Selasa, 18 Agustus 2015

LEGALITAS TUKANG GIGI DALAM BERPRAKTIK PEMASANGAN KAWAT GIGI (BEHEL) DAN ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMENNYA



LEGALITAS TUKANG GIGI DALAM BERPRAKTIK PEMASANGAN KAWAT GIGI (BEHEL) DAN ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMENNYA
OLEH :
ROSIDA DIANI[1]
ABSTRAK
Tukang gigi merupakan profesi yang telah lama ada di masyarakat. Keberadaannya diakui secara yuridis sejak dikeluarkannya Permenkes Nomor 339 /MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Permenkes sempat dicabut dan mengakibatkan tidak diperbolehkannya profesi Tukang gigi berpraktik lagi, namun dengan dikabulkannya uji materil oleh Mahkamah Konstitusi maka keberadaan izin berpraktik Tukang gigi diperbolehkan kembali asal memenuhi persyaratan untuk itu. Izin praktik Tukang gigi hanya membuat dan memasang gigi palsu sebagaimana diatur di dalam Permenkes No.39 tahun 2014. Pemasangan kawat gigi atau behel oleh Tukang gigi sebagaimana banyak terjadi dimasyarakat saat ini dapat dikatakan sebagai perbuatan ilegal karena secara tegas dinyatakan di dalam Permenkes No.39 tahun 2014 jenis pekerjaan yang boleh dilakukan oleh Tukang gigi dan pemasangan behel tidak termasuk di dalammnya. Perlindungan hukum terdapat konsumen pengguna jasa Tukang gigi ini dalam hal pemasangan behel terdapat di dalam Pasal 4 dan Pasal 19 UU No.8 tahun 1999. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan teknik analisis menggunakan analisis content.
Kata kunci : Legalitas, Tukang gigi, Perlindungan Konsumen

A.      PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir ini kawat gigi menjadi trend yang sangat digemari, banyak orang yang tertarik untuk memakai kawat gigi baik untuk merapikan gigi maupun untuk bergaya. Harga pemasangan kawat gigi pun bervariasi, ada yang sangat mahal namun ada pula yang terjangkau. Seiring dengan perkembangan zaman serta perubahan teknologi yang lebih maju, kawat gigi pun mengalami revolusi, segala kekurangannya diperbaiki dan sistemnya lebih disempurnakan hal ini membuat gigi menjadi lebih cepat rapi sehingga penggunaan kawat gigi tidaklah lama. Fungsi utama kawat gigi adalah sebagai alat merapikan gigi, namun dalam prakteknya banyak orang yang mengenakan kawat gigi sebagai aksesoris.
Sebenarnya ada beberapa alasan orang memasang kawat gigi, diantaranya (1) karena ingin tampil cantik, menarik dan bergaya, (2) karena alasan kesehatan, seperti posisi gigi yang tidak rapi, (3) ada juga karena alasan diet. Alasan untuk penampilan, tampil cantik dan gaya adalah alasan yang paling banyak digunakan orang untuk memasang kawat gigi sekarang ini. Paling banyak pengguna kawat gigi dengan alasan kecantikan adalah para wanita baik wanita dewasa maupun remaja putri. Wanita dan kecantikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Wanita selalu identik dengan Kecantikan. Begitupun sebaliknya, kecantikan selalu identik dengan wanita. Jika diibaratkan, Kecantikan merupakan napas bagi setiap wanita,napas yang harus selalu dihirup. Selain itu, kecantikan pun menjadi sebuah keharusan bagi seorang wanita.
Saat ini ada beberapa bahan pembuat kawat gigi, mulai dari metal, porselin, safir dan keramik. [2] setiap bahan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada beberapa jenis kawat gigi yang dapat digunakan oleh konsumen yaitu (1) Kawat Gigi Cekat/ Fixed orthodontic braces, Merupakan kawat gigi yang umum digunakan oleh dokter gigi untuk merapikan gigi. Jenis ini adalah jenis yang konvensional (2) Lingual bracket dari Prancis, (3) Invisalign / lepasan, (4) Inman Aligner / Metode gabungan invisalign dan kawat gigi, (5) Ceramic Braces, (6) Damon Brackets, (7) Porcelain Veener, (8) 7. 6 months smile/ Perawatan 6 Bulan untuk Gigi yang Tampak saat Tersenyum, (9) Traditional Metal Braces, (10) Retainer.[3]
Pemasangan kawat gigi di masyarakat saat ini bukan hanya dilakukan oleh seorang Dokter Gigi tetapi juga dilakukan oleh Tukang Gigi. Pada Permenkes Nomor 339 /MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi disebutkan bahwa: Tukang gigi adalah mereka yang melakukan pekerjaan di bidang penyembuhan dan pemulihan kesehatan gigi dan tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran gigi serta telah mempunyai izin Menteri Kesehatan untuk melakukan pekerjaannya. Diatur pula wewenang seorang tukang gigi meliputi: a. membuat sebagian/seluruh gigi tiruan dari aklirik; dan b. memasang gigi tiruan lepasan.
Di dalam Permenkes tersebut tidak disebutkan secara spesifik mengenai pemasangan kawat gigi. Apakah pemasangan kawat gigi dapat disamakan dengan memasang gigi tiruan lepasan, ataukah dapat dikategorikan dalam pekerjaan dibidang penyembuhan dan pemulihan kesehatan gigi? Sementara dalam praktek di masyarakat saat ini, telah banyak sekali Tukang gigi yang dalam prakteknya tidak hanya melakukan praktek pembuatan gigi palsu, pemasangan gigi palsu tetapi juga menawarkan pemasangan kawat gigi atau behel.
Bagaimanakah legalitas pemasangan behel oleh tukang gigi ini secara yuridis? Apakah ada perlindungan hukum terhadap konsumen yang memasang kawat gigi pada tukang gigi tersebut. Perlindungan konsumen ini penting artinya  karena selama ini keberadaan konsumen kerap dalam posisi yang lemah saat berhadapan dengan pelaku usaha. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. [4] Berdasarkan realitas tersebut maka haruslah diusahakan suatu upaya memberikan perlindungan serta untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen dalam hal terjadi peristiwa yang membebankan risiko padanya.[5]
Oleh karena itu, undang-undang perlindungan konsumen dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.[6] Hal ini agar dapat melindungi konsumen dari tindakan kesewenang-wenangan dari pelaku usaha yang tidak jujur, yang memperdaya konsumen bagi keuntungan lebih besar yang dapat diperolehnya.[7]  Termasuk perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa Tukang gigi dalam pemasangan behel.
Berdasarkan hal tersebutlah maka dalam tulisan ini akan diuraikan legalitas tukang gigi dalam pemasangan kawat gigi serta perlindungan hukum terhadap konsumen yang memasang kawat gigi pada tukang gigi.

B.       PEMBAHASAN
Sebelum membahas mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen yang menggunakan jasa tukang gigi untuk memasang kawat gigi atau behel, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai proses pemasangan kawat gigi, legalitas tukang gigi.
Kawat gigi atau behel biasa disebut dalam istilah kedokteran adalah orthodontics digunakan untuk meluruskan pada gigi yang berjejal agar keselarasan rahang menjadi lebih simetris. Penyelarasan yang benar pada gigi adalah sesuatu yang penting karena mempengaruhi pada penampilan dan kesehatan.
Ada beberapa tahap dalam pemasangan kawat gigi:
1.      Fase sebelum pemasangan
Dokter gigi akan mengamati dan mengambil data pasien selengkap mungkin, meliputi pemeriksaan klinis geligi,seperti pencatatan gigitan dan ke simetrisan gigi, serta katupan geligi.
Semua masalah seperti gigi bolong, karang gigi, kelainan jaringan gigi, dan perawatan saraf gigi, jika ada, harus ditangani dulu, sehingga gigi benar-benar bersih dan sehat.
Perawatan dengan bantuan kawat ini perlu kedisiplinan tinggi, karena meliputi seluruh gigi. Termasuk mengarahkan gigi yang belum tumbuh, agar mendukung perbaikan tumbuhnya rahang. Kalau perlu Dilakukan pengambilan foto rontgen (Bila Perlu) yang mencakup dua sudut pengambilan, yaitu panoramik (raut seluruh geligi dan tulang) serta chepalometri (kedudukan rahang, tulang muka dan geligi).
Pencetakan geligi untuk mendapatkan model. Penentuan rencana perawatan Dari hasil foto rontgen dan cetakan geligi inilah dilakukan analisis kelainan untuk rencana perawatan. Misalnya, berapa mili-meter ketidaknormalannya? Apakah cukup diasah atau plus pemakaian kawat gigi lepasan? Perlukah mencabut geraham kecil di belakang gigi taring, Pada rahang cakil, perlukah operasi pemotongan tulang bawah oleh orthodontist dan ahli bedah mulut?
Pemasangan kawat gigi Pemasangan kawat gigi ini relatif singkat kurang lebih 1 jam
2.      Fase setelah pemasangan
Kontrol dilakukan setiap seminggu atau dua minggu sekali. Kontrol ini penting dilakukan, semakin sering kontrol, waktu perawatan kawat gigi akan semakin singkat, sebaiknya jika kontrolnya jarang atau lama (sebualan/2 bulan sekali), dapat menyebabkan waktu perawatan bertambah panjang dan mungkin menyebabkan perubahan gigi yang tidak semestinya.
Pada saat kontrol, dokter akan mengamati setiap perubahan posisi gigi, katupan gigi, bentuk rahang, inklinasi gigi, kapan dilakukan, pengasahan, pencabutan (jika ada), penarikan, dsb. Dan yang pasti mengganti karet yang membuat braket tersebut terlihat berwarna warni.
Setelah perawatan orto cekat dinyatakan selesai oleh dokter gigi, maka pasien dianjurkan untuk menggunakan alat penahan agar giginya tidak mudah untuk berubah kembali ke susunan gigi awal, yang disebut dengan space maintainer atau singkatnya retainer , selama minimal 6 bulan sampai 1 tahun.[8]

Pemasangan kawat gigi pada praktek yang terjadi di masyarakat bukan hanya dilakukan oleh dokter gigi, tetapi juga oleh Tukang Gigi. Keberadaan Tukang Gigi sebagai orang yang dapat membuka praktek membuat dan memasang gigi tiruan lepasan diatur di dalam Permenkes No.39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi.
Dalam Permenkes No.39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi pada Pasal 1 angka (1) disebutkan definisi Tukang gigi adalah setiap orang yang mempunyai kemampuan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan. Selain itu juga di dalam Permenkes Nomor 339 /MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi disebutkan bahwa: Tukang gigi adalah mereka yang melakukan pekerjaan di bidang penyembuhan dan pemulihan kesehatan gigi dan tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran gigi serta telah mempunyai izin Menteri Kesehatan untuk melakukan pekerjaannya. Diatur pula wewenang seorang tukang gigi meliputi: a. membuat sebagian/seluruh gigi tiruan dari aklirik; dan b. memasang gigi tiruan lepasan.
Mengenai legalitas praktik Tukang gigi ini sempat dicabut dengan dikeluarkannya UU No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran serta Peraturan Menteri Kesehatan No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No. 339/MENKES/PER/V/1989 tentang pekerjaan tukang gigi. Pencabutan tersebut berakibat pada tidak diberikannya izin berpraktik maupun memperpanjang izin praktik tukang gigi.
Pada UU No.29 tahun 2004, Pasal 73 ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”.
Dalam Pasal 78 disebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Disini memberikan larangan kepada siapa saja yang bukan berlatar belakang pendidikan dokter atau dokter gigi untuk membuka praktik, termasuk dalam kriteria ini adalah Tukang gigi. Apabila hal ini tetap dilakukan maka, yang bersangkutan dapat dikenakan pidana penjara atau denda.
Hal ini kemudian diajukan permohonan pengujian Pasal 73 ke Mahkamah Konstitusi oleh Hamdani Prayoga. MK mengabulkan permohonan pengujian Pasal 73 ayat (2) dan pasal 78 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. MK menyatakan kedua pasal itu inkonstitusional bersyarat.[9]
Menurut MK, Pasal 73 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah”
Rumusan awal Pasal 73 ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”.
Membandingkan dua rumusan itu, Putusan MK berarti menambahkan frasa “…..kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah”.Frasa yang sama juga disisipkan MK ke dalam Pasal 78.
Keberadaan tukang gigi dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gigi yang terjangkau. Hal ini didasarkan pemikiran hingga saat ini pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan gigi yang terjangkau bagi seluruh masyarakat. Dalam putusan, MK menyatakan dokter gigi dan tukang gigi seharusnya saling bersinergi dan mendukung satu sama lain dalam upaya meningkatkan kesehatan gigi masyarakat. Seyogyanya, profesi tukang gigi dapat dimasukkan dalam satu jenis pelayanan kesehatan tradisional Indonesia yang harus dilindungi negara dalam suatu peraturan tersendiri.
Berdasarkan penilaian hukum itu, Mahkamah berpendapat Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, bertentangan dengan konstitusi jika larangan dalam pasal itu diberlakukan terhadap tukang gigi yang telah memiliki izin dari pemerintah.
Terkait Pasal 78, MK menyatakan pasal itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal 73 ayat (2). Pasal 78 UU Praktik Kedokteran harus dinyatakan konstitusional bersyarat, konstitusional sepanjang norma Pasal 78 tidak termasuk tukang gigi yang mendapat izin dari pemerintah.
Dengan putusan MK ini maka Tukang Gigi mempunyai legalitas untuk membuka praktik. Mengenai Pelaksanaan Pekerjaan Tukang Gigi terdapat di dalam Pasal 6 Permenkes No.39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi, yaitu:
1.      Pekerjaan Tukang Gigi hanya dapat dilakukan apabila:
a.       tidak membahayakan kesehatan, tidak menyebabkan kesakitan dan kematian
b.      aman;
c.       tidak bertentangan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat; dan
d.      tidak bertentangan dengan norma dan nilai yang hidup dalam masyarakat.
2.      Pekerjaan Tukang Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya berupa:
a.       membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan; dan
b.      memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic dengan tidak menutupi sisa akar gigi

Di dalam Pasal 7 Permenkes No.39 tahun 2014  disebutkan bahwa Dalam melaksanakan pekerjaannya, Tukang Gigi berkewajiban:
a.       melaksanakan pekerjaan Tukang Gigi sesuai dengan standar pekerjaan Tukang Gigi;
b.       menghormati hak pengguna jasa Tukang Gigi;
c.       memberikan informasi yang jelas dan tepat kepada pengguna jasa Tukang Gigi tentang tindakan yang dilakukannya;
d.      melakukan pencatatan pelayanan yang dibuat dalam pembukuan khusus; dan
e.       membuat laporan secara berkala tiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang meliputi jumlah pengguna jasa Tukang Gigi dan tindakan yang dilakukan.

Pada Pasal 8 Permenkes No.39 tahun 2014 ditentukan bahwa Standar pekerjaan Tukang Gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a meliputi:
a.       pekerjaan Tukang Gigi;
b.      pelaksanaan pekerjaan;
c.       tempat;
d.      peralatan; dan
e.       hal-hal lain sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan tukang gigi.

Meskipun Tukang gigi diperkenankan berpraktik, namun Tukang Gigi dilarang:
a.       melakukan pekerjaan selain kewenangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2);
b.      mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain;
c.       melakukan promosi yang mencantumkan pekerjaan selain yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2); dan
d.      melakukan pekerjaan secara berpindah-pindah.
Sehingga dari ketentuan Pasal 6 ayat (2), secara yuridis, Tukang Gigi hanya mempunyai kewenangan secara legal untuk:
1.      membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan; dan
2.      memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic dengan tidak menutupi sisa akar gigi
Sehingga apabila ada Tukang Gigi yang melakukan praktik selain daripada yang diatur di dalam Pasal 6 ayat (2) tersebut maka Tukang Gigi tersebut dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 yaitu  berupa :
a.       teguran tertulis;
b.      pencabutan izin sementara; dan
c.       pencabutan izin tetap.

Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan pemasangan kawat gigi atau behel apakah termasuk dalam kategori jenis pekerjaan yang diperbolehkan oleh Pasal 6 Permenkes No.39 tahun 2014? Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa proses pemasangan kawat gigi bukanlah tindakan melepas gigi atau memasang gigi palsu, tetapi perbuatan memasangkan sejenis kawat pada gigi. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa perbuatan pemasangan kawat gigi tidak termasuk dalam kriteria Pasal 6 Permenkes No.39 tahun 2014.
Pemasangan kawat gigi tidaklah termasuk praktik tukang gigi yang diperbolehkan oleh Permenkes No.39 tahun 2014 tersebut. Sehingga praktik pemasangan kawat gigi atau behel oleh Tukang gigi termasuk praktik ilegal. Sehingga Tukang gigi yang melakukan hal tersebut dapat dikenakan sanksi Pasal 11.
Pemberian izin praktik bagi Tukang gigi diberikan oleh Dinas Kesahatan kabupaten/Kota setempat.[10] Yang dimaksud dengan Izin Tukang Gigi adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Tukang Gigi yang telah melaksanakan pendaftaran untuk melaksanakan pekerjaan Tukang Gigi. Izin ini berlaku selama 2 tahun dan dapat diperpanjang selama masih memenuhi persyaratan.[11]
Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang menderita kerugian saat pemasangan kawat gigi atau behel pada tukang gigi? Untuk menjawab hal tersebut dapatlah dilihat dari undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 tahun 1999. Sebelumnya akan kita lihat dulu siapa yang dapat dikategorikan sebagai konsumen dalam undang-undang perlindungan konsumen. Dalam pasal 1 angka 2,  konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi (Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen).
Dalam Pemasangan kawat gigi/behel. Pasien merupakan konsumen dan Tukang gigi adalah pelaku usaha. Dalam hubungan antara konsumen dan pelaku usaha terjalih suatu hubungan hukum yang hak dan kewajibannya diatur oleh undang-undang.
Dilihat dari kacamata Hukum Perdata, hubungan antara konsumen dengan Tukang gigi termasuk dalam perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu:[12]
1.      perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu;
2.      perjanjian kerja/perburuhan; dan
3.      perjanjian pemborongan pekerjaan.

Dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kapada pihak-lawan itu. Biasanya pihak-lawan itu adalah seorang akhli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya itu.[13] Contoh dari perjanjian melakukan jasa ini salah satunya adalah praktik Tukang gigi.
Profesi Tukang gigi dalam hubungannya dengan konsumennya, hampir dapat dipersamakan dengan profesi Dokter dengan pasiennya. Tipe hubungan dokter dengan pasiennya terdapat dua tipe hubungan yaitu:
1.      Hubungan Asimetris (Paternalistik)
Dalam hubungan jenis ini, maka hubungan dokter dengan pasiennya ada ketidakseimbangan yang melekat dalam hubungan tersebut sehingga bisa merugikan satu pihak. Dalam hal ini adalah dari sisi pasien. Ketidakseimbangan ini menyangkut hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik.
2.      Hubungan Partnership
Pola hubungan ini merupakan pola hubungan yang berorientasi pada pemenuhan keinginan, kebutuhan, dan keinginan pasien. Pasien memiliki otonomi penuh atas dirinya. [14]

Dalam hubungan antara Tukang gigi dengan pasiennya dapat terjadi dalam dua tipe di atas. Menyangkut masalah perlindungan hukum terhadap pasien pengguna jasa Tukang gigi dalam praktik pemasangan kawat gigi (behel), maka pasien yang merupakan konsumen, menurut Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu:
a.       hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.      hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.       hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.      hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.       hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.       hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.      hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.      hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.        hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan Tukang gigi selaku pelaku usaha mempunyai kewajiban sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen. Yaitu sebagai berikut:
a.       beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.      memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.       memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.      menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.       memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.       memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.      memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Jika pada saat tukang gigi melakukan pemasangan behel menimbulkan kerugian pada pasien/konsumen, tukang gigi berkewajiban untuk memberikan kompensasi dan ganti rugi kepada pasien. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen:
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen). Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi (Pasal 19 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen).
Walaupun tukang gigi tersebut telah memberikan ganti rugi, pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan (Pasal 19 ayat (4) UU Perlindungan Konsumen). Akan tetapi, ketentuan ganti rugi tersebut tidak berlaku jika pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

C.      KESIMPULAN
1.      Berdasarkan Permenkes No.39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi, profesi Tukang gigi diperbolehkan untuk membuka praktik dengan izin dari Pemerintah Kabupaten/Kota atau Dinas Kesehatan setempat.
2.      Pekerjaan tukang gigi yang diperboleh kan oleh Permenkes No.39 tahun 2014 yaitu membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan; dan memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic dengan tidak menutupi sisa akar gigi
3.      Pemasangan kawat gigi atau behel, tidak disebutkan di dalam Permenkes No.39 tahun 2014 sebagai pekerjaan yang boleh dilakukan oleh Tukang gigi, sehingga dapat dikatakan bahwa pekerjaan pemasangan behel itu diluar jenis pekerjaan yang diperbolehkan.
4.      Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa tukang gigi dalam pemasangan kawat gigi diberikan oleh Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, terutama pada Pasal 4 dan Pasal 19.

DAFTAR PUSTAKA
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
J.B Suharjo B Cahyono, Membangun Budaya Keselamtan Pasien dalam Praktik Kedokteran, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2008,
M. Sadar, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Akademia, Jakarta, 2012
R.subekti, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,1995
Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Permenkes No.39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi
Permenkes Nomor 339 /MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi
Peraturan Menteri Kesehatan No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No. 339/MENKES/PER/V/1989 tentang pekerjaan tukang gigi.
http://kicantik.com/seputar-kawat-gigi-transparan/
http://www.e-jurnal.com/2013/12/jenis-jenis-kawat-gigi.html
http://pasangkawatgigi.com/index.php/site/site/tahapan



[1] Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
[2] http://kicantik.com/seputar-kawat-gigi-transparan/
[3] http://www.e-jurnal.com/2013/12/jenis-jenis-kawat-gigi.html
[4] M. Sadar, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Akademia, Jakarta, 2012, hal.2-3
[5] Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.95
[6] M.Sadar, op.cit, hal.3
[7] Endang Sri Wahyuni, loc.cit
[8] http://pasangkawatgigi.com/index.php/site/site/tahapan
[10] Pasal 1 Permenkes No. No.39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi
[11] Pasal 1 Permenkes No. No.39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi
[12] R.subekti, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.57
[13] Ibid, hal.58
[14] J.B Suharjo B Cahyono, Membangun Budaya Keselamtan Pasien dalam Praktik Kedokteran, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2008, hal.294-302

1 komentar: