku usaha. Faktor utama yang
menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih
rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. [4]
Berdasarkan realitas tersebut maka haruslah diusahakan suatu upaya memberikan
perlindungan serta untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen dalam hal
terjadi peristiwa yang membebankan risiko padanya.[5]
Oleh karena
itu, undang-undang perlindungan konsumen dimaksudkan sebagai landasan hukum
yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen.[6]
Hal ini agar dapat melindungi konsumen dari tindakan kesewenang-wenangan dari
pelaku usaha yang tidak jujur, yang memperdaya konsumen bagi keuntungan lebih
besar yang dapat diperolehnya.[7]
Termasuk perlindungan hukum terhadap
konsumen pengguna jasa Tukang gigi dalam pemasangan behel.
Berdasarkan
hal tersebutlah maka dalam tulisan ini akan diuraikan legalitas tukang gigi
dalam pemasangan kawat gigi serta perlindungan hukum terhadap konsumen yang
memasang kawat gigi pada tukang gigi.
B.
PEMBAHASAN
Sebelum membahas
mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen yang menggunakan jasa tukang gigi
untuk memasang kawat gigi atau behel, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai
proses pemasangan kawat gigi, legalitas tukang gigi.
Kawat gigi atau
behel biasa disebut dalam istilah kedokteran adalah orthodontics digunakan
untuk meluruskan pada gigi yang berjejal agar keselarasan rahang menjadi lebih
simetris. Penyelarasan yang benar pada gigi adalah sesuatu yang penting karena
mempengaruhi pada penampilan dan kesehatan.
Ada beberapa
tahap dalam pemasangan kawat gigi:
1. Fase
sebelum pemasangan
Dokter
gigi akan mengamati dan mengambil data pasien selengkap mungkin, meliputi
pemeriksaan klinis geligi,seperti pencatatan gigitan dan ke simetrisan gigi,
serta katupan geligi.
Semua
masalah seperti gigi bolong, karang gigi, kelainan jaringan gigi, dan perawatan
saraf gigi, jika ada, harus ditangani dulu, sehingga gigi benar-benar bersih
dan sehat.
Perawatan
dengan bantuan kawat ini perlu kedisiplinan tinggi, karena meliputi seluruh
gigi. Termasuk mengarahkan gigi yang belum tumbuh, agar mendukung perbaikan
tumbuhnya rahang. Kalau perlu Dilakukan pengambilan foto rontgen (Bila Perlu)
yang mencakup dua sudut pengambilan, yaitu panoramik (raut seluruh geligi dan
tulang) serta chepalometri (kedudukan rahang, tulang muka dan geligi).
Pencetakan
geligi untuk mendapatkan model. Penentuan rencana perawatan Dari hasil foto
rontgen dan cetakan geligi inilah dilakukan analisis kelainan untuk rencana
perawatan. Misalnya, berapa mili-meter ketidaknormalannya? Apakah cukup diasah
atau plus pemakaian kawat gigi lepasan? Perlukah mencabut geraham kecil di
belakang gigi taring, Pada rahang cakil, perlukah operasi pemotongan tulang
bawah oleh orthodontist dan ahli bedah mulut?
Pemasangan
kawat gigi Pemasangan kawat gigi ini relatif singkat kurang lebih 1 jam
2. Fase
setelah pemasangan
Kontrol
dilakukan setiap seminggu atau dua minggu sekali. Kontrol ini penting
dilakukan, semakin sering kontrol, waktu perawatan kawat gigi akan semakin
singkat, sebaiknya jika kontrolnya jarang atau lama (sebualan/2 bulan sekali),
dapat menyebabkan waktu perawatan bertambah panjang dan mungkin menyebabkan
perubahan gigi yang tidak semestinya.
Pada
saat kontrol, dokter akan mengamati setiap perubahan posisi gigi, katupan gigi,
bentuk rahang, inklinasi gigi, kapan dilakukan, pengasahan, pencabutan (jika
ada), penarikan, dsb. Dan yang pasti mengganti karet yang membuat braket
tersebut terlihat berwarna warni.
Setelah
perawatan orto cekat dinyatakan selesai oleh dokter gigi, maka pasien
dianjurkan untuk menggunakan alat penahan agar giginya tidak mudah untuk
berubah kembali ke susunan gigi awal, yang disebut dengan space maintainer
atau singkatnya retainer , selama minimal
6 bulan sampai 1 tahun.[8]
Pemasangan kawat
gigi pada praktek yang terjadi di masyarakat bukan hanya dilakukan oleh dokter
gigi, tetapi juga oleh Tukang Gigi. Keberadaan Tukang Gigi sebagai orang yang
dapat membuka praktek membuat dan memasang gigi tiruan lepasan diatur di dalam
Permenkes No.39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan,
Pekerjaan Tukang Gigi.
Dalam Permenkes
No.39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang
Gigi pada Pasal 1 angka (1) disebutkan definisi Tukang gigi adalah setiap orang yang mempunyai kemampuan membuat dan
memasang gigi tiruan lepasan. Selain itu juga di dalam Permenkes
Nomor 339 /MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi disebutkan bahwa: Tukang gigi adalah mereka yang melakukan
pekerjaan di bidang penyembuhan dan pemulihan kesehatan gigi dan tidak
mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran gigi serta telah
mempunyai izin Menteri Kesehatan untuk melakukan pekerjaannya. Diatur pula
wewenang seorang tukang gigi meliputi: a. membuat sebagian/seluruh gigi tiruan
dari aklirik; dan b. memasang gigi tiruan lepasan.
Mengenai legalitas praktik Tukang
gigi ini sempat dicabut dengan dikeluarkannya UU No.29 tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran serta Peraturan Menteri Kesehatan No.
1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No.
339/MENKES/PER/V/1989 tentang pekerjaan tukang gigi. Pencabutan tersebut
berakibat pada tidak diberikannya izin berpraktik maupun memperpanjang izin
praktik tukang gigi.
Pada UU No.29
tahun 2004, Pasal 73 ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dilarang menggunakan
alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi
yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”.
Dalam Pasal 78
disebutkan “Setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau
surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Disini memberikan larangan kepada
siapa saja yang bukan berlatar belakang pendidikan dokter atau dokter gigi
untuk membuka praktik, termasuk dalam kriteria ini adalah Tukang gigi. Apabila
hal ini tetap dilakukan maka, yang bersangkutan dapat dikenakan pidana penjara
atau denda.
Hal ini kemudian diajukan permohonan
pengujian Pasal 73 ke Mahkamah Konstitusi oleh Hamdani Prayoga. MK
mengabulkan permohonan pengujian Pasal 73 ayat (2) dan pasal 78 UU No. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. MK menyatakan kedua
pasal itu inkonstitusional bersyarat.[9]
Menurut MK,
Pasal 73 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Setiap
orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin
praktik dari Pemerintah”
Rumusan awal
Pasal 73 ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode
atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan
kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”.
Membandingkan
dua rumusan itu, Putusan MK berarti menambahkan frasa “…..kecuali tukang
gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah”.Frasa yang sama juga
disisipkan MK ke dalam Pasal 78.
Keberadaan
tukang gigi dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan gigi yang terjangkau. Hal ini didasarkan pemikiran hingga
saat ini pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan gigi yang terjangkau bagi
seluruh masyarakat. Dalam putusan, MK menyatakan dokter gigi dan tukang gigi
seharusnya saling bersinergi dan mendukung satu sama lain dalam upaya
meningkatkan kesehatan gigi masyarakat. Seyogyanya, profesi tukang gigi dapat
dimasukkan dalam satu jenis pelayanan kesehatan tradisional Indonesia yang
harus dilindungi negara dalam suatu peraturan tersendiri.
Berdasarkan
penilaian hukum itu, Mahkamah berpendapat Pasal 73 ayat (2) UU Praktik
Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, bertentangan dengan
konstitusi jika larangan dalam pasal itu diberlakukan terhadap tukang gigi yang
telah memiliki izin dari pemerintah.
Terkait Pasal
78, MK menyatakan pasal itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
Pasal 73 ayat (2). Pasal 78 UU Praktik Kedokteran harus dinyatakan
konstitusional bersyarat, konstitusional sepanjang norma Pasal 78 tidak
termasuk tukang gigi yang mendapat izin dari pemerintah.
Dengan putusan
MK ini maka Tukang Gigi mempunyai legalitas untuk membuka praktik. Mengenai
Pelaksanaan Pekerjaan Tukang Gigi terdapat di dalam Pasal 6 Permenkes No.39
tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi,
yaitu:
1. Pekerjaan
Tukang Gigi hanya dapat dilakukan apabila:
a. tidak
membahayakan kesehatan, tidak menyebabkan kesakitan dan kematian
b. aman;
c. tidak
bertentangan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat; dan
d. tidak
bertentangan dengan norma dan nilai yang hidup dalam masyarakat.
2.
Pekerjaan
Tukang Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya berupa:
a.
membuat
gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat
curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan; dan
b.
memasang
gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat
curing acrylic dengan tidak menutupi sisa akar gigi
Di dalam Pasal 7 Permenkes No.39 tahun 2014
disebutkan bahwa Dalam melaksanakan pekerjaannya, Tukang Gigi
berkewajiban:
a.
melaksanakan
pekerjaan Tukang Gigi sesuai dengan standar pekerjaan Tukang Gigi;
b.
menghormati
hak pengguna jasa Tukang Gigi;
c.
memberikan
informasi yang jelas dan tepat kepada pengguna jasa Tukang Gigi tentang
tindakan yang dilakukannya;
d.
melakukan
pencatatan pelayanan yang dibuat dalam pembukuan khusus; dan
e.
membuat
laporan secara berkala tiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang meliputi jumlah pengguna jasa Tukang Gigi dan tindakan yang
dilakukan.
Pada Pasal 8 Permenkes No.39
tahun 2014 ditentukan bahwa Standar pekerjaan Tukang Gigi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf a meliputi:
a.
pekerjaan
Tukang Gigi;
b.
pelaksanaan
pekerjaan;
c.
tempat;
d.
peralatan;
dan
e.
hal-hal
lain sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan tukang gigi.
Meskipun Tukang gigi
diperkenankan berpraktik, namun Tukang Gigi dilarang:
a.
melakukan
pekerjaan selain kewenangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2);
b.
mewakilkan
pekerjaannya kepada orang lain;
c.
melakukan
promosi yang mencantumkan pekerjaan selain yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2);
dan
d. melakukan pekerjaan secara
berpindah-pindah.
Sehingga dari ketentuan Pasal 6 ayat
(2), secara yuridis, Tukang Gigi hanya mempunyai kewenangan secara legal untuk:
1. membuat gigi tiruan lepasan
sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang
memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan; dan
2. memasang gigi tiruan lepasan
sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic dengan
tidak menutupi sisa akar gigi
Sehingga apabila
ada Tukang Gigi yang melakukan praktik selain daripada yang diatur di dalam
Pasal 6 ayat (2) tersebut maka Tukang Gigi tersebut dapat dikenakan sanksi
sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 yaitu
berupa :
a. teguran
tertulis;
b. pencabutan
izin sementara; dan
c. pencabutan
izin tetap.
Sehingga
menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan pemasangan kawat gigi atau behel apakah
termasuk dalam kategori jenis pekerjaan yang diperbolehkan oleh Pasal 6
Permenkes No.39 tahun 2014? Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa proses
pemasangan kawat gigi bukanlah tindakan melepas gigi atau memasang gigi palsu,
tetapi perbuatan memasangkan sejenis kawat pada gigi. Sehingga dapatlah
dikatakan bahwa perbuatan pemasangan kawat gigi tidak termasuk dalam kriteria
Pasal 6 Permenkes No.39 tahun 2014.
Pemasangan kawat
gigi tidaklah termasuk praktik tukang gigi yang diperbolehkan oleh Permenkes
No.39 tahun 2014 tersebut. Sehingga praktik pemasangan kawat gigi atau behel
oleh Tukang gigi termasuk praktik ilegal. Sehingga Tukang gigi yang melakukan
hal tersebut dapat dikenakan sanksi Pasal 11.
Pemberian izin
praktik bagi Tukang gigi diberikan oleh Dinas Kesahatan kabupaten/Kota
setempat.[10]
Yang dimaksud dengan Izin Tukang Gigi adalah bukti tertulis yang diberikan
kepada Tukang Gigi yang telah melaksanakan pendaftaran untuk melaksanakan
pekerjaan Tukang Gigi. Izin ini berlaku selama 2 tahun dan dapat diperpanjang
selama masih memenuhi persyaratan.[11]
Bagaimana
perlindungan hukum terhadap konsumen yang menderita kerugian saat pemasangan
kawat gigi atau behel pada tukang gigi? Untuk menjawab hal tersebut dapatlah
dilihat dari undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 tahun 1999. Sebelumnya
akan kita lihat dulu siapa yang dapat dikategorikan sebagai konsumen dalam
undang-undang perlindungan konsumen. Dalam pasal 1 angka 2, konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi (Pasal 1 angka 3 UU
Perlindungan Konsumen).
Dalam Pemasangan
kawat gigi/behel. Pasien merupakan konsumen dan Tukang gigi adalah pelaku
usaha. Dalam hubungan antara konsumen dan pelaku usaha terjalih suatu hubungan
hukum yang hak dan kewajibannya diatur oleh undang-undang.
Dilihat dari kacamata Hukum Perdata, hubungan antara konsumen
dengan Tukang gigi termasuk dalam perjanjian untuk melakukan pekerjaan.
Undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam,
yaitu:[12]
1. perjanjian
untuk melakukan jasa-jasa tertentu;
2. perjanjian
kerja/perburuhan; dan
3. perjanjian
pemborongan pekerjaan.
Dalam perjanjian
untuk melakukan jasa-jasa tertentu, suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya
dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan, untuk mana ia
bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut sama sekali terserah kapada pihak-lawan itu. Biasanya pihak-lawan itu
adalah seorang akhli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga
sudah memasang tarif untuk jasanya itu.[13]
Contoh dari perjanjian melakukan jasa ini salah satunya adalah praktik Tukang
gigi.
Profesi Tukang gigi dalam
hubungannya dengan konsumennya, hampir dapat dipersamakan dengan profesi Dokter
dengan pasiennya. Tipe hubungan dokter dengan pasiennya terdapat dua tipe
hubungan yaitu:
1.
Hubungan Asimetris (Paternalistik)
Dalam hubungan jenis ini, maka
hubungan dokter dengan pasiennya ada ketidakseimbangan yang melekat dalam
hubungan tersebut sehingga bisa merugikan satu pihak. Dalam hal ini adalah dari
sisi pasien. Ketidakseimbangan ini menyangkut hubungan dokter-pasien yang
bersifat paternalistik.
2.
Hubungan Partnership
Pola hubungan ini merupakan pola
hubungan yang berorientasi pada pemenuhan keinginan, kebutuhan, dan keinginan
pasien. Pasien memiliki otonomi penuh atas dirinya. [14]
Dalam hubungan antara Tukang gigi
dengan pasiennya dapat terjadi dalam dua tipe di atas. Menyangkut masalah
perlindungan hukum terhadap pasien pengguna jasa Tukang gigi dalam praktik
pemasangan kawat gigi (behel), maka pasien yang merupakan konsumen, menurut
Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan Tukang gigi selaku pelaku
usaha mempunyai kewajiban sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen. Yaitu sebagai berikut:
a. beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Jika pada saat tukang gigi melakukan
pemasangan behel menimbulkan kerugian pada pasien/konsumen, tukang gigi
berkewajiban untuk memberikan kompensasi dan ganti rugi kepada pasien. Hal ini
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen:
“Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.”
Ganti rugi tersebut dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen).
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi (Pasal 19 ayat (3) UU
Perlindungan Konsumen).
Walaupun tukang gigi tersebut telah
memberikan ganti rugi, pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan (Pasal 19 ayat
(4) UU Perlindungan Konsumen). Akan tetapi, ketentuan ganti rugi
tersebut tidak berlaku jika pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
C.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan
Permenkes No.39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan,
Pekerjaan Tukang Gigi, profesi Tukang gigi diperbolehkan untuk membuka praktik
dengan izin dari Pemerintah Kabupaten/Kota atau Dinas Kesehatan setempat.
2. Pekerjaan tukang gigi yang
diperboleh kan oleh Permenkes No.39 tahun 2014 yaitu membuat gigi tiruan
lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang
memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan; dan memasang gigi tiruan lepasan
sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic dengan
tidak menutupi sisa akar gigi
3. Pemasangan
kawat gigi atau behel, tidak disebutkan di dalam Permenkes No.39 tahun 2014
sebagai pekerjaan yang boleh dilakukan oleh Tukang gigi, sehingga dapat
dikatakan bahwa pekerjaan pemasangan behel itu diluar jenis pekerjaan yang
diperbolehkan.
4. Perlindungan
hukum terhadap konsumen pengguna jasa tukang gigi dalam pemasangan kawat gigi
diberikan oleh Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
terutama pada Pasal 4 dan Pasal 19.
DAFTAR PUSTAKA
Endang Sri
Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan
Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003
J.B Suharjo B
Cahyono, Membangun Budaya Keselamtan
Pasien dalam Praktik Kedokteran, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2008,
M. Sadar, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,
Akademia, Jakarta, 2012
R.subekti, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung,1995
Undang-Undang No.29 tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran
Permenkes No.39
tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi
Permenkes Nomor 339
/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi
Peraturan Menteri Kesehatan No.
1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No.
339/MENKES/PER/V/1989 tentang pekerjaan tukang gigi.
http://kicantik.com/seputar-kawat-gigi-transparan/
http://www.e-jurnal.com/2013/12/jenis-jenis-kawat-gigi.html
http://pasangkawatgigi.com/index.php/site/site/tahapan
[1]
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
[2]
http://kicantik.com/seputar-kawat-gigi-transparan/
[3]
http://www.e-jurnal.com/2013/12/jenis-jenis-kawat-gigi.html
[4] M. Sadar, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,
Akademia, Jakarta, 2012, hal.2-3
[5] Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya
dengan Perlindungan Konsumen, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.95
[6] M.Sadar, op.cit, hal.3
[7] Endang Sri Wahyuni, loc.cit
[8]
http://pasangkawatgigi.com/index.php/site/site/tahapan
[10]
Pasal 1 Permenkes No. No.39
tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi
[11]
Pasal 1 Permenkes No. No.39
tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi
[12] R.subekti, Aneka Perjanjian,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.57
[13]
Ibid, hal.58
[14]
J.B Suharjo B Cahyono, Membangun Budaya
Keselamtan Pasien dalam Praktik Kedokteran, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2008, hal.294-302
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus